Muara Sungai Rokan itu sangat terkenang oleh Umak. Along, sulung Mamak meninggal disana beberapa bulan lalu saat hendak menangguk udang. Kami juga tak pasti apakah Along telah tiada atau tidak. Pasalnya, ia tak pernah pulang sepamitnya ia menuju tepi muara sungai petang itu bahkan tak ada seorangpun tau dimana Along saat itu. Hingga saat ini pun, Umak, Bapak, dan saya berasumsi bahwa Along dibawa oleh ‘Datuk (sebutan untuk orang yang dituai. Dalam hal ini adalah buaya) penjaga sungai.
Muara sungai itu memang sepi orang. Walau di sekitar muara sungai itu telah disulap menjadi daerah perkantoran yang sibuk namun tetap saja jikalau petang datang dan orang-orang kantoran itu telah kembali ke rumah mereka masing-masing perkarangan muara sungai menjadi sepi lengang tak ada orang berlalu-lalang.
Ditambah lagi, peringatan “AWAS BUAYA! JANGAN MENDEKATI TEPI SUNGAI!” terpampang di sepanjang tepian sungai diantara pohon-pohon bakau yang tumbuh secara alamiah. Semakin makinlah kami cemas dengan Along yang saat itu pergi sendirian.
Umak adalah orang yang pengikhlas. Hilangnya Along hanya membuat Umak menangis sesekali selama sehari dua hari sambil membacakan Along surah Yasin. Umak terlihat tegar saat Mak Angah adiknya menanyakan kabarnya.
Selama dua minggu penuh Bapak dibantu tetangga dan beberapa Aparat seperti Kodim dan SAR mencari Along di sekitar muara sungai. Namun tak juga ada buah hasil. Selama itu pula Umak tidak tersenyum tapi tidak pula sering menangis. Sesekali Umak berkata “Umak sayang Along, tapi mungkin Allah yang maha kuasa lebih sayang Along, Usu”.
Sekarang telah berlalulah beberapa purnama. Barang-barang Along telah Umak masukkan ke dalam dus-dus besar dengan cap perusahaan rokok di keempat sisi sampingnya. Dus-dus itu tersusun rapi di bawah dipan tempat tidur Along di kamarnya. Umak sangat mengikhlaskan Along.
Petang itu pun, Bapak yang seorang nelayan pamit kepada Umak dan saya. Bapak akan menangkap ikan ke sungai besar Rokan. Beberapa kali Umak telah larang jangan lagi pergi ke sungai itu namun mau bagaimanalah lagi, kami bukanlah orang berada dan Bapak harus tetap bekerja sesuai dengan kemampuannya.
“Bang, kau janganlah pegi ke sungai tu lai, tak tekenang macem mane Along dibawe Datuk, doh Bang?” Umak menyela kepergian Bapak yang sudah berada di ambang pintu. “Siti, Abang tau jage diri, tenang ajelah,” jawab Bapak dengan hangat menepuk pelan kepala Umak. “Usu, kau kan lelaki, jage Umak di umah, ye, cakap sama umak usah comehh,” petuah Bapak kepadalku lalu berlalu di bonceng Pak Senin, teman Bapak untuk menangkap ikan.
Umak berbalik, berjalan menuju dapur dan saya mengikuti beliau dari belakang. Beliau mendudukkan dirinya di depan tungku kayu yang terselimut abu hitam gosong. Ditatapnya aku yang duduk di tangga papan ke dua dengan menghadap Umak. “Usu, orang dulu cakap ape yang nak pegi, pegilah tak usah ditahan lagi,” kata Umak dengan nada khas melayunya dan saya jawab mengangguk.
Umak diam, tatapannya beralih ke arah tungku dan menghidupkan apinya dengan hari-hati. Diatas tunggu itu diletakkannya panci berisi asam pedas sisa siang tadi untuk dihangatkan. Asam pedas telah hangat, mak lanjut memasak lalapan untuk kami berdua makan nanti malam.
Dua puluh menit Mak berjibaku dengan peralatan dapurnya. Namun tiba-tiba terdengar suara motor dan teriakan seorang lelaki paruh baya di halaman depan. Dengan segera saya dan Umak menuju sumber suara. Dan Pak Senin telah berada di ambang pintu dengan muka merah dan tergagap.
“Usu… Bapak kau…” Pak Senin menjeda ketakutan. “Kenape Bapak wak… Uwak tenanglah dulu,” saya menuntun Pak Senin duduk di kursi plastik yang tepat berada di sebelahnya. “Bapak kau hilang digigit Buaya!” sontak seruan Pak Senin membuat saya dan Umak sangat kaget. Umak langsung terduduk di lantai sementara tatapan saya kosong.
Umak dan saya terdiam beberapa saat. Disaat setelatnya, saya dudukkan Umak di kursi plastik lainnya dan langsung menarik tangan Pak Senin bergegas meminta bantuan tetangga untuk menemani Umak dan membantu saya mencari Bapak.
Beberapa ibu-ibu tetangga langsung datang menyabarkan Umak dan para lelaki langsung membantu pergi menuju tempat Bapak digigit buaya itu. Dua hari, tiga, hari, hingga hari ke lima saya tidak kembali ke rumah dan bermalam dengan beberapa Aparat di perahu besar yang digunakan untuk mencari Bapak. Kuyakin Umak sedang menangisi Bapak. Tak sanggup saya membayangkan sedihnya Umak yang ditinggal pergi selama-lamanya oleh Alaong dan Bapak dengan cara yang sama.
Tak sia-sia, malam ke enam saya berada di perahu ini membuahkan hasil. Seorang nelayan menemukan Bapak. Apa yang dapat diharapkan oleh anak yang ditinggal mati Bapaknya yang dipilih Datuk? Mayat yang utuh? Tentu tidak. Malam itu kami hanya menemukan badan Bapak tanpa tangan, kaki dan kepala. Menyayat hati. Tapi setidaknya kami menemukan Bapak.
Malam itu, saya pulang dengan Bapak serta beberapa bapak-bapak aparat dan tetangga. Umak masih seperti Umak. Matanya hanya sedikit membengkak. Wajahnya terpampang ketegaran. Langsung saya peluk Umak pertama kali sejak mendengar Bapak tergigit buaya. Air mata saya tumpah membanjiri bahu ringkih Umak. “Ikhlaskanlah Bapak, su,”.
Mak. Andai saya bisa setegar Mamak. Saya berjanji menjagamu, Umak.
Cerpen Karangan: Ivana Adiba Rahmi Ivana Adiba Rahmi atau dikenal dengan Nami adalah seorang pemudi asal Riau yang gemarm membaca sastra melayu.