“Apa aku akan berhasil” gumamku sambil membawa map berkas persyaratan, kemudian melangkah masuk ke gedung sekolah impainku. Sepasang kaki terus melangkah melewati gerbang tinggi dan perlahan sampai ke ruangan tes penerimaan siswa baru jalur prestasi. Benar, aku berusaha masuk ke sekolah impianku hanya mengandalkan prestasi dan tekat yang tinggi.
“Assalamualikum” ucapku, sembari membuka pintu ruangan, kemudian duduk di kursi tepat di depan meja panitia. “Ini berkas saya bu” lanjutku Aku ulurkan tanganku sambil memberikan map berkas fotocopy nilai rapor dan sertifikat-sertifikat yang kuraih selama aku duduk di bangku SMP. Panitia membuka map hijau sambil membaca tulisan “ALISYA AFRILIYA ANANTASYA” di bagian paling depan map.
“Alisya datang sendiri?” tanya panitia, sambil melihat ke luar ruangan lewat jendela kaca di samping meja tempat mereka duduk saling berhadapan. “Iya buk” jawabku singkat
Setelah sesi wawancara dan tes selesai, panitia berdiri sambil berkata “terima kasih Alisya, semoga berhasil” ucap panitia sambil memberiku senyuman yang tulus, sebagai kata penutup pertemuan kami pagi itu.
Bus melintas melewati jalan yang sempit dan gelap, aku duduk di kursi paling samping sambil memandang sinar rembulan yang terkadang remang juga terkadang hilang kalah tertutup awan, seringkali kepalaku terbentur di jendela karena bus yang tiba-tiba miring akibat jalan yang sudah rusak. Aku menutup jendela bus dan perlahan menyandarkan kepalaku di kursi yang sedang kududuki, kemudian memejamkan mataku berharap aku akan tertidur sebelum sampai di rumah. Benar, akun sedang dalam perjalanan dari kota ke desa tempatku tinggal.
Setelah 4 jam dalam perjalanan akhirnya bus berhenti di depan rumah tua yang berdindingkan bambu. “Akhirnya sampai juga” gumamku sambil turun dan membayar ongkos bus yang kutumpangi.
“Assalamualikum” kata pertama yang aku ucapkan sebelum masuk ke rumah, meskipun aku tahu itu tidak akan ada yang menjawab salamku karena aku sedang tinggal sendiri di rumah. aku membuka pintu dan melangkah menuju ranjang bambu yang mulai merapuh, kemudian berbaring sambil beristirahat.
Satu minggu setelah aku mengikuti tes akhirnya pengumuman kelulusan di keluarkan, akhirnya berkat perjuangan serta tekat yang tinggi, aku diterima di sekolah impianku. Rasa senang bercampur sedih mulai menyelimuti hatiku, aku senang karena diterima di sekolah impianku, namun di sisi lain aku mulai gelisah mengingat ekonomi keluarga yang pas-pasan mungkin akan sulit untukku jika harus meninggalkan rumah tua berdindingkan bambu itu.
Di tengah lamunanku, ketika matahari hampir terbenam terdengar suara ketukan pintu yang membuatku cepat-cepat berlari dari tempat duduk untuk melihat siapa yang datang. “Ibukkk” seruku sambil membuka pintu rumah, “Bapak mana?” lanjutku “Di belakang, bentar lagi juga sampai” jawab ibu sambil menaruh bawaan yang ada di punggungnya, belum sampai 5 menit bapak sudah berdiri di depan pintu.
Aku senang masih bisa memandang wajah orang yang selalu membuatku selalu bersemangat untuk mewujudkan impianku, meskipun terkadang aku sedih melihat mereka sudah menua, rambut yang dulu hitam mengkilau kini sudah memutih dan bahu yang sudah mulai membungkuk sedangkan aku masih belum bisa bantu apa-apa.
“Lisaa” seru ibu yang membuatku terbangun dari lamunan panjang. “Iyaa buk” jawab kusambil berlari menuju tempat makan, melihat ibu dan bapak yang sudah menunggu untuk makan bersama. Kebetulan sore itu aku sudah menyiapkan sedikit makanan, Kemudian aku duduk dan mulai makan bersama tanpa bersuara. “Gimana sekolahnya, lancar?” tanya bapak memecah keheningan. “Lancar pak” jawabku singkat.
Aku memang sudah mendaftar dan diterima di sekolah impianku, namun aku belum memberi tahu ibu dan bapak. Benar, aku mendaftar di sekolah impianku tanpa sepengetahuan mereka. aku tidak mau merepotkan apalagi menambah beban pikiran orangtuaku.
“Mau lanjut sekolah dimana?” lanjut ibu. “Mm… see sebenarnya Lisa sudah daftar sekolah buk, dan diterima sekolah di kota” jawabku ragu-ragu. “Kota?” tanya ibuk. “Iya, kemarin Lisa ke kota buk, pakai uang tabungan Lisa. Lisa daftar sekolah jalur prestasi jadi engga pakai biaya masuk.” jawabku memperjelas. Aku memandangi wajah mereka yang terlihat berkaca-kaca.
“Kalo bapak sama ibuk keberatan, Lisa bisa kok sekolah di desa. Lisa emang sudah diterima sekolah di kota tapi bisa dibatalin, Lisa nurut keputusan ibuk sama bapak” lanjutku menenangkan suasana. “Gak usah dibatalin, sayang Lisa udah berjuang. Soal biaya nanti bapak usahain” ucap bapak.
Meskipun aku melihat mereka bersemangat dan bangga dalam hati kecil mereka tidak bisa kutebak, mengingat perekonomian keluarga yang pas-pasan pasti mereka akan kesusahan nantinya, namun demi cita-citanyaku, aku memberanikan diri untuk mencoba mewujudkan impianku sekolah di kota.
Keesokan harinya mentari bersinar cerah, aku melambaikan tangannya sambil memandang senyuman ibuk dan bapak. Aku berangkat ke kota mengejar impianku, kini rumah tua yang biasa kutempati dan menjadi teman cerita dikala malam sudah kutinggalkan. Aku mencari tempat baru untuk bercerita, dan mencari kerinduan yang lebih jauh lagi untuk kedua orangtuaku.
Aku sampai di kota dan tinggal di sepetak ruangan kecil di depan sekolahku, aku menyewa bedeng dekat dengan sekolah agar mengurangi biaya transportasi.
Malam itu langit tampak murung, bulan dan bintang yang biasa menemaninya ketika malam sedang bersembunyi di balik awan hitam. Hanya kilat petir yang sering kali menampakkan diri menemaniku duduk di kursi tua depan kosan tempatku beradu kisah dan bercerita tentang pengalaman tiap harinya.
“Alisya afriliya Anantasya” Suara seorang ibu terdengar sedikit merayuku, begitulah ibu Marni memanggilku dari sekian banyak orang yang kutemui di kota itu hanya ia yang selalu memanggil nama panjangku. Ibu Marni sendiri adalah pemilik kosan yang aku sewa. “Ehh ibuu” sahutku sambil menoleh ke arah Bu Marni. “Ngelamun mulu, masuk gih udah malam” lanjut bu Marni sambil membuka pintu kosanku.
Akhirnya aku beranjak masuk kemudian duduk di meja belajarku. Di meja belajarku tersusun rapi buku-buku pelajaran dan diary-diary yang kutulis ketika aku sedang kesepian atau butuh teman cerita, aku selalu mencurahkan semua isi hatiku ke dalam buku diary, agar jika suatu saat ketika aku lupa bahwa aku memiliki banyak keinginan yang harus aku wujudkan atau aku sedang merasa ingin menyerah aku akan membaca kembali semua cita-cita yang pernah aku tuliskan. Begitulah caraku menguatkan diri sendiri.
Aku sekolah di kota bukan karena aku terlahir dari keluarga kaya atau terpandang, aku hanya mengandalkan tekat yang tinggi untuk mewujudkan kata “aku ingin wisuda” yang selalu aku impikan setiap kali aku melihat wajah ibuk dan bapak.
3 tahun berlalu akhirnya aku lulus SMK, tiga tahun kulewati dengan penuh tangis dan tawa. Yang dulunya aku sekolah meninggalkan rumah, namun sekarang akusadar bahwa ini baru awal dari perjuangan yang sesungguhnya.
“Ibuk Bapak.. Lisa lulus” teriakku sambil berlari menuju keluar pagar sekolah, di sana kulihat ukiran senyum kebahagiaan yang kubangun dengan usahaku, Ibuk dan Bapak berdiri dengan senyum yang lebar di antara kerumunan orang-orang yang juga sedang menunggu buah hati mereka, aku melihat kedua orangtuaku yang paling bahagia saat itu. Melihat mereka tersenyum bangga, tekatku menjadi lebih tinggi, yang dulunya aku hanya ingin sekolah di sekolah impianku, kini aku menjanjikan toga wisuda untuk mereka.
Cerpen Karangan: Lesi Dona Lisa Blog / Facebook: Lesi Donalisa