Kalau ditanya dahulu, tentu saja aku mau punya banyak uang, pergi berlibur keluar pulau naik pesawat, menginap dan makan di five stars hotel. Tapi sekarang setelah semuanya terwujud, mengapa seperti ada bagian yang kosong dalam rongga dadaku? Aku menginginkan kehadiran teman-temanku.
Pada pesta ulang tahun yang dipersiapkan dengan mewah sedemikian rupa, kue tart tinggi bersusun tiga, kerlip lampu bagai bintang di angkasa, dan untaian bunga, semuanya tidak bisa membuatku bahagia. Bahkan dandanan ala Putri Disney yang selalu kuidamkan saat aku kecil, tak menarik perhatianku lagi. Gaun megah ini ternyata berat, menyulitkan untuk bergerak. Dan menjaga rambut agar tetap terurai memesona sungguh melelahkan.
Diam-diam aku menyelinap. Kabur dari kejutan yang dipersiapkan keluarga khusus untukku saja. Kalau mau mengadakan pesta, kenapa tidak di rumah saja? Agar aku bisa menghadirkan teman-temanku disana. Bukan seperti ini. Ini adalah acara temu relasi berkedok birthday party yang dihadiri beberapa kolega bisnis yang mereka miliki disini. Bahkan ayahku pun tidak disini. Beliau tetap di kota karena sibuk bekerja. Kami juga jarang menghabiskan waktu bersama. Waktu yang ada hampir seluruhnya digunakan untuk mengelola aset supaya bertumbuh, memutar uang supaya bertambah. Kemudian kembali ke rumah dengan perasaan lelah, atau jengah dengan urusan bisnis yang dibawa hingga ke meja makan.
Aku menyusuri tepi pantai yang kukunjungi kemarin waktu baru tiba, tanpa alas kaki. Kemudian memandang lurus ke depan, sepertinya pergi agak jauh lagi tidak mengapa. Baru tahu aku bahwa dekat sini ada pasar. Tanpa menghiraukan pandangan orang pada dandananku, aku jalan saja. Entah mengapa rasanya lebih lega melihat-lihat aktivitas sederhana orang-orang. Tanpa perlu memikirkan setelan apa yang pantas digunakan untuk menemui Mr. A, B, C dst.
Sebuah toko menarik perhatianku. Aku berjalan memasukinya. Penjaga toko menyapa ramah dibalik etalase. Ia mengucapkan selamat datang kemudian menawarkan mahkota mutiara. Untuk melengkapi dandananku mungkin, pikirnya. Tapi aku memang tidak ingin dandanan ini disempurnakan. Yang kuinginkan justru melepasnya hingga pandangan aneh orang-orang juga ikut terlepas bersamanya. Aku menggeleng pelan. Jika bukan yang satu itu, maka penjaga toko tak punya ide lagi tentang apa yang cocok untukku. Ini bukan tentang apa yang cocok, aku ingin orang memperhatikan apa yang kuinginkan.
Aku pergi berkeliling. Sebuah eyeshadow yang dikemas dengan wadah berbentuk kotak musik membuatku terpikat. Aku memang menyukai segala sesuatu berbau musik, karena musik adalah teman saat kesepian. Musik menyembuhkan, tapi beberapa liriknya terkadang membunuh. Langsung saja aku menanyakan harganya. Seketika itu juga bagian-bagian dalam diriku mulai berdebat.
“Kamu tidak mampu membelinya.” “Ini tidak mahal, aku bisa memilikinya.” Diriku tahu dengan pasti bahwa aku memiliki banyak uang untuk membeli apapun. Tapi batinku bersikeras bahwa aku miskin dan tak punya. Sementara logikaku berkata, “Uangmu tidak kau bawa ”
Benar. Yang paling benar adalah logikaku. Aku meletakkannya di atas etalase, mengembalikannya kepada penjaga toko. Tidak kusangka, ia menawarkan sesuatu yang jauh lebih murah dibanding barang sebelumnya. Aku tersinggung. Apakah dia kira aku tidak mampu? Aku pamit pergi dan keluar dari toko. Besok, aku akan kembali untuk membeli segala sesuatu dari sini. Tapi, apakah uangku hanya berfungsi untuk menunjukkan kekuatan agar tidak diremehkan?
Keesokan harinya, kami sudah berkemas. Menunggu taxi tiba sambil meremas ujung baju dengan cemas. Takut tertinggal pesawat. Dalam batin aku tahu, mau taxi itu datang 30 menit lagi pun tetap tidak akan terlambat. Mendadak aku teringat, kemudian aku bangkit dan berlari pergi ke toko itu lagi. Orang-orang panik memintaku kembali. Aku hanya bilang pada mereka untuk menunggu urusanku sebentar.
“Apa ini? Barang-barang murah seperti ini lebih baik tidak usah dibeli. Kamu bisa mendapatkan yang high quality di mall kota kami.” “Oleh-oleh, dibawa dari tempat yang kita kunjungi. Bukan dari kota sendiri.” Jawabku sinis pada sepupuku yang menyebalkan. “Kamu pulang liburan tanpa membawa oleh-oleh buat keluargamu, melupakan mereka?” Tanyaku sarkas.
Aku memborong dream-catcher, kalung kerang, gelang mutiara, dan segala aksesoris berbau laut. Tidak lupa eyeshadow kotak musik itu. Aku menghitung dalam mobil, berharap itu semua cukup untuk dibagikan pada orang-orang yang kucinta di kota.
“Ini cangkang kerang asli?!” “Iyaa.” Jawabku untuk yang kesekian kali. “Kamu suka?” “Suka lah, gila! Kalau disini mana ada yang begini? Adanya kerang plastik yang diproduksi mesin pabrik.”
Aku tersenyum. Yang membahagiakanmu, ternyata bukan uang. Tapi nilai yang bisa diberikan oleh uang itu, apa yang bisa dilakukan dengan uang itu. Mau punya banyak uang, kalau tidak tahu mau apa juga percuma. Tapi kalau tahu mau apa sementara tidak ada uangnya, juga sulit. Tentu saja uang penting, semua orang membutuhkannya. Tapi jangan membiarkan uang memenuhi kepalamu dan mengosongkan hatimu.
Cerpen Karangan: Wuri Wijaya Ningrum