“Nana! Jangan main hp mulu, sana lantainya disapu!”
“Nana! Kamu jangan taruh barang-barang kamu disini! Nggak rapih tau!” Pekik Mama tak suka. Aku menghela nafasku, ketika teriakan perintah itu tak sepadan dengan apa yang aku lihat. Baju Mama yang memang pada dasarnya baru ia angkat dan taruh di tempatnya, semulanya bercecer di mana-mana, dan baru dipungut untuk menyuruhku melakukan hal yang sama. Berikan aku contoh. Bukan perintah.
“Nanaa!! Tolong adik kamu itu, takutnya nanti dia jatuh!” “Nana, tolong bantu adik kamu belajar, ya?” Aku tersenyum tipis mengetahui rasa itu lagi-lagi menyelimuti tubuhku. Ketika para remaja lainnya merasa diduakan dengan pasangan cinta monyet mereka. Apakah diduakan orangtua sebanding dengan perasaan itu? Berikan aku kasih sayangmu. Aku pasti akan menerapkannya pada orang lain.
“Astaga Nana, apa-apaan ini?? Kamu beneran berusaha buat nilai ini? Mama pikir nggak, deh. Jadi tolong, tingkatkan nilai kamu.” Aku kembali membuat senyuman manis itu. Untuk kesekian kalinya, aku melempar senyuman pada orang lain terutama Mama. Namun tidak pada diriku sendiri. Tentu saja, hal itu membebaniku. Menjadi cucu pertama di keluarga yang menikah muda, anak pertama dari orangtua yang suka mencoba-coba, dan menjadi anak gadis pula. Semua harapan pun tertoreh pada sosok rapuh sepertiku. Namaku adalah Nana. Gadis biasa yang menyimpan ribuan perasaan di dalam senyuman.
Padahal aku sudah berusaha keras. Namun ternyata, adikku berhasil lebih selangkah maju ke depan untuk mencari perhatian, serta kasih sayang yang aku inginkan. Nana adalah namaku. Dan aku bukanlah gadis murung seperti yang terlihat. Aku adalah gadis yang seharusnya ceria, yang seharusnya pandai bersosialisasi, dan banyak skill yang bisa kupamerkan. Namun sayang, semua itu tak ada gunanya ketika prestasi akademis yang hanya mereka banggakan.
Ketika aku dikesampingkan, hanya karena tak sama dengan apa yang adikku miliki. Bisa dibilang, adikku juga tak sepintar itu. Akan tetapi, semangatnya dalam melakukan hal tersebut, senyumannya, serta keceriannya akan banyak hal. Membuat orang lebih senang berada di dekatnya, ketimbang diriku yang kian hari semakin muram, kelam, dan gelap.. Meskipun begitu, aku harus menutup rapat perasaan ini. Dengan berpura-pura menjadi diriku yang dulu, dan mengesampingkan keegoisanku yang terlalu dalam.
“Nana!” Mama memanggilku lagi dari ujung dapur. Aku masih di depan laptopku, sibuk dengan tugasku yang mau tak mau harus dikesampingkan hanya untuk menghampirinya. Lebih baik cepat, atau aku akan tak sengaja menginjak ekor singa.
“Ya, Ma?!” Jawabku dengan nada yang sama tingginya. Mama menghela nafasnya. “Udah berapa kali mama bilang? Kalau sama orangtua itu, harus pake nada yang lebih rendah? Nggak boleh ngebentak. Bahasanya juga halus, jangan kayak kang palak di jalan gitu.” Jelas mama membenarkan. Aku pun tak bisa melawan. Inilah mama. Wanita yang selalu menegur segala celah kesalahan, dan tokoh utama dalam setiap tangisku yang egois.
“Iya, iyaa. Gimana tadi?” Mama menoleh ke arahku. “Kamu tolong angkat jemuran yang ada di belakang. Abis itu jemur baju yang udah mama laundry tadi, ya?”
“Oh ya!” Aku memutar bola mataku malas. “Apalagi?” “Isi botol adik kamu. Dia habis ini mau latihan.” Perintahnya. “Tapi kan adik bisa!” Kataku mencoba menolak. Akan tetapi, kata itupun terlontar. “Jangan egois. Adik kamu itu capek, kamu cuman rebahan mulu daritadi. Bisa kan bantu adik sebentar kan bisa?” Jelasnya.
Dengan raut wajah yang sudah terlihat murung, bahkan tak enak dipandang. Aku pun hanya bisa menuruti apa perintah darinya. Toh, setidaknya Mama bukanlah tipe pemarah dan terlalu ketat seperti Mama teman-temanku yang lain. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuatku ingin sekali membandingkan Mama dengan orangtua di luar sana. Dan hal itu, sudah terjadi berulang kali.
Aku pun melakukan apa yang Mama perintah, garis miring, dengan malas. Aku tak suka disuruh. Apapun yang kulakukan, harus berdasar atas apa yang ingin kulakukan, bukan keinginan orang lain. Akan tetapi, semua orang tak bisa menerima keegoisanku. Dan aku mengerti, karena akulah yang harus terbebani. Anak pertama, cucu pertama, perempuan lagi. Meresahkan memang. Tapi takdir inilah yang sudah kujalani.
Memalsukan segalanya, bahkan untuk hal yang kuinginkan sekalipun. Aku merelakannya, demi sang Adik yang dicintai banyak orang. Adik lelakiku, yang pandai membangun suasana menjadi apa yang ia inginkan. Ketika ia ingin suasana ini menjadi miliknya, pun ia bisa menjadi pusat perhatian dengan sekejap. Mengesampingkan diriku yang seharusnya menjadi pertama.
Ketika ia datang dengan senyuman dan teriakan khasnya, Mama selalu menghentikan segala aktivitasnya dan menatapnya dengan penuh kasih sayang. Berbeda denganku, yang selalu mendapatkan lirikan tipis dan sikap yang aku inginkan ada, namun tak ia berikan karena aku bukanlah adikku. Rasa iri yang bergejolak pun tertimbun lagi. Aku hanya bisa mengikat semua perasaan itu, dalam satu perilaku manis yang dinamakan senyuman.
Kebetulan sekali nenek dan kakek sedang berkunjung hari ini. Oleh karena itu, mau tak mau. Akting sebagai gadis baikku harus lebih profesional lagi, agar mendapatkan sayang yang aku mau dari mereka. Dan nyatanya, keluarga orang lain memang lebih nyaman ketimbang keluarga dalam rumah yang menyesakkan. Aku pun hampir menyelesaikan pekerjaan rumahku.
Dengan terpaksa aku pun menghentikan aktivitasku. Karena apa? Jiwa itu kembali memelukku. Jiwa iri dan benci, malas dan kesal, menjadi satu menyeretku pergi dari segalanya. Aku melihat adikku tersenyum karena mama menyuruhnya untuk istirahat saja. Wajarlah, mungkin karena ia lelah setelah melakukan kegiatan beratnya seperti bermain bersama temannya. Aku tau dia lelah, aku tau.
Akan tetapi, aku tidak terima ketika dia bersantai begitu saja. Sedangkan aku disuruh kesana kemari membersihkan rumah, sedangkan dia dengan seenak jidatnya mengotori rumah. Dan berakhir, akulah yang menjadi pembantunya. Aku kesal! Katakanlah aku egois, aku sudah memendam perasaan selama ini. Dan aku berusaha untuk tak mengatakannya, agar dicap anak baik. Tapi, ini tak semudah apa yang dikatakan.
Aku memalingkan wajahku menjauh dari pemandangan menyesakkan itu. Sebelumnya, aku memang bersyukur, karena kedatangan adikku menjadi pembangun suasana yang girang. Namun dibalik itu juga, aku tak ingin melihatnya, karena disaat ia melakukan itu, aku hanyalah karakter sampingan yang membantu si bangsawan untuk mendapatkan mahkotanya.
Dan setelah paksaan dari hati. Aku pun menyelesaikan pekerjaan rumahku. Berniat untuk merebahkan tubuhku yang lelah ini, namun kembali teringat kalau tugas sekolah pun masih menumpuk. Ditambah tekanan nilai yang tak begitu memuaskan, membuat suasana hati semakin kalang kabut tak jelas. Dan sesaat tubuh bagian bawahku menyentuh kursi itu, mama lagi-lagi memanggilku.
“Nana!” Aku mendengus dan melempar kotak pensilku kesal.
“Ada apa, ma!?” “Kesini coba!” “Kenapa??” “Kesini dulu!!” Aku memutar bola mata malas. Selalu saja seperti itu, menyuruhku untuk menggerakkan seluruh badanku ini untuk mengerjakan tugas sepele.
“Ada apa, ma?” Ucapku sembari mendekati Mama. “Nih,” “Hah?” Mama menyodorkanku es batu. “Mecah es batu, gitu?” “Ya, ya dong, mau gimana lagi? Ayo buruan, mama udah capek seharian masak. Gantian kamu sana yang mecahin es batu.” Ucap mama, sembari meninggalkan dapur dengan ekspresinya yang nampak, tidak lelah.
“Buat apa?!” “Ya bikin es lah!”
Dan kini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Mama yang tengah melempar senyumannya pada Charles, adikku. Senyuman yang takkan pernah kudapatkan lagi, karena kini hanya Charles yang menjadi penyemangat Mama. Sedangkan aku, adalah sisa dari semangat mama. Charles tengah bermain dengan ponselnya, dan mama dengan sabar memijat punggung Charles karena sebentar lagi bocah itu akan les futsal.
“Ma, nanti pas turnamen aku bakalan dapet juara satu!” Sahut Charles dengan semangatnya. “Oh ya? Bagus kalau adek punya semangat kayak gitu. Sekarang istirahat dulu, ntar kecapekan..” Ujar mama ikut menyemangati.
Aku yang melihat kenyataan itu ingin sekali menangis. Berteriak, dan mengungkapkan segalanya. Akan tetapi semuanya akan percuma. Akting yang telah kubangun untuk menjadi anak baik akan sirna, dan Mama akan lebih mengecapku sebagai anak malas, Papa yang semakin mencibirku dengan putri tidur, dan Charles yang akan terus mengejek kekuranganku.
Masa bodoh dengan segalanya, kupecah es batu itu sampai sehalus es serut. Tak peduli bagaimana bunyinya, atau bahkan teriakan Mama yang mendengar keributan di dapur. Aku tak peduli. Karena aku benar-benar kesal, aku rindu Mama yang dulu. Aku rindu ketika semuanya adalah milikku dan semua perhatian tertuju padaku. Aku rindu pada keadaan yang selalu berpihak padaku. Rindu pada masa sebelum adanya Charles terlahir.
Cerpen Karangan: Chrystalistic Facebook: facebook.com/nuraini.yusmaida.94 Chrystalistic adalah nama samaran untuk diriku yang memang agak risih dengan yang namanya sorotan. Oleh karena itu, salam kenal. Aku Chrystalistic, gadis biasa dengan segudang harapan.