Matahari pun sudah waktunya bergilir ganti dengan sang Purnama. Cahaya putih yang gemilap, serta bintik-bintik kecil indah yang tersinar bak glitter langit di malam hari. Bahkan panorama ini nampak lebih indah, ketimbang embun yang menyapu debu kasat mata serta melodi kicauan burung di pagi hari. Purnama yang selalu menemaniku ketika aku sudah melakukan semuanya dengan baik. Purnama yang selalu membelai netraku dengan cahayanya yang nyaman.
Ketika aku dengan segala aktivitas malam, ia selalu memandangiku seraya berkata, “Kamu sudah melakukan yang terbaik.” Aku selalu tersenyum ketika menatapnya. Apalagi kini hujan, salah satu aksesoris terindah dari langit yang bisa kupandangi untuk menutupi beberapa tetes asin yang keluar dari kedua mataku.
Aneh bukan, hari ini purnama. Akan tetapi hujan juga datang. Bahkan awan hitam pun tak bisa menutupi purnama di malam hari ini. Sungguh keajaiban yang tak terkira. Dan di saat inilah, waktunya diriku berlari untuk mengejar mimpi-mimpiku. “Yah, tugas numpuk sih, padahal udah aku jejerin. Dahlah, daripada nunggak mulu.” Gumamku.
Aku dengan semangat yang diberikan hujan dan purnama. Mengerjakan semua tunggakan meresahkan itu di malam itu juga. Niatnya memang mengerjakan semuanya sampai selesai, agar aku bisa kembali merebahkan tubuhku, dan menatap luar jendela untuk bercengkrama kalbu dengan sang Purnama. Akan tetapi, suara itu terus saja memanggilku.
“Nana!” Dan lagi. “Nana!!”
Aku menghela nafas. Mencoba sabar, agar tak membanting apapun yang ada di sekitarku. Dan mau tak mau, kaki ini harus melangkah keluar untuk menjawab panggilan buatan manusia yaitu, Mama. Orang yang sudah duduk manis bercengkrama dengan Nenek dan Kakek, serta Paman dan Bibi yang baru saja datang di sore hari tadi.
“Iya, ma?” Tanyaku dengan wajah yang dibuat ceria. Bibi menatapku. Aku pun tersenyum. “Semua ngumpul disini, kamu kok di kamar terus kan nggak sopan.” Jelas Mama. “Tapi kan papa juga di luar, kenapa aku kalau di dalem nggak boleh?” “Hey, Papa kamu itu sama Paman kamu itu, lho. Gini nih, kalau udah di kamar terus, efeknya ya jadi gini. Nggak tau apa-apa. Adek kamu ini aja sering ngobrol sama Nenek Kakek juga. Kamu? Main laptop mulu di kamar. Nggak ada gunanya juga, kan? Tugas kamu udah kelar, kan?” “Ma…” “Udahlah, Na. Kamu itu di kamar terus, pasti juga tidur mulu. Keluar sebentar nggak akan ngaruhin kamu, kan? Dahlah duduk sini.” Ucap papa menengahi setelah datang mendengar keributan yang ada di dalam.
Tidur? Aku bahkan tak memiliki niat untuk itu. Mempengaruhi? Apa maksudnya keluar sebentar mempengaruhi. Lalu apa yang kulakukan hari ini? Apakah aku hanya bakteri baik yang membersihkan seluruh ruangan, atau benar-benar anak yang mereka lahirkan? Atau benarkah, aku ini hanyalah anak coba-coba. Semisal berhasil aku beruntung, dan tidak, aku hanya akan membayarnya dengan mentalitas.
Aku terkekeh pelan. “Jadi kalian menyimpulkan kalau aku itu, tidur terus di kamar? Mama juga ngira tugas aku udah kelar? Terus gimana kalau Charles? Gimana kalau dia main hp mulu, dan main bareng temennya? Aku bahkan nggak pernah, ma….” Kepalaku menunduk. Menahannya agar tak keluar di depan semua orang. Akan tetapi, pancingan itu terus memancing emosi itu. Mama menghela nafasnya, “na, please ini kita lagi bareng bareng gini kamu jangan egois gitu dong.”
“SETIAP HARI, MA! ITU KATA KATA YANG DIUCAPIN MAMA KE AKU! EGOIS! EGOIS! EGOIS!”
Bulir itu menetes secara bersamaan. Mataku terpejam, semuanya terdiam dan membisu. “Tugas online ini bener-bener bikin aku stress! Keadaan yang nggak memungkinkan aku buat belajar serius, Charles yang tiap hari berisik! Buat aku pusing, stress, frustasi! ITU AJA UDAH DUA MASALAH!” Suaraku meninggi, namun aku tak lagi takut. Aku telah dikuasai keegoisan dan hasrat memberontak.
Mataku mengkilap telah diselimuti bulir bening. “Yang ketiga adalah Mama! Suruh aku kesana kesini, kerjain ini itu panggil NANA NANA NANA NANA NANA!!! A-aku cuman satu, Ma! Sabar! Kalau aku bisa membelah diRI, aku belah, Ma! Satu buat Mama biar lebih mudah nyuruh aku! Dan satu aku sendiri yang mengerjakan tugasku!”
“Mama pikir Mama tau segalanya!? Hey, Mama? Apa Mama tau anakmu ini sering ngomong-ngomong sendiri ke bulan untuk menerbangkan dirinya sendiri kesana?! Anakmu ini udah gila, Ma! Dia sering denger kata-kata menyakitkan, yang nyuruh dia UNTUK MENYAKITI DIRINYA SENDIRI!!”
“Jangan pikir Mama tau segalanya, dengan melihatku dari luar pintu kamar! Lihat dalemnya, Ma! LIHAT! Apa Mama lihat? Aku menggembok semua tangisku di dalamnya. Tanya aja sama iblis, setan, dan makhluk halus yang ada di sana! APA AJA YANG AKU LAKUIN KETIKA AKU SUDAH MUAK DENGAN SEGALANYA!”
“AKU NYAKITIN DIRI AKU SENDIRI, MA!!” “SAKIT!” “PEDIH!” “PERIH!” “AKU MUAK SAMA KATA EGOIS!”
Dadaku naik turun. Emosi masih belum terkendali. Hasrat untuk mengamuk mendominasi. Namun jauh dari itu, aku merasa lega. “Kalau memang kata egois itu dilahirkan buat aku. Lalu kata apa yang cocok untuk Charles? Apa? Ma… Apa bener kalau Chales itu juaranya, dan aku sampahnya?”
PLAK!
“Ma!” Papa menghalangi mama untuk menamparku lagi. Namun telat, rasa sakit itu sudah mendarah daging. Tamparan ini tak sesakit realita yang sudah menamparku berkali-kali dari berbagai sisi. Namun fakta bahwa yang menamparku itu adalah Mama. Lebih menyakitkan dari itu.
“Dan sekarang… Mama nampar aku.” Nadaku pun kian meninggi. “Jadi semua itu benar, ’kan? Kalau mama nggak tau apa-apa. ALASAN KENAPA AKU SELALU TIDUR, ALASAN KENAPA AKU LEBIH SUKA DI KAMAR, ALASAN KENAPA AKU SELALU BENCI SAMA CHARLES, ALASAN KENAPA AKU MALES DISURUH MAMA! APA MAMA BENER-BENER SAYANG SAMA AKU!? APA AKU BENER ANAK MAMA—”
PLAK! “Ma, udah!” “TERUS KENAPA!?” Aku mendongak terkejut. Mendengar suara serak mama yang meneriaki Papa.
“NANA INI UDAH SEENAKNYA BILANG AKU NGGAK SAYANG SAMA DIA! PADAHAL KAMU TAU, KAN?! GIMANA PERJUANGAN AKU KETIKA DIA ADA DI DUNIA INI?!” Mama pun menatapku. “Kamu juga nggak tau apa-apa tentang seberapa Mama sayang sama kamu. T-tapi… Mama…”
“Tapi Mama apa? Kalau memang Mama bener sayang sama aku. Apakah dengan menyebar aib kayak gitu mencerminkan hal yang disebut kasih sayang? Ma… aku udah memendam perasaan ini dari lama. Aku selalu akting kalau aku nggak iri, aku akting kalau aku baik-baik aja, aku akting kalau aku bahagia dengan semuanya. Dan seharusnya aku gitu!” “T-tapi karena aku nggak bisa… aku nggak bisa bohong sama diri aku sendiri. Aku benci Charles, aku benci Mama yang selalu mendahulukan Charles, dan membuat aku juga terpaksa mengutamakan Charles… AKU BENCI BANGET! Kenapa aku nggak bisa dapat kasih sayang kayak dulu? KENAPA?!”
“Aku tau gimana perjuangan kalian. Kalian nggak harus bilang pun aku tau. Tapi ungkapan kalian ke aku, kenapa harus aku yang dicoba-coba? Ketika Charles adalah produk suksesnya, apakah aku yang gagal?”
“Aku takut, Ma… nggak ada yang nemenin aku di setiap perjalanan. Sedangkan Charles, dia dapat segalanya. Aku benci, Ma… ketika aku sendiri namun harus beradaptasi dan kini aku menjadi penyendiri. Aku frustasi, Ma… ketika semua menyalahkanku, padahal hari itu aku sudah mengalami ribuan masalah. Aku capek, aku sakit hati, aku bahkan… pernah berharap untuk nggak dilahirkan aja.”
Mama meneteskan air matanya. Papa di samping Mama untuk menenangkannya. Sorot matanya kini sama seperti dulu. Mengasihani, dan berharap untukku menghentikan segalanya. Sedangkan aku, seperti tersangka buronan yang mengakui semua kasus kejahatannya. Padahal aku sendiri adalah korbannya. Korban yang sudah memendam segala perasaannya, dan berharap ada seseorang yang menolongnya namun hanya akan mendapatkan olokan bila mengadu.
Aku menghirup nafas pelan, menahan genangan air itu lagi dan menghadap Mama dan Papa lekat lekat. “Kalau Mama memang beneran sayang sama aku.” “Setelah Papa yang menjadi cinta sejati Mama, Charles yang menjadi prioritas Mama di segalanya …,”
“Apakah aku menjadi yang kedua?”
Cerpen Karangan: Chrystalistic Facebook: facebook.com/nuraini.yusmaida.94 Chrystalistic adalah nama samaran untuk diriku yang memang agak risih dengan yang namanya sorotan. Oleh karena itu, salam kenal. Aku Chrystalistic, gadis biasa dengan segudang harapan.