Anggota Komunitas Pencari Uang atau Si Sibuk Pencari Uang itulah image yang tertancap untuk kedua orangtuaku. Image itu dilontarkan oleh seorang ustadzah di kampungku. Sejak kecil aku tahu kalau kesibukan kedua orangtuaku termasuk pekerjaan yang halal dan hasilnya untuk penghidupan kami, untuk biaya pendidikanku dan aneka kebutuhanku yang lainnya.
“Menjadi wali murid itu tidak mudah, maka dari itu kita harus menjaga amanah dari Tuhan Yang Maha Esa, meskipun ada dari anda yang bekerja juga harus tetap memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Jangan bingung mencari uang terus karena kehidupan yang kekal adalah di akhirat bukan di dunia” ucap Ustadzah itu dengan PD nya. Ustadzah itu memang dikarunai kepedean yang luar biasa oleh Allah ta’ala namun terkadang ke pd annya itu kebablasan. Kupandangi mamaku yang tengah duduk terdiam menyimak perkataan ustadzah itu. Dari wajah mamaku yang tenang tampak ada guratan tersinggung atas perkataan tadi.
“Oh iya ibu-ibu, untuk biaya pendidikan ananda tolong diperhatikan ya, mengingat anada akan kenaikan kelas” ucap ustadzah itu lebih lanjut namun mamaku hanya menanggapi dengan senyum manisnya.
Kupegang tangan mamaku yang tak begitu halus, mamaku berparas cantik namun tangannya jauh dari kata halus. Kekasaran itu didapat bukan sejak lahir namun sejak ia membangun rumah tangga dengan papiku. Setiap hari mama selalu dengan cekatan mengurus rumahnya, mulai dari bersih-bersih rumah, memasak, mencuci baju, mencuci peralatan makan, setlika baju dan setiap hari mama selalu memastikan perkembangan positif menghampiriku, seperti mama dengan senang hati menjawab aneka pertanyaanku, seringkali mama ditanya kawannya “kok kuat mbak menjawab pertanyaan anaknya terus?” Namun mama selalu menjawab, “itu saya lakukan supaya anak saya pandai dalam menganalisis masalah-masalah yang datang di hidupnya mendatang. Anak yang selalu aktif bertanya itu menandakan bahwa dia sedang mengkritisi hal-hal yang terjadi di depannya, jika kita menjawab dengan senang hati maka ia tidak akan takut mengkritisi masalah-masalah di kehidupannya mendatang”. Bagaimana bisa seorang wanita yang sebaik ini mendapatkan image seperti itu? sudahkah ustadzah itu berperilaku lebih baik dari mamaku? Itu yang terkadang membuatku tak tahan melihat mama dikatai yang buruk-buruk.
“Zul, setelah ini kita ambil rapor dula ya baru pulang” ucap mama Seusai rapat dengan Ustadzah yang nyebelin itu, mama mengajakku mengambil raport di ruangan sebelah. Di ruangan itu, kulihat ada seorang bu guru yang sangat keibuan duduk di depan meja sedang menata raport. “Kelas A1 ambil rapornya di sini ya bu?” Tanya mamaku “Iya bu. Silahkan duduk dulu” jawab bu guru itu
Beberapa menit kemudian mamaku sudah memegang raporku di tangannya. Dibukanya raporku, mamaku melihatnya dengan teliti kemudian kulihat sebuah senyuman manis tersungging di bibir tipisnya. “Baik ibu, rapornya saya terima. Apakah ada lagi yang perlu saya lengkapi?” Tanya mamaku “Tidak ada bu, hanya jika ibu punya tanggungan biaya pendidikan dimohon ke TU kami untuk menyelesaikannya” ucap bu guru itu “Alhamdulillah biaya pendidikan anak saya sudah lunas bu, sekitar 1 bulan yang lalu berikut dengan uang paguyubannya juga sudah lunas” jawab mamaku dengan tenangnya “Loh.. oh iya bu” jawab bu guruku kaget. Kemudian mama berpamitan pada bu guru dan mengajakku pulang. Mama menggandeng tanganku meninggalkan ruangan itu kemudian kami melewati sebuah ruangan. Di sana kulihat Ustadzah yang nyebelin itu tengah duduk dengan arogannya dan di hadapannya ada ibu-ibu yang tengah berbincang-bincang dengannya.
“Saya mohon keringanannya ya bu, karena ini masih pandemi dan suami saya nggak kerja. Insyaallah nanti kalau sudah punya uang akan saya bayar tanggungannya” ucap seorang ibu dengan dandanan modisnya. “Saya juga bu, untuk saat ini saya belum ada uang untuk membayar biaya pendidikan anak saya. Jadi saya mohon keringanannya” ucap ibu modis yang lain lagi. “Saya juga bu.. saya juga bu” ucap beberapa ibu modis yang lain. Kemudian ustadzah yang nyebelin itu dengan senyuman manis nan meremehkan mengiyakan ucapan ibu-ibu modis itu. “Iya bu, saya mengerti memang kita harus memberikan bantuan kepada yang memerlukan. Saya sadar kalau anda semua ini adalah ibu rumah tangga yang fokus kepada anak sehingga tidak bingung mencari uang namun lebih fokus terhadap kehidupan ukhrowi. Baik ibu, saya beri anda sekalian kesempatan mencicil biaya pendidikan ananda” ucap Ustadzah itu
“Izul, kok masih di situ? Kenapa nak?” Tanya mamaku. Begitulah mamaku selalu menanyakan alasan atas setiap perbuatanku. “Ma, itu kok masih ada rapat. Mama kok nggak ikut?” ucapku “Anakku, itu rapat khusus, mama bukan anggota dari rapat khusus itu. Ayo pulang” ucap mamaku “Iya ma” jawabku
—
“Gimana rapornya anakku?” ucap papiku “Bagus pi” jawabku “Oh iya?” kata papiku “Rapornya bagus pi, kalau kata gurunya dia supportif, selalu pegang janji, punya rasa peduli, tidak lekas marah namun kalau dilanggar haknya ia akan protes” terang mamaku “Oh iya Alhamdulillah kalau begitu. Untuk disiplin dan membacanya?” Tanya papiku lebih lanjut “Kalau masalah itu catatannya berkembang sesuai harapan kok pi, kan setiap hari belajar membaca dan menulis bersamaku” ucap mamaku “Alhamdulillah berarti kita tinggal mengembangkan saja. Oh iya, tadi kamu dapat sindiran apa dari ibu Ustdzah?” Tanya papiku “Hehehe tadi aku dikatai Si Sibuk Pencari Uang tapi masa bodo lah pi yang penting tanggungan anakku sudah lunas semua dan yang terpenting aku nggak perlu menangis untuk memohon keringanan” tukas mamaku. “Hah? Apa ada yang begitu?” Tanya papiku heran “Ya ada dong pi, mana dandanannya modisnya selangit lagi. Kan lucu dilihatnya masak iya modis tapi nggak punya duit? Hahaha” tukas mamaku tertawa “Hahaha kau ini. Baguslah kalau kau sudah bisa mengendalikan dirimu sendiri. Ustadzah itu memang gitu, jadi hidup itu nggak perlu terlalu kerja keras karena rejeki sudah ada yang ngatur lha tapi kalau nggak berusaha atau bekerja bagaimana bisa menafkahi keluarga? Bukankah di negeri kita masih hujan air bukan duit? Lagian mana mungkin yang kuasa merubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak berusaha” terang papiku “Iya pi, mangkanya tadi kubiarkan saja mereka minta keringanan ke Ustadzah yang cantik itu” ucapku “Gitu diiyakan?” Tanya papiku lebih lanjut “Iya pi. Ustadzahnya sih mengiyakan dengan senang hati, tapi kok perasaanku jadi nggak enak ya” ucap mamaku “Nggak enak kenapa?” Tanya papiku “Ya, kalau wali muridnya yang sengaja nggak mau bayar gimana sedangkan jika anak sudah lulus ijazah tetap diberikan walaupun masih punya tanggungan” ucap mamaku “Waallah hu ‘a’lam bi showab. Kita tunggu saja kehancurannya setelah anakmu lulus sekolah” ucap papiku
Cerpen Karangan: Rustiana Sofiati Facebook: facebook.com/zakia.arlho