21 April 1997 02:34 WIB “Selamat! Anak ibu perempuan.” Bidan itu tersenyum seraya terpana melihat bayi mungil dihadapannya. Matanya tak berpaling sedikitpun, takjub. Ia pun memberikan bayi itu kepada ibunya, untuk mendapat kontak langsung kulit ke kulit. Wajah ibu itu tak kuasa menahan raut bahagia. Air mata bahagia menetes melewati pipinya yang sudah banjir oleh keringat.
Kehadirannya sangat dinanti. 10 tahun lamanya pasangan ini belum dikaruniai anak. Segala cara sudah mereka kerahkan. Namun, semua tergantung Tuhan yang menciptakan.
“Amanda Cecillia,” ujar sang ibu. Ia berharap puteri kecilnya itu akan tumbuh menjadi perempuan yang baik dan penuh kebahagiaan. Ia pun mencium puterinya itu dalam-dalam. Betapa cintanya ia dengan puterinya itu.
“Halo! Hesti? Bagaimana keadaanmu?” tanya seorang pria di seberang sana. “Baik, mas. Cepat pulang anak kita sudah lahir.” “Aku akan segera pulang Hesti, aku ingin lihat anak kita.”
Ditengah keramaian jalan ibu kota, lelaki itu sudah tidak sabar untuk bertemu puteri kecilnya. Hingga ia tak sadar, bahwa truk bermuatan besar menghantam motor miliknya. Gelap. Ia tidak bisa melihat atau mendengar apapun. Seketika orang-orang berhamburan, menolongnya ke rumah sakit terdekat. Sayang seribu kali sayang, pendarahannya cukup fatal. Ia pun kritis.
Drrrtttt Dering telepon mengagetkan Hesti dari lamunannya.
“Halo! Dengan ibu Hestia?” “Iya, ini dengan siapa?” “Apa betul ibu adalah istri dari Bapak Dion?” “Betul. Ini siapa?” “Kami dari pihak Rumah Sakit Permata. Bapak Dion mengalami kecelakaan dan saat ini kondisinya sedang koma.”
Bak tersambar petir di siang hari. Wajah Hesti pucat. Ia mengelak, bahwa itu pasti bukan Dion suaminya. Tapi memang benar, kabar itu memang suaminya. Ia ingin pergi menemui suaminya akan tetapi, keluarganya melarang. Karena ia baru saja melahirkan. Syok tentunya. Bagaimana tidak, baru saja ia mengabari suaminya bahwa anaknya sudah lahir dan akan segera pulang ke rumah. Tapi takdir berkata lain, ia harus masuk rumah sakit karena kecelakan.
Tiga hari kemudian “Aku sudah kuat untuk jalan bu, aku ingin melihat suamiku. Ia koma bu.” “Benar kamu sudah tidak apa-apa Hes?” “Aku sudah kuat untuk jalan bu, Amanda ingin melihat ayahnya.” “Baik, kita sama-sama pergi ke sana, ya.” “Terima kasih bu.”
Ia pun menghapus air matanya. Akhirnya ia bisa berjumpa dengan suaminya kembali. Meskipun hanya bisa di balik dinding kaca ruangan ICU. Hesti adalah wanita yang tegar. Meskipun sempat menangis karena berita mengejutkan itu, ia tetap tenang dan lebih banyak berdoa untuk keselamatan suaminya.
“Mas.. Akhirnya kita ketemu lagi. Tiga hari loh mas gak pulang ke rumah. Amanda mau lihat mas. Cepat sembuh mas, aku sayang kamu.” Hesti berbicara dibalik dinding kaca ruangan. Namun tanpa sepengetahuan Hesti, air mata Dion jatuh melewati pipinya yang masih terpasang alat-alat medis.
Sesampainya di rumah, Amanda menangis ia langsung memeluk puteri tercintanya dan membisikkan kata-kata yang langsung membuat puterinya itu tenang. “Ibu habis ketemu ayah. Kata ayah sebentar lagi dia akan main bersama kita sayang. Amanda sabar ya, ayah sayang sama Amanda.”
Ajaibnya Amanda berhenti menangis, seolah-olah mengerti apa yang dikatakan ibunya. Melihat puteri kecilnya langsung tenang, ia langsung memeluknya erat-erat. Dan meletakkan kembali puterinya ke ranjang bayi yang ada disebelah kasurnya.
Kali ini keadaan Dion sudah mulai ada perkembangan, namun masih belum bangun dari koma nya. Begitu pula dengan Hesti, sebagai istri ia selalu berada di sisi suaminya. Meskipun tidak 24 jam, karena Amanda puteri kecilnya belum boleh memasuki area rumah sakit. Hesti selalu mengajak bicara Dion. Meskipun, ia tahu Dion belum bangun dari komanya. Tetapi, ia merasa Dion sedang mendengarkannya dengan penuh hati-hati.
“Mas tau gak, Amanda semalam nangis terus tau. Tapi Amanda pinter mas, kalau ibunya mau pergi ketemu ayahnya dia langsung diem. Nurut banget ya mas dia…” Sambil menggenggam tangan suaminya.
“Mas kembali lah, Hesti dan Amanda sedang menunggu mas. Balik ya mas, aku sayang kamu.” Hesti tau apa yang harus dia lakukan sekarang ini. Berdoa. Memohon petunjukNya dan bersabar. Menangis semalam tidak berpengaruh apa-apa. Hanya kekuatan doa dan mukjizat dariNya lah yang dapat membantunya dari cobaan hidup yang ia alami. Berserah diri lebih baik, daripada memaksakan kehendakNya.
Sebelum Hesti pulang ke rumah ia mencium kening suaminya dan berpamitan. Saat tangannya meraih tas kanvas yang ia bawa. Ia melihat jemari Dion bergerak, dan matanya berusaha terbuka. Hesti bukan tipikal orang yang panik. Ia pribadi yang tenang. Sebelum memanggil dokter untuk memeriksa keadaan suaminya, ia mengajak Dion untuk merespon suaranya.
“Mas?” Ia mengangguk, ada seberkas senyum disana.
“Kamu dengar aku? Kamu sudah sadar?” Ia mengangguk lemah. Hesti mengucap syukur berkali-kali. Ia memanggil dokter.
“Sungguh keajaiban Tuhan. Padahal presentase kehidupannya kecil. Tuhan memberikan kekuasaannya hari ini.” “Jadi suami saya sudah sadar dok?” “Suami ibu sudah melewati masa koma nya, meski begitu sekarang ia masih lemah. Kita patut bersyukur pada yang maha kuasa.”
Mata hesti berkaca-kaca. Ia tidak menyangka masih diberi kesempatan untuk mengukir hari indah bersama Dion kembali. Suasana ruangan menjadi mengharukan saat Hesti tak henti-hentinya menggenggam tangan suaminya dan mencium tangannya, sebagai bentuk rasa syukur kini suaminya sudah siuman dari tidur panjangnya.
“Semua ini kekuatan doa tulus sang istri terhadap suami”
Dokter dan asistennya keluar ruangan, menyisakan Hesti dengan Dion. Tatapan mereka seperti orang yang terpisah bertahun-tahun. Dion yang sudah sadar meskipun masih lemah, berusaha mencium kening istrinya.
“Terima kasih Hes, kamu selalu ada disampingku. Maafkan aku telah merepotkanmu.” “Ini sudah jadi kewajibanku mas sebagai istri. Aku gak akan ninggalin kamu dalam kondisi apapun itu.” “Terima kasih hesti, aku sungguh beruntung mendapatkanmu.”
Satu bulan berlalu, Dion baru diperbolehkan pulang setelah menjalani terapi. Satu bulan itu pula Hesti selalu bersamanya, menemani terapi, menyuapi makan dan lain-lain. Lalu tiba lah saat Dion untuk pulang ke rumah. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu puteri kecilnya. Dion menggendong puteri kecilnya itu dengan penuh kasih sayang.
“Amanda Cecillia,” ucap Hesti. “Nama yang indah. Seindah ibu yang melahirkan. Semoga kamu jadi perempuan tangguh seperti ibumu ya nak.” Mata Dion berkaca-kaca.
Dion menghampiri istrinya yang berada di depannya. Dan berkata: “Aku sudah menepati janjiku untuk bertemu dengan kalian.” “Jangan pernah meninggalkan kami lagi mas…” “Mas berjanji akan terus ada di sampingmu Hes dan anak kita.” Mereka pun bertatapan, tatapan kali ini penuh arti. Janji Dion ke Hesti untuk selalu ada disampingnya, membuat hati Hesti tentram.
Kesetiaan dan kasih sayang yang tulus, menjadi obat untukku. – Hestia & Dion
Cerpen Karangan: Dee Blog / Facebook: Dewi Maharani