Padang pasir yang luas itu begitu mencekam. Walau demikian, di sana terdapat sebuah Kastil nan megah. Di dalamnya terdapat empat anggota keluarga yang aneh dan menyeramkan. Entah mengapa langkah kaki ini terdiam, berhenti untuk mengecek apakah benar, apakah ada orang yang semenyeramkan itu?
“Hei, sadarlah kamu tak pantas untuknya lihat saja dirimu, sudah lusuh tak pernah mandi, bau pula!” ucap salah seorang lelaki.
Batinku, “Ada apa nih? Mereka sedang membicarakan hal yang tak perlu kudengar sebenarnya, tapi mereka tak semenyeramkan yang orang-orang bilang, hanya saja mereka memang tertutup dan terlihat dari pakaian mereka yang begitu tertutup dan rapi seolah-olah tak mengikuti trend zaman ini serta dibilang seram oleh orang-orang sekitar. Nyatanya mereka begitu sebagai bukti patuh terhadap apa yang telah diajarkan pendahulunya. Kini dianggap aneh oleh orang-orang modern…”
“Siapa kamu?” terdengar suara perempuan yang amat lembut dari arah belakang. “Eh anu, ini hanya singgah sebentar setelah melakukan perjalanan.” “Ya udah silahkan, tapi jangan macam-macam!” “Oh iya, terimakasih.” “Ohh tuhan kaget aku, tapi tunggu siapa dia…” Batinku.
“Assalamualaikum?” Ucap Humaira ketika masuk rumah. “Waalaikumussalam, eh dari mana kamu Humaira?” “Dari ladang umi, habis jenuh lihat kakak-kakak bertengkar terus.” “Apa kamu bilang, belum dibacakan ayat kursi kamu ya” sergah Kakak. “Lihat kan Umi, baru saja datang sudah ditimpali begitu.” “Sudah jangan begitu kasihan adikmu, ya sudah sana kamu masuk ada sebuah kisah yang menarik di buku yang umi simpan di kamarmu, bacalah.” “Baik Umi.”
“Kurasa sudah cukup bernaung disini, sudah saatnya untuk beranjak pergi.” Kata lelaki itu dengan lirih. “Hei, mau kemana?” Tanya wanita itu lagi. “Mau lanjut mengantarkan sebuah amanat yang dititipkan, masih banyak soalnya.” “Sebentar, ini ada sedikit bekal untukmu di jalan nanti.” “Terimakasih, sudah merepotkan dan diizinkan bernaung disini.” “Iya sama-sama.” “Kalau begitu aku pamit.” “Iya hati-hati.” “Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.”
Ternyata umi memperhatikan percakapan antara Humaira dan lelaki itu. “Siapa itu?” Tanya umi. “Eh umi, entahlah tadi dia disini meminta izin kepadaku untuk beristirahat sejenak.” “Ooh, Umi kira seorang tamu yang akan kamu kenalkan kepada kakakmu, termasuk Umi juga.” “Apa sih Umi.” Humaira tersipu malu dengan candaan Uminya.
Aku pun melanjutkan perjalanan yang masih teramat panjang ini, masih banyak amanat yang harus kusampaikan dan masih banyak pula tanggung jawab yang harus kuselesaikan. Tak terasa hari pun semakin gelap, dan sadar akan peneranganku yang makin redup.
“Ah sial, bagaimana bisa aku lupa soal ini. Kota sudah jauh, dan tak ada rumah lagi setelah kastil yang kutemui tadi.” “Apa boleh buat, ini juga sudah setengah perjalanan kalau pun tiba-tiba motor ini mati ya sudah, terpaksa bermalam di sini.”
Malam pun tiba, dengan kaki yang sudah teramat lelah dan pandangan yang semakin berkurang karena pasir yang tertiup angin. “Bismillah, semoga saja cukup untuk bisa menemukan persinggahan yang baru sebelum motor ini mati.”
Adzan pun terdengar dari penjuru Kota menandakan bahwa subuh telah tiba, anak sulung pun membangunkan kedua adiknya. “Hei bangun, sudah jam berapa ini mau ku siram lagi seperti hari kemarin.” “Apa sih bang! Masih jam berapa ini lagian baru juga Azan.” Sahut anak kedua. “Makanya bangun siap-siap lah kau, bangunkan juga Humaira dan aku yang bangunkan Umi.”
Umi pun bangun dan segera mengambil air wudhu di kamar mandi. “Umi sudah disini, kamu cepat wudhu dan bangunkan Humaira.” Kata Umi. “Tuh kan kamu yang disuruh bangunkan si bungsu itu.” Timpal Abang. “Kamu juga cepat ambil wudhu bukan malah melanjutkan tidurmu, dan laksanakan sholat Qobliyah subuh.” perintah Umi ke anak tengah. “Baik Umi.”
Anak sulung mengetuk pintu kamar Humaira… Tok… Tok… Tok… Tok… “Humaira, bangun sudah subuh!” “Iya bang, sebentar masih merapikan kamar.” “Ya sudah cepat ya, Umi sudah menunggu di mushola keluarga.” “Iya nanti segera menyusul.”
Mereka sekarang berada di Mushola dan semua sudah berkumpul untuk melaksanakan sholat subuh. “Hari ini kalian pada mau kemana?” Tanya Umi. “Entahlah Mi, rasanya capek bekerja dari kemarin mau istirahat di rumah dulu.” jawab Anak Sulung mendahului yang lain. “Terus yang ke ladang siapa?” Tanya Umi lagi. “Dia.” Sulung sambil menunjuk si anak kedua. “Hei, kenapa aku?” tanya anak kedua. “Iya lah kamu yang dari kemarin hanya berbaring di rumah seharian tanpa beraktifitas di luar rumah.” Bantah Anak Sulung. “Jangan aku lah mi, masih sakit nih badanku.” bantah anak kedua dengan raut wajah memelasnya untuk mengadu ke Uminya. “Ya sudah biar Umi saja yang ke ladang sekalian memeriksa apa sudah ada yang bisa dibawa pulang.” “Eh jangan Mi, biar Umi di rumah saja, kita berdua saja yang ke ladang” si sulung yang merangkul si anak tengah, sambil melotot ke arahnya… “Iya iya.” Anak tengah menyetujui isyarat Abangnya.
“Eh iya iya Mi, kita berdua aja yang ke ladang biar Umi di rumah sama Humaira” kata anak kedua. “Baiklah, Humaira nanti bantu siapkan makan ya buat kakak-kakakmu.” “Baik umi.” sambil merapikan semua perlengkapan sholatnya.
Pagi menuju siang, mereka sibuk dengan tugas masing-masing. Umi dan Humaira yang sedang sibuk menyiapkan makan siang begitu pun dengan si sulung dan si Tengah yang menjaga ladang. Tak terasa hari pun semakin sore, tibalah si anak sulung dan si anak tengah pulang ke rumah.
“Eh bang, kapan Abang mau bawa dia ke rumah?” Tanya anak tengah. “Dia siapa?”jawab Abang dengan pertanyaannya dengan pertanyaan lagi. “Halah berlagak enggak tahu pula kamu ini bang.” “Entahlah, aku masih ragu akan hal itu.” “Kamu sudah berbicara ke umi?” “Belum, makanya itu yang membuatku ragu.” “Cepat-cepat loh bang keburu mati kamu itu, hahahaha.” Ejek anak tengah kepada Abangnya. “Eh, anak setan ya!” Sergah Abang. “kabuuuuuur.” “Woi tungguin! Ini bawaanku banyak!” “Bawa sendiri lah bang, kamu kan kuat.” “Cih! dasar kamu ini.”
Sulung dan anak tengah kembali ke rumah, mereka pun siap untuk melepas penat serta menikmati makanan yang telah dihidangkan Humaira si anak bungsu dan Uminya.
Cerpen Karangan: Tyadit Blog / Facebook: Aditya Pratama Tyadit087[-at-]gmail.com Aditya pratama, brebes 15 Agustus 1997 Ig: tyadit4