Malam itu aku mendapat telepon dari bibiku. Katanya, kondisi bapakku semakin parah. Ia hanya bisa tiduran di atas ranjang tapi tatapan matanya kosong menerawang.
“Pulanglah sebentar, bapakmu sangat membutuhkanmu, mungkin ini.. sudahlah yang penting kau segera pulang untuk melihat bapakmu” “Iya bi, aku akan ke sana dengan suami dan anakku” Telpon kututup, aku bergegas ke rumah bapak bersama suami dan anakku. Hatiku sudah tidak karuan, ingin rasanya aku berlari tapi apa daya lampu merah selalu menghentikan mobilku.
Sesampai di rumah bapak, ku lihat bapakku terdiam, menatap ke atas, entah apa yang dia lihat di sana. Kupeluk tubuh bapakku yang terdiam, air mataku pecah tak tertahan. Aku terus berlinang air mata sambil memeluk erat tubuh bapak tapi entah mengapa tiba-tiba aku terlelap dalam sebuah mimpi singkat. Dalam mimpi itu, aku merasa seperti sedang berada di sebuah tempat yang tak kukenal. Di sana, kulihat bapak dengan wajah yang berbeda. Beliau lebih segar, tegap tapi aku sulit menjabat tangannya.
“Pak, jangan pergi. Aku masih ingin bersamamu” “Dengar, pintu itu telah terbuka itu tandanya kita harus berpisah” “Tapi pak aku masih belum bisa menjadi anak yang baik buat bapak” “Nak, setiap manusia harus berpulang pada Sang Pencipta. Tidakkah kau melihat aku telah menua, tubuhku renta tak kuat seperti saat kau kutimang. Lagipun Tuhan juga telah menghiasi tubuhku dengan penyakit pencabut dosa. Jantungku membesar, paru-paruku bernoda dan bengkak sebelah, bahkan sekarang kakikupun telah menghitam. Masihkah kau rela melihatku hidup terdiam di atas ranjang dengan nafas tersengal?” “Tidak pak. Tapi, apakah dengan memasuki pintu itu bapak akan bahagia?” “Tentu nak. Jika bapak memasuki pintu itu bapak akan melepaskan semua beban derita raga. Tak kan ada lagi nafas tersengal bahkan bapak bisa terbang melayang” “Pak, jika aku rindu padamu, bagaimana caraku menemuimu?” “Kau bisa temui bapak lewat do’amu karena hanya itu yang bisa bapak terima. Jika kau ada waktu luang, kunjungi pusara bapak, doa’akan bapak supaya bapak tenang di sana tapi ingat jangan meruntuhkan air mata di atas pusara bapak” “Kenapa pak” “Karena air matamu adalah api buat bapak” “Baik pak. Aku akan berusaha menahan air mataku di atas pusaramu”
“Anakku sebelum bapak pergi, bapak ingin berpesan padamu. Ingatlah pesan bapak ini baik-baik. 30 tahun sudah bapak membesarkanmu sudah banyak hal yang kita lewati bersama. Kau tentu tahu kekurangan dan kelebihanku, maka bapak ingin kau mengambil pelajaran dari setiap apa yang telah kita lewati bersama. Bapak ingin kau menjadi anak, istri dan ibu yang baik. Binalah keluargamu sebaik mungkin agar bapak tetap tertawa mekipun kita telah berbeda alam” “Iya pak, aku akan berusaha menjalankan pesan bapak”
“Nak, Dia sudah datang, maka ini saatnya bapak menghadap Yang Maha Kuasa” “Pergilah pak. Semoga bapak tenang di sana. Aku akan di sini membahagiakan bapak lewat perbuatan baik dan do’a. Pergilah pak”
Aku terkesiap dari mimpiku kulihat bapakku di atas ranjang. Tubuhnya dingin, denyut nadinya melemah tapi masih kudengar kalimat-kalimat toyyibah dari bibirnya. Sempat kudengar bapakku membaca la..ilaha illa allah kemudian bapakku terdiam, nafasnya sudah tak bisa kudengar. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Pergilah pak, damailah di sana, semoga bapak khusnul khotimah. Al- Fatihah..
Cerpen Karangan: Hamida Rustiana Sofiati Facebook: facebook.com/zakia.arlho