MALAM itu waktu menunjukan 22.44. pria itu terlihat masih mematung seperti ada beban yang begitu berat di pundaknya. Dirinya tetap terdiam di kursi ruang tunggu. Hanya duduk sendirian dengan kedua tangan menopang dagu. Wajahnya muram. Tatapan matanya pilu. Terkadang bibirnya bergemetar seperti sedang merapalkan sesuatu.
“Aku kan coba memberanikan diri untuk mendekatinya, mungkin kehadiranku bisa sedikit meringankan beban pikirannya.” Pikirku yang sedang memperhatikannya sedari tadi di ruang tunggu Rumah Sakit ini.
“Permisi Pak, boleh saya duduk di samping anda?” “Eh… He… Iya silahkan saja Mas.” “Bapak menunggu siapa?” “Istri saya Mas.” “Sakit atau melahirkan.” Tanyaku. “Melahirkan Mas.” “Oh melahirkan, maaf nih ya kalau aku duduk di sini jadi mengganngu Bapak.” Tukasku, sambil berusaha mengusir risaunya yang sejak tadi telah ku perhatikan. “Engga, engga apa kok Mas, santai aja. Mas nunggu siapa?” Walau dengan tabir senyum, risau itu tidak tampak memudar.
“Ini Pak Istri melahirkan, anak yang pertama, Alhamdulillah jalan ‘Normal’ yang kita pilih, walaupun bidan sempat menawarkan sesar, dikarenakan Istri mines 7 Pak.” “Memang enggak bahaya Mas? Kenapa engga sesar aja?” “Sesar mahal Pak, dan kita juga enggak mampu.” “Kenapa ga pakai BPJS aja Mas?!” Cecar Bapak itu. “Belum sempat Pak bikin BPJS, kita juga baru 2 tahun menikah, jadi masih banyak surat-surat yang belum kita rapihkan.” Jelasku.
“Bapak Istrinya sesar atau normal?” “Sesar mas, aku sedari tadi khawatir Mas, takut ga ketolong, pikiranku kalut, aku pun tak ayal selalu mengafirmasikan diriku dengan kata-kata positif dari Do’a-do’a yang trus aku lantunkan.” “Oh… Pantesan tadi aku melihat Bapak kenapa murung sekali, ditambah dari jauh terlihat bibirnya bergemetar seperti sedang menderemimilkan sesuatu. Tapi In Syaa Alloh Pak, semua akan baik-baik aja.” Hiburku.
“Mas kamu engga khawatir memilih normal lahirannya, Istrimu?” “Khawatir pasti Pak, tapi kita udah persiapkan dari awal-awal baru hamil sampai sekarang. Lebih tepatnya setelah masuk fase kandungan 5 bulan, aku dan istri suka jalan-jalan sore, kan katanya itu salah satu yang dapat mempermudah proses persalinan nanti, trus kita juga tidak lepas dari mengkonsumsi sari kurma, kurma, minyak zaitun, di setiap pagi dan sorenya.” Jelasku. “Iya Mas, ini juga lahiran yang ketiga, dari semua anak-anak kami, dari anak yang pertama sampai yang terakhir ini. Sesar semua Mas! Makanya aku khawatir sekali! Bahkan setelah lahir anak kedua, saya dan Istri sudah sangat sangat bertekad ‘cukup dua anak saja.’ Tapi ya Mas, kita kan tidak tau hari esok.” Ucapnya dengan penuh harap istrinya selamat.
“Pak, emang kenapa dari anak pertama sampai ketiga sesar semua?” “Istri saya mempunyai ‘masalah kesehatan’ dia dari kecil hingga dewasa telah mengidap asma, kemudian fisiknya juga tidak terlalu kuat seperti wanita pada umumnya. Kita juga udah mengupayakan untuk jalan-jalan di sore hari, itu tidak bertahan lama mas, karena biasanya napasnya akan tersengal karena lelah.”
Di Rumah Sakit itu lebih banyak yang melahirkan ketimbang yang rawat inap, suara bayi lahir pun bergantian soraknya terdengar memenuhi ruangan Rumah sakit yang hening karena sudah larut malam, orang-orang yang menunggu di ruang tunggu pun tenggelam dalam diam di lautan khawatir yang menyelimuti kebanyakan dari mereka.
Beberpa menit kemudian, terdengar suara panggilan seorang suster, “PAK GILOB… SUAMI DARI NYONYA JANGILA…” suaranya begitu keras memecah keheningan ruangan tunggu. “Iya bu, saya istrinya.” Sahut Pak Gilob dengan mempercepat langkah mendatangi sumber suara panggilan. “Ini ari-arinya ya Pak, Alhamdulillah Putra dan Bundanya selamat, nanti bayinya bisa dilihat di ruangan ‘baby saver’ ya.” “Baik Bu… Makasih banyak bu.” Sahut Pak Gilob. Pak Gilob yang sedari tadi murung dengan kedua tangan menopang dagu dan penuh kekhawatiran. Kini berjalan menghampiri tempat duduknya semula, Dimana tempat dudukku berada.
“Wah selamat ya Pak.” Ucapku. “Iya Mas, Alhamdulillah, berkat do’anya, semua baik-baik saja.” “Oh ya Mas, Istrimu belum?” Tanya Pak Gilob.
Kini waktu dan ruang berganti posisi, khawatir dan resah menyeruak ke dalam benakku yang terdalam. Pertanyaan Pak Gil serasa serpihan kaca panas yang terlempar ke dalam dada. “Belum… Pak. Mungkin bentar lagi.” Sahutku berusaha setenang mungkin, padahal badai sedang berkecamuk di dada dan pikiranku.
Malam sudah redam dan terbenam, berganti dengan pagi yang datang menyibak rasa suram yang mulai buram. Jam menunjukan 1.45. Terdengar suara pintu yang dibuka seorang suster. “KELUARGA IBU AMHARNI… KELUARGA IBU AMHARNI…”
Suster itu tercengang, “kok ga ada yang menghampiri.” Suster melihat ke ruang tunggu dengan mendatanginya langsung. “Keluarga Ibu Amharni.” Tanya Suster.
Para penunggu yang terjaga mengangkat kedua tangannya dan saling pandang, nampak disitu seorang pemuda yang tertidur sambil bersandar ke tembok, tepat disamping Pak Gilob. Serentak Pak Gilob membangunkannya. “Mas itu suster nyari-nyari keluarga ‘Bu Amharni’ dari tadi.” “WAH! Itu istri saya Bu!” Dengan gelagapan antara senang khawatir, terkejut, semua teraduk di dalam sanubariku. Semua penunggu tercengang melihatku. Karena aku menunggu Istri melahirkan tapi ketiduran.
“Maaf ya bu saya ketiduran. Saya dari pagi belum tidur-tidur acan, malam juga bergadang mengejar tugas yang harus dirampungkan sebelum pagi.” Jelasku. “Iya Bapak dari tadi dipanggil-panggil malah tidur! Iya curhatnya nanti aja ketika berdo’a atau di buku diary, bukan sama saya. Udah ini ari-ari anaknya, Alhamdulillah ya, putra dan bundanya selamat, nanti bisa dilihat putranya di ‘baby saver’.” Kata suster itu.
Perasaan bersalah yang lekat, amat lekat di dada. Di lain hal senang karena semua berjalan dengan lancar dan selamat, terlebih Bapak Gil yang tadinya nampak suram kini sudah tenang terkendali.
Cerpen Karangan: halub Blog: huzuryakindir.blogspot.com halub dari Cileungsi, tinggal di Masjid Darurrozaq sebagai pembantu masjid. “Pencipta Terima kasih atas segalanya.” “Tangsel-Pamulang, terima kasih sudah bersama hingga lulus SD.” Blog: huzuryakindir.blogspot.com Ig: halubzih93