“Bekalnya sudah dimasukkan semua, anak-anak?” tanyaku “Sudah bu” jawab mereka serentak “Yakin tidak ada yang tertinggal?” tanyaku lagi “Yakin bu” jawab mereka mantap “Baik, kalau begitu silahkan kalian berkelompok sesuai dengan kelompok yang telah ibu bagi kemarin ya” ucapku “Baik bu” ucapnya, begitulah rutinitasku setiap akhir tahun mengantar anak didikku bertamasya.
Tahun ini kami bertamasya agak jauh yaitu ke pulau Dewata, maklumlah anak kampung yang kepo pingin tahu pastilah berani mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk berjumpa dengan pulau Bali. Pulau yang sangat indah, setidaknya itulah informasi yang kami peroleh di buku teks setiap hari namun keindahannya hanya ada di awang-awang. Yah, biar awang-awangnya jadi kenyataan maka dari itu kami memberanikan diri membawa 30 anak orang ke pulau Dewata, di pulau itu semua bersuka ria namun aku mempunyai kesedihan yang mengherankan, yang aku sendiripun tak pernah menyangka ada nasib suratan Tuhan yang sedemikian perihnya.
Waktu itu aku mengantar anak-anak didikku ke Tanjung Benoa, di situ aku bertemu seseorang yang telah lama berpisah denganku dan akupun tak menyangka bisa bertemu dengannya lagi. “Kalian nikmati pemandangannya dulu ya, ibu mau beli kopi dulu” ucapku “Baik bu kami akan menikmati keindahan alam sambil selfi-selfi” ucap bocah-bocah yang sudah menyamar menjadi gadis remaja, sambil memegang handphone mereka berselfie ria dan akupun menikmati segelas kopi hangat sambil memantau mereka dari kejauhan.
Saat itu aku tengah menyruput kopi tanpa sengaja aku melihat seorang wanita yang pernah kukenal. Wanita itu mirip sekali dengan kawan SMPku, Ira. “Kau Ira bukan?” tanyaku padanya “Iya betul akuu.. hei, Via! Apa kabar?” ucap Ira sambil memelukku “Kabar baik Ra. Kamu sendiri gimana?” tanyaku “Baik juga kok. Oh iya, kook kamu ada di sini? Kamu ngapain?” Tanyanya heran “Aku nganterin anaknya orang rekreasi ke sini. Kamu sendiri?” tanyaku “LOh, berarti kamu bu guru donk? Aku di sini lagi rekreasi juga Vi, turis lokalan tapi. Ehehehe” ucap Ira “Kau ini. Eh iya, kalau kamu jadi turis lokalan berarti kamu jadi warga sini donk. Gimana kabarnya ibumu” tanyaku serta merta karena sejak SMP dulu kutahu kalau ibu Ira jualan baju di Bali. Ira tak segera menjawab tanyaku namun ia hanya menghela nafas terlebih dulu. “Entahlah Vi, itulah sebabnya aku jadi warga sini” ucap Ira “Maksudmu apa? Aku nggak ngerti lo” tanyaku “Kalau aku Tanya ke kamu apakah ibumu masih enjoy dengan bisnis toko lengkapnya, kau pasti bisa jawab bahkan kalau aku Tanya ibumu sekarang lagi apa pasti kamu bisa jawab juga kan?” ucap Ira menahan air mata “Tentu Ira, tapi kok kamu jadi sedih? Aku nggak bermaksud buat kamu sedih lo” ucapku jadi serba salah. “Enggak Vi, kamu sama sekali nggak salah tapi memang kesedihanku ini harus kubagi dengan kawanku. Kau mau kan mendengarkan curhatku?” pintanya “Tentu, kau kan temanku jadi aku pasti mau mendengar curhatmu” ucapku
Ira mengusap buli-bulir air mata yang menetes di pipinya dan iapun juga menggigit bibirnya. Saat itu aku hanya bisa terdiam menatap kesedihan kawanku. Beberapa saat kemudian ia memulai ceritanya. Kemelut itu datang di suatu sore..
“Saat itu, aku masih duduk di kelas 1 SMP. Sore itu, aku melihat kakak keduaku sedang menangis tersedu-sedu dan disamping kakak keduaku ada kakak pertamaku, sebagai seorang adik akupun menghampiri kakak keduaku yang tengah menangis itu” tukasku “Kakak kenapa?” Tanyaku sambil memegang tangan kakak keduaku namun kakakku sontak kaget mendengar suaraku yang datang tiba-tiba. “Eh Ira, kamu sudah pulang? Kakak nggak apa-apa kok hanya lagi bertengkar saja dengan mas Rizal” ucap Kakakku sambil buru-buru mengusap air matanya “Ooo mas Rizal pacar kakak itu ya” Tanyaku dengan polosnya “Iya. Oh ya, sepulang sekolah kamu pasti lapar. Emm.. jadi sekarang kamu ganti baju dulu gih terus nanti makan ya, tadi kakak masak mie goreng lo” ucap Kakak Ira dengan ramahnya “Wah.. enak itu. Siip deh, kakak Iza memang kakak yang terbaik di dunia” ucapku.
Seusai ganti baju, aku langsung melahap habis mie goreng buatan kakak Izza namun waktu itu aku hanyalah seorang bocah berumur 13 tahun yang bingung mikirin aneka tugas dan ujian. Yah, maklumlah takut malu kalau nggak lulus atau tinggal di kelas.
“Ira, kapan kamu ujian? Kakak dengar dari Cholis minggu depan kamu ujian ya” Tanya kak Izza padaku “Iya kak, tadi habis kerja bakti membersihkan kelas dan menata nomer. Eh.. tapi kali ini aku masuk pagi lo kak” ucapku “Baguslah, jadi kamu nggak capek-capek amat kalau masuk pagi. Oh iya, mau belajar bareng sama kakak?” Tanya kak Izza “Mau kak, fisika sama matematika ini lo kak bikin kepala nyut-nyutan” ucapku jengkel “Hei, jangan ngedumel Neng ntar cepet jadi nenek-nenek” ucap kak Iza namun ia berusaha memaksa senyumnya. “Kakak masih mikirin mas Rizal ya?” tanyaku “Iya” ucap kak Izza singkat “Kakak nggak usah mikirin terlalu dalam nanti cepat tua” ucapku “Hiih kamu nakal ya” ucap kak Izza dan kamipun belajar bersama walau ada kemelut yang tengah menghampiri keluargaku namun kedua kakakku dan bapakku berhasil menyembunyikannya dariku. Namun kemelut tetaplah kemelut, ia pasti akan muncul di suatu hari nanti karena hati tak lagi ingin dihuni.
“Kak.. sebentar lagi aku akan perpisahan tapi ibu kok nggak telfon?” tanyaku namun kak Fandi hanya terdiam “Kok kakak diam sih? Kakak kenapa?” tanyaku penasaran “Ira, kamu sekarang sudah besar, lulus ujian dengan nilai yang baik pula jadi sekarang tak ada hambatan bagi kakak untuk mengatakan hal sebenarnya padamu” ucap Kak Fandi “Apa maksud kakak? Aku tak mengerti” ucapku
“Ira, apakah kau tahu alasan mengapa kak Fandi dan Bapak sering meninggalkanmu?” Tanya kak Fandi serius “Enggak” ucapku sambil menggelengkan kepala “Kami ke Bali nyari ibu. Ibu telah hilang Ra, semenjak kamu kelas 1 tepat di saat kamu akan ujian kenaikan kelas” ucap kak Fandi “Apa? Ibu hilang Kak? Kok bisa? Apa ibu melanggar pantangan-pantangan di Bali? Atau ibu diculik?” tanyaku sambil berurai air mata “Itulah yang tak kami tahu Ra, kata tetangga di rumah Bali dia berjumpa saat ibu akan berangkat bekerja setelah itu ia tak pernah berjumpa ibu lagi” kata Kak Fandi “Kok kakak bisa tahu kalau ibu hilang? Padahal kita kan jauh dari ibu kak?” tanyaku
“Waktu itu kakak sedang mengantar murid-murid kakak yang lagi rekreasi ke Bali kemudian kakak mampir ke rumah ibu tapi rumahnya kosong, firasat kakak jadi tidak enak. Jadi, kakak memutuskan untuk izin ke Kepala Sekolah kakak untuk menginap di rumah ibu dan Alhamdulillah diizinkan. Hati kakak seperti diiris kala melihat ibu tak kembali sampai larut malam, berulang kali kakak telpon ibu tapi nomornya sudah tidak aktif hingga ada seorang tetangga yang memberi tahu kakak bahwa ibu sudah lama tak terlihat dan kakakpun mengajak orang itu melaporkan ibu ke kantor polisi setempat namun hasilnya tetaplah nihil sampai saat ini” ucap kak Fandi panjang lebar dan akupun tak bisa berkata-kata hanya air mata saja yang terus bercucuran. “Ibu.. pulanglah walau dalam keadaan apapun” gumamku dalam hati
“Dan itu sampai saat ini Vi, ibuku tak lagi kembali maka dari itu ayahku pindah kerja ke Bali dan aku tinggal di sini sejak lulus SMA membuka usaha catering di rumah ibuku sambil berharap suatu hari nanti ibuku akan kembali menemui 2 orang cucunya” ucap Ira “Jadi, sekarang kau sudah punya 2 orang anak dan ibumu..” ucapku namun tak mampu kuteruskan “Iya Vi, aku di sini bersama Bapakku dan keluarga kecilku sedangkan kak Fandi menempati rumahku di Desa Sekar Aji dan kak Izza sudah berumah tangga dengan mas Rizal, mereka hidup di Desa Kembang Turi” tukas Ira
“Ira.. semoga ibumu cepat kembali ya”ucapku sambil memeluk Ira “Iya Vi, amin” ucap Ira dalam pelukan hangat kami, sebelum berpisah dengan Ira kami sempat bertukar nomor HP supaya mudah untuk menjalin silahturahmi.
Semoga ibumu segera pulang, Ira
Cerpen Karangan: Hamida Rustiana Sofiati Facebook: facebook.com/zakia.arlho