Hawa panas datang menyelimuti kelas dengan jendela yang terbuka hanya separuhnya saja, air conditioner menggantung di dinding itu dihidupkan tapi tidak banyak membantu. Aku tidak menyalahkan bulan April dengan musim kemaraunya. Siska, Nia, Wanda. Mereka seolah tak mengerti saat aku tanyai. Siapa yang meminggirkan baju-bajuku di jemuran kemarin siang. Gara-gara itu bajuku yang kering tak seberapa dan kini yang kukenakan adalah baju kurung berbahan tebal. Jadilah di kelas ini aku bagai ujung lilin yang membakar dirinya sendiri.
“Kamu yakin ikut meliput? Hari ini bukannya jadwal mata kuliahmu sama Pak Imam Syauqi yang cool itu, gak takut nyesel kamu, Lin?”
Gerah dan jenaka. Aku menarik nafas setelah membaca pesan WhatsApp dari Rara. Sekilas terbayang wajah pak Syauqi, dosen bahasa Arab di kelasku. Mana ada dosen keren sepertinya di kampus hijau ini? Aku hafal gaya berjalannya yang sangat berkharisma. Meski tubuhnya terbilang kurus dan tidak terlalu tinggi, tak pernah kulihat dirinya berjalan menunduk atau sekedar mencuri-curi pandang ke sekitar. Pak Syauqi selalu berjalan dengan pandangan lurus. Tanpa keraguan. Ah so cool!
Berbeda dengan Rara yang begitu mendewakan seorang dosen bernama Imam Syauqi. Ah, si Rara itu ia mampu mendeskipripsikan sosok idolanya sangat detail dan menyebalkan. Sedang aku gemetaran, padahal hanya menggambarkan gaya jalannya saja.
Dalam hierarki laki-laki yang kukagumi pak Syauqi berada dalam urutan ke 6 atau 7. Tiga teratas tentu saja adalah ayah, uda Firman dan abang Arif, mereka adalah adalah anggota keluarga yang kumiliki hingga sekarang. Keluarga yang kutinggalkan di tanah Minang, Sumatera Barat. Kecuali bang Arif, sejak lama ia sudah merantau ke Yogyakarta.
Sepanjang Juras, sebutan untuk jalan yang menjembatani kampus 2 dan kampus 3 aku menunduk. Di atas sebuah motor yang kutumpangi, rasanya dunia membeku. Entah kenapa aku merasa berdosa kepada kedua kakakku yang posesif itu. Ah, tapi biarlah. Toh karena mereka masa SMA yang kulewati jadi biasa-biasa saja.
Tidak ada getaran yang merambat menembus saraf neurotikku. Getaran yang kau tahu, ketika ia bersentuhan dengan udara akan menghasilkan nada-nada indah.
Eh, mengapa sulit sekali menggambarkan masa mudaku yang kuhabiskan hanya dengan terus-menerus belajar dan belajar, ngaji dan ngaji. Tanpa adanya percintaan seperti teman-teman lainnya.
“Lin, coba deh kamu lihat pantai itu?” suaranya mengagetkanku. Pantai? Aku sedikit mendongak, pemandangan pantai yang ia maksud terhalangi oleh ranting pepohonan. Maksudnya apa coba? Aku menatap punggungnya yang ditutupi kemeja batik. Motif-motifnya tak kuperhatikan betul. Ujung mataku menangkap bola matanya yang melirikku di kaca spion. Tunggu… Jilbabku gak miring kan? Duh, malu rasanya. Pasti wajahku terlihat kucel dan—
“Lin?”
Aku berusaha mengeluarkan kata-kata. Namun yang keluar berupa desis, kulihat handphoneku yang baru saja bergetar. Panggilan masuk dari Bang Arif. Bentar ya mas, kakakku nelfon. Ia pun mengangguk dan memelankan laju motornya. Kamu peka juga ya mas. Batinku.
“Si Kecil Alina kok tidak masuk kelas? Cabut ya?”
Aku menelan ludah. Bang Arif tahu dari mana? Satu-satunya kemungkinan di kepalaku hanyalah Nia. Teman kos yang juga satu SMA denganku dulu. Tapi bukankah mata kuliah Nia hari ini kosong? Sepertinya bukan dia. Lalu siapa?
“Darimana abang tahu?” selidikku. “Ooo, jadi iya. Abang cuma nebak. Lagi naik motor ya? Kemana?”
Mampus. Tidak mungkin aku jawab kalau aku sedang dibonceng seorang lelaki. Bisa-bisa aku dimarahi. Masalah izin atau apapun, Bang Arif ibarat polisi lalu lintas yang bisa diajak kompromi, dikasih tip berupa pap fotoku yang sedang senyum dia senang bukan main. Izin diberikan. “Bentar bang” aku segera menuju galeri dan mencari foto ketika aku dibonceng oleh Nia beberapa hari yang lalu. Ah ternyata bukan foto, tapi video. Aku pun mengirim video tersebut.
“Bang udah ya, aku bentar lagi mau sampai. Barang bukti udah Lina kirim.”
Aku segera mematikan sambungan telepon saat itu juga, handphone kumasukkan ke dalam tas dengan tergagap. Di kaca spion mata coklat itu ternyata tak lagi memandangiku. Syukurlah, aku terus berusaha meredam dadaku yang kembang kempis tak keruan. Seolah namanya selalu bersahutan dengan hati dan harapanku. Yang dalam diam kusebut dalam doa.
“Jadi kamu tadi diantar Mas Fahreza? Ckck pantesan gak mau aku jemput, dasar.” “Enggak kok itu cuma kebetulan.”
Karena dari dulu aku selalu diantar kedua kakakku kemana-mana. Jadilah seorang Alina Putri Chaniago tak bisa membawa motor. Biasanya aku ke kampus selalu nebeng Nia atau teman lainnya. Tapi hari ini karena di kelasku sedang ada matkul dan Nia sedang tidak kuliah hari ini. Aku pun akhirnya memilih jalan kaki, berharap ada seseorang yang menumpangiku nantinya. Dan orang itu Fahreza Ilham Samar, orang yang menempati urutan nomor 4. Ah, kebetulan yang menyenangkan.
“Lihat deh Lin, Mas Fahreza bicaranya lancar banget dan tertata. Udah gitu gak berhenti senyum lagi.” “Kamu kesini meliput berita atau liat Mas Fahreza?” kataku sebal. Dan anda tahukan dari mana muasal sebal ini. “Ciee, yang tadi diboncengi sekarang lagi cemburu.” “Ih, bisa diam gak kamu Ra? Aku pulang nih.” “Udah jangan gitu dong sayang, aku kan becanda doang. Btw, dari tadi tanganmu ngeremas tas mulu Lin. Kenapa tuh, salting? Gugup? Grogi? Sama yang di depan ya, hahaha.”
Mataku yang sedang asik melihat ke depan teralihkan oleh ucapan Rara. Benar juga, tanpa sadar jemariku meremas tas mini backpack bewarna hitam, hadiah ulang tahun dari Bang Arif untukku. Ya itu tabiat buruk yang selalu kulakukan tanpa sadar ketika sedang nervous. Meremas sesuatu.
Acara seminar itu masih berlangsung. Pembicaranya kini mengajukan pertanyaan kepada para peserta. Wajah-wajah yang sudah tak asing lagi bagiku, mahasiswa-mahasiswa yang dikepalanya terdapat segudang masalah mengangkat tangan. Apakah demi mengisi keriangan seminar ini, demi snack dan nasi bungkus ataupun sertifikat yang akan didapat. Aku sendiri tak datang dengan alasan tersebut. Aku juga tak mengangkat tangan, seperti halnya peserta lain yang fokus dengan gadgetnya dibanding memperhatikan seminar.
Aku melihat pamflet itu dua hari yang lalu. Persetan dengan seminarnya diadakan di kampus dan fakultas lain. Mataku tak teralihkan dari sosok Fahreza yang menjadi moderator acaranya. Ah, Fahreza, siapa sih kamu sampai segitunya aku untuk bertemu denganmu. Bahkan sampai bolos kuliah. Habis aku menjadi bulan-bulanan Rara dan teman LPM (lembaga pers mahasiswa) di fakultasku. Bermodal ID Card yang menggantung di leherku. Disinilah aku, di tengah keriuhan seminar yang sedang berlangsung. Tidak terlalu memprioritaskan berita. Tapi kamu Fahreza. Itukah niatku sebenarnya mengikuti acara ini? Ah, sangat keren, bukan?
“Lin, kamu kok nangis?” Aku melihat sekilas Fahreza dengan helm di tangannya berdiri di depanku. Gedung-gedung di UIN Walisongo dikelilingi banyak pepohonan hijau. Sungguh sangat menyenangkan melihat petugas kebersihan membersihkan serak daun yang berguguran setiap pagi. Fahreza yang selalu memiliki aura kehangatan sangat cocok berdiri di sana. Di antara pepohonan dan gedung seolah menjadi perbukitannya. Kamukah tarzanku?
Aku tersenyum tipis. Mengusap air mataku yang tadi menetes. Dari banyak mahasiswa lain yang lalu lalang hanya dia yang menyapaku. Kebetulan apa ini? Sangat tidak keren karena aku saat ini sedang menangis.
“Enggak kok, cuma kelilipan mas.” “Ah, gak usah bohong. Namanya juga cewek kan? Wajar Lin” ucapnya.
Ha? Wajar? Apa dia tak mau peduli mengapa aku menangis, ternyata semua lelaki sama. Menganggap kalau perempuan itu lemah. Ayah, Uda firman sekarang Fahreza aku benci kalian. Ingatan beberapa tahun lalu jatuh bagai gerimis yang perlahan menjadi hujan. Otakku kembali digenangi rasa muak.
“Mas, ngapain ke sini?” suaraku meninggi. “Enggak Lin, tadi ditengah seminar aku lihat kamu tiba-tiba keluar, aku kira udah pulang ternyata masih disini”, fahreza mendekat sambil memberikan helmnya padaku.
“Kamu udah gak kenapa-kenapa kan? Pulang bareng yuk.” Aku menolak helm tersebut juga tawarannya. Segera berdiri dan dengan sinis aku berkata kasar kepadanya. Kata-kata yang nantinya akan aku sesali di masa depan. “Enggak usah mas. Jangan anggap aku sama kaya perempuan lain ya. Banyak kan wanita yang udah mas boncengin, sama mereka aja”
Aku pergi dan tak peduli lagi dengan apa yang telah kuucapkan. Tak ada tanda-tanda Fahreza akan mengejarku. Mungkinkah dia marah? Kecewa? Merasa terhina olehku? Namun, ketika jarak kami mulai jauh, kudengar juga suaranya. Berteriak.
“Apapun masalahmu, kamu kuat Alina. Kamu menangis bukan berarti kamu lemah. Aku yakin.”
Air di mataku tanpa kucegat kembali hinggap di pelupuk mata. Aku menutup mulutku dengan tangan. Astaga! Apa yang sudah kukatakan? Tak seharusnya aku berkata begitu. Cepat-cepat aku berlari menjauhinya. Tak mungkin aku mendatanginya untuk minta maaf. Itu memalukan sekali. Tapi sungguh, meski begitu anda harus percaya. Saat itu aku sangat merasa bersalah dengan ucapanku. Aku menyesalinya.
Setelah sampai di kos. Nia keheranan melihat tampangku yang sudah seperti gado-gado atau barangkali ia melihatku seperti es krim yang baru saja jatuh dari genggaman tangan seorang bocah. Perginya semangat pulang-pulang udah seperti setrikaan gosong. Katanya. Nia hampir saja akan tertawa kalau air mataku terlambat jatuh. Aku mendekat dan dipeluknya, seperti yang sudah-sudah kuceritakan segala biang lara.
“T-tadi waktu seminar… Bang Arif chatting kalau Ayah, MASUK RUMAH SAKIT lagi, Nia.”
Nia. Hanya dia yang tahu. Bagaimana carut marut keberangkatanku ke pulau jawa. Aku yang mati-matian bertarung dengan matrilinealisme di tanah Minang yang dianut ayah. Genderang perang yang ditabuh karena perbedaan pendapat antara kedua saudaraku. Uda Firman yang tak setuju aku kuliah di jawa dan Bang Arif yang mendukung keingananku. Aku yang kemudian tinggal di rumah keluarga baru ibuku tapi tidak sanggup melihat realitanya. Aku yang harus kerja sambil kuliah karena Bang Arif satu-satunya waliku di sini di PHK. Nia adalah kunci peti rahasiaku. Dia tahu semuanya dan dialah defenisi sahabat bagiku.
“Bersyukur sekaligus bangga punya sahabat seperti Nia, udah baik, kaya dan mau-maunya jadi tukang ojek pribadi.” ledekku.
Ia hanya tertawa kecil sambil mengusap hidungku yang saat ini mirip kepiting rebus.
“Kamu lebaran besok pulang ya Lin, please banget, masa aku pulang sendiri mulu. Gak kangen sama ayahmu?” “Ya udah, nanti aku suruh Bang Arif pulang berdua sama kamu, puas?” godaku. “Hehe, tumbenan kamu berani ngelepas Bang Arif.”
Kini gantian aku yang tertawa, mengingat aku selalu sensitif saat Nia bertanya macam-macam perihal Bang Arif. Bagi Nia Bang Arif itu brotherhood sekaligus lelaki idaman yang tak juga didapatinya. Dia anak sulung merangkap seorang jomblo sepanjang hidupnya.
Nia, aku tidak akan pulang sampai benar-benar lulus. Sampai aku punya ijazah, sampai ayah sadar bahwa aku akan tetap jadi si kecil Alina. Sampai aku memberi manfaat untuk orang lain. Sampai ayah sadar, dunia ini tak sesempit tanah Minang. Tanah yang mengharuskan perempuan sebagai limpapeh rumah gadang, pewaris keturunan. Yang diartikan ayahku sebagai “perempuan minang tak harus merantau, tak perlu menuntut ilmu setinggi-tingginya”
“Mau ngapain sekolah tinggi-tinggi. Mau melawan suami?” bentak ayah saat aku minta izin kuliah di pulau jawa.
Semakin aku tumbuh, aku semakin mengerti, ayah sangat menyayangkan keputusan ibu yang meninggalkannya saat masa-masa sulit keluarga kami. Ayah yang latar belakangnya tamat SMA dan bekerja sebagai petani pemikirannya tak satu frekuensi dengan ibu yang seorang sarjana. Perselisihan-perselisihan kecil pun berujung pertengkaran. Hingga akhirnya ibu memilih pergi mencari kebahagiaan lain.
Aku rasa, yang sedang aku jalani tak berbeda jauh dengan ibu. Memilih pergi untuk membuktikan kepada ayah, bahwa perempuan, meskipun tak sekuat lelaki kami sanggup berdiri sendiri. Kami pun berhak mendapatkan pendidikan tinggi. Tak terikat oleh adat-istiadat itulah yang disebut emansipasi wanita versiku.
“Saat ini aku bukanlah si Alina kecil ayah. Atau ibumu yang kau sebut-sebut cerminan perempuan Minangkabau terbaik. Aku tahu seharusnya aku juga seperti itu. Tapi Aku Alina Putri Chaniago. Seorang mahasiswi. Aku menemukan jalan lain ayah dan itulah yang akan aku tempuh. Aku tidak akan pulang sebelum jalan itu sendiri yang mengantarkan aku padamu.”
Cerpen Karangan: Ihsanul Fikri Blog: www.syaikhspeare.com Seseorang yang berharap menulis dapat menjadi penyembuh luka-luka dan kegelisahan dihati banyak orang