Sinar matahari pagi yang hangat menerobos masuk lewat ventilasi kamar, aroma lokal saat selesai hujan yang menenangkan ini tidak sengaja terhirup oleh indra penciuman. Aku melepas rasa malas dan bangun dari pembaringan, bergegas merapikan ranjang dan membersihkan diri. Saat air menyentuh kulitku, rasanya sangat dingin sekali, seakan-akan jiwaku ikut beku.
Aku keluar dari kamar mandi dengan handuk tertumpuk di bahu. Duduk di depan meja belajar, mengambil secarik kertas dan mengaplikasikan tinta di permukaannya. Menulis beberapa kata, kalimat, sampai menjadi paragraf. Kebetulan sekali hari ini hari ibu, aku membahas beberapa hal mengenai ibuku pada secarik kertas itu. “Rana sangat menyayangi ibu,” gumamku, mendikte diriku sendiri. Kemudian melipat kertas itu sedemikian rupa dan memasukkan ke dalam kotak kayu berwarna coklat. Ya, itulah pedomanku, cinta tak harus diucapkan.
Tindakan selanjutnya adalah menjaga ibu yang terbaring lemah di rumah sakit. Kebiasaan ini sudah kulakukan sejak satu tahun silam. Menaiki angkot yang cukup panas, berdesakan dengan orang yang tidak kukenal, memilih tempat duduk dekat jendela yang terbuka. Saat angkot mulai berjalan, angin yang tembus terasa segar sekali.
“Tilulit…tilulit.” Ponselku berdering. Tanganku dengan sigap mengangkat panggilan itu.
“Iya Ayah?” tanyaku. “D-d-derana, ibumu….” Perkataan ayah terpotong dengan tangisan. “Iya?” tanyaku panik, otakku mulai traveling kemana-mana. “Sudah meninggal,” kata ayah dari balik ponsel, kemudian penggilan kami terputus, atau mungkin memang sengaja diputus oleh ayah.
Seketika cairan mengandung garam jatuh dari mataku. Aku tidak bisa menahannya lagi, yang kulakukan di dalam angkot hanyalah menyeka air mata yang sedari tadi mengalir deras tak terkendali. Sesampainya di rumah sakit, aku melihat jasad ibu pucat. Air mataku semakin deras membasahi pipi.
“Sayang,” ucap ayah, memelukku dari belakang. “Rana menyesal ayah, selama hidup Rana, Rana tidak pernah bilang bahwa Rana sayang ibu.” Aku membalikkan badan dan memeluk ayah erat. Ayah hanya mengelus rambutku. “Rana sayang ayah, Rana sayang ibu, Rana nggak mau menyesal lagi,” tambahku. “Terkadang rasa cinta juga harus diucapkan nak, sebagai wujud sayangmu pada ibu,” ucap ayah.
Cerpen Karangan: Vindi Rachmadhani Instagram: @vindirachmaa Twitter: @gingercean Hanya sesosok anak dara yang menumpahkan emosinya dalam gubahan sederhana. Pertama kali menghirup oksigen di kota Lamongan dan ber-horoskop Libra.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com