Hati Liandra hancur, mendengar kabar tentang keluarganya yang telah gugur.
Lima tahun lalu dia meninggalkan rumah ini. Rumah yang tak layak disebut rumah bagi orang elit, termasuk Liandra. Walau sebenarnya dalam hati Liandra, gubuk tua yang tinggal puing-puing itu adalah rumah terindah. Di mana tak pernah ada luka hati, di mana selalu ada kasih sayang, dan di mana tak ada pengkhianatan.
Lima tahun lalu, Liandra mengangkat kakinya dari sini, menuju Kota Jakarta yang asing, terik dan besar. Dengan tujuan mencari pekerjaan dan mengangkat derajat keluarga. Berbekal pengalaman menjadi penjual kue di desanya, perempuan 22 tahun ini melamar pekerjaan menjadi pembuat kue dan roti di sebuah toko roti di pinggiran Kota Jakarta. Liandra bersyukur mendapat pekerjaan di sini. Walau nama tokonya belum terkenal di seantero Kota, namun kue dan roti yang dibuat di sini sungguh menggugah selera pengunjung.
Liandra merasa semakin nyaman dengan dunia kerja dan Jakarta yang ramai dan sibuk setiap detiknya. Ia bekerja dengan baik dan menghasilkan cukup banyak uang untuk hidup di Jakarta secara kecukupan. Namun semakin lama di kota ini, Liandra semakin terlena dengan segala hal di dunia yang fana sampai melupakan keluarganya.
Mungkin keluargaku sudah cukup mampu hidup dengan layak dan mereka tak ‘kan memerlukan aku lagi sebagai tulang punggung keluarga. Lagipula semua ini kerja kerasku, harusnya aku nikmati, ujar Liandra dalam hati. Ia sudah lupa bagaimana sulitnya keluarga itu sekedar untuk makan tiap harinya.
Hari-hari berlalu, Liandra semakin ditenggelamkan kesenangan duniawi, sampai pada suatu pagi saat ia baru akan membuka toko roti miliknya sendiri yang ia dirikan satu tahun lalu, dan ponselnya berdering, ddrrttt. Liandra menjawab panggilan telepon.
Di ujung sana terdengar suara lelaki tua, “Mbak Liandra, ini saya Pak Jarwo. Saya mau mengabarkan pada Mbak Liandra bahwa keluarga sampean sudah meninggal.” Deg. Liandra seperti kehabisan napas, jantungnya bagaikan patung. “Kejadiannya semalam Mbak, ada salah satu warga melihat asap di sekitar rumah sampean. Awalnya dikira asap kayu bakar, tapi lama kemalaan asapnya semakin banyak dan muncul api. Saya dan warga lain cepat-cepat berusaha memadamkan api, tapi air yang kami punya tidak cukup. Jadi api cepat menyebar dan rumah sampean hangus padahal bapak, ibu, dan adek sampean masih di dalam. Saya mau mengabari semalam tapi tidak punya nomer sampean, saya baru dapat pagi ini. Saya ucapkan turut berduka cita atas meninggalnya keluarga sampean,” tutur tetangga Liandra dulu di desanya.
Liandra bergegas ke stasiun kereta membeli tiket keberangkatan paling cepat, pukul 10.00 WIB. Dengan hati gelisah, gundah, sesak serta penyesalan yang sangat amat besar Liandra pulang menuju kampung halaman yang selama 3 tahun tidak ia kunjungi.
Dan di sinilah dia. Berdiri di antara puing-puing gubuk hitam tak berbentuk. Sesak dan sesak. Liandra tak berani mengunjungi makam ayah, ibu, dan adik laki-lakinya, Iwan. Tak berani dan tak akan cukup pantas baginya bahkan hanya untuk meletakkan tangan di atas tanah makam.
Keangkuhan dan keserakahan telah menelan Liandra masa lalu. Namun dengan keadaannya sekarang, hanya tangis dan rintih yang sanggup ia keluarkan. Liandra kembali di waktu yang salah. Sudah sangat terlambat.
Maka untuk membuat kerja kerasnya di Jakarta berguna bagi orang-orang di sekitarnya dulu, Liandra mengajak teman seperjualan-kue-nya untuk menjadi pegawai di toko kuenya. Kalau tak bisa berguna bagi tetangga dan teman. Terima kasih atas hidup bahagia selama ini, keluargaku, ucap Liandra dalam hati. “Terima kasih dan maaf.”
Cerpen Karangan: Vee Moona
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com