Hai… Namaku Tara Nadila. Kalian bisa memanggilku Tara. Dalam hidup aku punya banyak mimpi. Bisa dibilang aku adalah anak yang ambisi akan raihan mimpinya. Aku tinggal bersama dengan orangtuaku. Ayahku seorang petani dan ibuku seorang penjual keliling. Keluarga kami memang bukan berasal dari keluarga yang besar, tetapi orangtuaku selalu mengajariku untuk menghargai dan menerima setiap keadaan yang diberikan Tuhan dengan ikhlas. Itu sebabnya mereka sangat istimewa bagiku.
Sesuai dengan jadwal harianku, hari ini aku harus mengikuti Training Motivation dengan tema menggapai mimpi. Sesampainya disana aku bertemu dengan motivator-motivator yang luar biasa. Di atas panggung mereka menjadikan kisah perjalanan mimpinya sebagai materi dan motivasi untuk para hadirin yang akhirnya membuat pikiranku ikut menyelam kembali ke masa lalu.
“Hei Tara ada apa ini, mengapa kau terlihat sangat bahagia?” tanya tetanggaku. “Benar bibi… kau tahu orangtuaku akan kembali menyekolahkanku setelah setahun ini aku tidak melanjutkan sekolah karena tidak punya cukup uang. Aku sangat bahagia bibi karena bisa kembali belajar juga bertemu dengan teman-teman. Dan aku pernah mendengar bahwa setiap mimpi kita akan terwujud diawali dengan bersekolah” jawabku dengan antusias. “Benarkah… Kalau begitu aku ucapkan selamat padamu. Tetapi Tara jangan tersinggung, sebaiknya kau tidak perlu banyak bermimpi karena itu sama sekali tidak pantas kau lakukan apalagi mewujudkannya. Lihatlah kau itu miskin. Jadi saranku jangan menambah beban orangtuamu dengan mimpimu itu karena kau saja sudah menjadi beban bagi mereka” Saut tetanggaku sembari mengejekku.
Yah begitulah, istilahnya mereka seperti mengatakan bahwa hanya orang besarlah yang dapat bermimpi juga mewujudkan mimpinya, sementara terasa tidak pantas dan mustahil bagi orang kecil sepertiku. Aku sering merasa gelisah kerap kali mendengar perkataan mereka. Dalam benakku selalu timbul tanya apakah semua yang mereka katakan itu adalah benar bahwa aku dan mimpiku beban bagi orangtuaku, juga bahwa aku memang tidak pantas bermimpi dan mewujudkan mimpi karena keadaan. Hal ini mengganggu pikiranku selama berhari-hari karena itu kuputuskan untuk mempertanyakannya pada ibu.
“Hei omong kosong apa yang kau bicarakan ini, bagaimana bisa kau dan mimpimu menjadi beban bagi kami. Itu sama sekali tidak benar” jawab ibu dengan lembut. “Biar ibu beritahu, tidak ada larangan bagi siapapun untuk bermimpi dan mewujudkan mimpinya Tara. Yaa ibu setuju mungkin memang terdengar sulit bagi orang seperti kita. Tetapi bukan tidak mungkin kan” sambung ibu dengan lembut. “Yap benar sekali, kemarilah Tara. Dengar mimpi itu tidak terwujud karena keadaan tetapi terwujud karena tekad, kerja keras, dan do’a. Lagipula menjadi miskin bukanlah hal yang salah. Intinya, kau tidak perlu takut. Jadilah berani karena mereka yang berani tidak akan pernah kalah, benar kan” saut ayah sembari menyemangatiku.
Jelas sudah jawaban dari pertanyaanku. Sejak itu aku memutuskan untuk memulai perjalanan mimpiku dengan berbekal prinsip bahwa orang kecil pantas bermimpi dan mewujudkan mimpinya. Namun naas belum saja dimulai, bagaikan petir yang menyambar secara tiba-tiba, aku mendengar berita dari sekolah bahwa ibu mengalami kecelakaan saat berjualan keliling. Kakinya terluka dan mengharuskannya untuk tidak bekerja sementara waktu. Aku merasa kasihan pada ayah sebab harus bekerja keras demi kesembuhan ibu, karenanya kuputuskan untuk melupakan sejenak perjalanan mimpiku dan memilih membantu ayah dengan menggantikan ibu bekerja sepulang dari sekolah. Lelah kurasakan begitupun untung dan rugi. Namun tak masalah bagiku karena semuanya terbayarkan dengan kesembuhan ibu. Dari sini aku benar-benar menyadari bahwa perjuangan orangtuaku sungguh besar begitupun cinta mereka.
Setelah beberapa waktu, akhirnya semua kembali berjalan normal. Perjalanan mimpiku juga ikut dimulai. Bermula dari masuk peringkat 5 besar di kelas hingga meraih gelar sebagai juara kompetisi dan lulus dengan nilai yang baik dengan jalan yang tentunya tidak mudah. Namun setelahnya tanpa kusadari aku terjebak dalam posisi yang membingungkan akan mimpiku yang satu ini. Yap… Kuliah. Mereka bilang kuliah butuh biaya yang besar, belum lagi ada sebuah keharusan merantau sebab tak ada satupun kampus di daerah tempat tinggalku. Melihat berbagi hal yang dibutuhkan serta konsekuensi rasanya bisa sampai SMA saja sudah cukup bagiku. Setidaknya aku tidak perlu membebani orangtuaku lagi dengan melanjutkan perjalanan mimpiku.
Seperti biasa setiap pukul 8 malam kami makan malam bersama di ruang tamu. Hari ini ibu memasak nasi, sayur kentang, juga acar. Dan tak kusangka ayah akan bertanya padaku.
“Tara, ayah rasa perjalanan mimpimu sudah semakin jauh, apa kau tidak mau melanjutkannya dengan mewujudkan mimpimu yang satu itu?” Tanya ayah sembari memakan acar. “Mimpi mana yang ayah maksudkan” ucapku dengan lesu. “Kuliah apalagi” saut ayah dengan wajah kebingungan.
Sontak saja pertanyaan ayah membuatku gelisah dan bingung menjawabnya karena setauku aku tidak pernah mengatakan hal itu padanya. Hingga pagi pun tiba, ayah dan ibu menghampiriku di kamar dengan membawa buku harian yang kemudian diperlihatkannya padaku.
“Tara, seperti kau yang memiliki mimpi, kami pun juga memiliki mimpi. Dan semua itu kami tuliskan dalam buku ini termasuk mimpi menguliahkanmu.” Ucap ayah dengan lembut. “Benar. Ibu tebak pikiranmu pasti sedang kalut sekarang, tetapi sungguh nak kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun baik keadaan kami, biaya, dan lainnya. Anggap saja semuanya aman. Jadi, lanjutkanlah perjalanan mimpimu itu” saut ibu dengan tegas.
Air mataku mengalir tiada hentinya pagi itu ketika mendengar perkataan mereka. Setelah melewati berbagai proses berpikir aku memutuskan untuk setuju melanjutkan perjalanan mimpiku dengan berkuliah melalui jalur tes. Usaha maksimal kukerahkan demi tes ini berharap lolos menjadi jawaban akhirnya. Hingga tibalah hari ini dimana pengumuman tes akan berlangsung. Aku dan Rina temanku sudah berjanji jika hari itu tiba kami akan mengecek hasil tes bersama-sama di warnet pada sore hari.
“Okee mari kita cek bersama-sama 1… 2… 3 Oh Tuhan, apa Engkau sedang bercanda padaku” ucap Rina dengan kagetnya “Hei kau ini aneh sekali, untuk apa Tuhan bercanda denganmu hahaha. Tetapi katakan padaku bagaimana hasilnya?” tanyaku padanya “Tara, aku bahkan tidak tahu harus berkata apa, sungguh aku tidak percaya bahwa aku lolos. Aku bahagia sekali. Setelah ini aku pasti akan langsung mentraktirmu. Oh iya kau sendiri bagaimana apa kau lolos?” tanya Rina dengan penuh semangat “Emmm sebenarnya…”
Dring… Dring… Dring… Ponselku berbunyi. Ternyata panggilan dari ibu. Begitu kagetnya diriku saat ibu mengatakan bahwa ayah mengalami kecelakaan ketika hendak pergi ke pasar untuk menjual hasil panen dan saat ini ayah berada di rumah sakit untuk menjalankan operasi. Mendengarnya, aku pun langsung pergi ke rumah sakit dan meninggalkan Rina sendiri di warnet.
Sesampainya disana, aku menghampiri ibu lalu dokter keluar dari ruang operasi dan mengatakan bahwa ayah mengalami kelumpuhan pada kakinya akibat cidera yang parah. Sontak saja hal itu membuat kami kaget dan terpukul sebab tidak menyangka bahwa ayah akan mengalami hal seperti ini.
Beberapa waktu kemudian, ayah mulai sadarkan diri. Kami menduga ayah akan sangat kaget dan terpukul ketika mendengar kabar ini dan benar hal itu terjadi. Namun bukan ayah rasanya jika ia tidak mencoba tegar. Disaat yang lain mungkin tidak menerima keadaan ini ia justru menerimanya dengan ikhlas karena baginya hal ini memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan.
“Hei halo, apa keadaanku seburuk itu sampai kalian terus menangis. Lihatlah mata kalian jadi bengkak. Percayalah ini tidak akan berlangsung lama. Oh iya Tara bagaimana hasil tesmu?” Tanya ayah “Emmm sebenarnya, maafkan aku ayah ibu tetapi aku gagal dalam tes ini” jawabku dengan wajah sedih “Hei tidak masalah, kau sudah bekerja keras. Kau itu singa kami jadi jangan bersedih, lagipula kita bisa mencobanya lagi tahun depan. Benar kan” saut ayah sembari menyemangatiku
Tadinya kupikir ayah akan sedih mendengarnya begitupun ibu tetapi tidak mereka justru sangat menghargaiku. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit akhirnya dokter memperbolehkan ayah pulang ke rumah, kami sangat bahagia mendengarnya. Dan soal biaya pengobatan ayah kami menggunakan uang tabungan yang tadinya akan digunakan untuk keperluan kuliahku. Hidup harus terus berjalan begitulah prinsip yang selalu kami pegang akan tetapi melihat kondisi ayah rasanya tidak memungkinkan bagi dirinya untuk bekerja, maka dari itu aku dan ibu sepakat untuk bekerja. Ibu bekerja di ladang menggantikan ayah sementara aku berjualan keliling menggantikan ibu. Dan untuk sekali lagi aku harus melupakan sejenak perjalanan mimpiku.
Hari demi hari kami jalani dengan penuh kerja keras dan rasa lelah yang tak tertandingi, semua itu dilakukan demi kesembuhan ayah. Hingga akhirnya Tuhanpun memberikan keajaiban dengan membuat ayah dapat berjalan kembali. Dokter juga pernah mengatakan bahwa cinta keluarga dan keyakinan adalah kekuatan terbesar yang akan membantu ayah untuk sembuh. Namun naasnya setelah sembuh ayah justru mengetahui sebuah kebenaran tentangku yang membuatnya sangat marah.
“TARA KEMARILAH DIMANA KAU” teriakan ayah dengan penuh amarah. “Heii ada apa, mengapa kau berteriak pagi-pagi begini” jawab ibu dengan wajah kebingungan. “Kau bertanya padaku ada apa. Seharusnya kau tanyakan itu pada putrimu. Lihat dan bacalah kertas ini putrimu lolos tes kemarin. Kebohongan sebesar ini dan dia tutupi dari kita semua” ucap ayah dengan penuh amarah.
“Kumohon dengarkan aku dulu ayah. Saat itu kondisi ayah sedang sakit dan tidak mungkin bagiku untuk meninggalkan kalian” ucapku sembari menangis. “Cukup, Lihat dia lihatlah bagaimana dia mengkasihani ayahnya sendiri. Apa aku dan ibumu membesarkanmu hanya untuk mengasihiniku dan berbohong. Kau tahu kau bukan putriku Tara karena putriku tidak akan berbuat hal semacam itu, kau mengerti” Saut ayah dengan wajah sedih dan nada marah. “Tidak ayah jangan katakan itu, aku putrimu mengertilah kondisiku saat itu” ucapku sembari menangis.
Kebenaran yang selama ini kututupi dengan rapatnya kini terbongkar. Aku tidak menduga bahwa ayah akan bereaksi seperti itu. Seketika duniaku serasa hancur begitu saja. Malam harinya, ibu menghampiriku di kamar dan meminta penjelasan bagaimana semua ini terjadi. Aku menceritakan semuanya pada ibu, bahwa saat itu sebelum aku menghampirinya aku bertemu dengan bibi di luar rumah sakit.
“Bibi kau disini, bagaimana keadaan ayah apa ayah baik-baik saja?” Tanyaku dengan wajah panik. “Cukup, aku muak mendengar perkataanmu. Apa kau puas Tara, kau puas karena telah membuat kakakku celaka. Karena kau dan mimpimu itu hari ini kakakku ada di tempat ini, jika saja kau tidak bermimpi banyak maka hari ini kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi. Kau tahu kuliahmu belum saja dimulai tetapi hal ini sudah terjadi. Apa kau bisa bayangkan dampak apalagi yang akan terjadi jika kau benar-benar kuliah nanti. Kakakku bisa saja tiada kau dengar. Ya… memang benar kakakku bermimpi menguliahkanmu, tetapi seharusnya kau mengerti bahwa hal itu mustahil untuk diwujudkan karena kita orang miskin. Tetapi sudahlah tidak ada gunanya bicara dengan anak sepertimu, kuharap kau mengerti apa yang kukatakan ini” Jawab bibi dengan penuh amarah.
Mendengarnya aku hanya bisa terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Rasanya ingin berteriak sekencang mungkin, bagaimana tidak semua perkataan bibi rasanya memanglah sebuah kebenaran bahwa aku dan mimpiku adalah penyebab kecelakaan ayah. Semua itu kuceritakan pada ibu namun ternyata ibu justru menamparku saat mendengarnya.
“Karena itu kau berbohong pada kami hah. Kau tahu ayahmu memang benar kau bukanlah Tara putri kami, karena Tara tidak akan melakukan hal semacam itu. Tara kami bukan pecundang seperti orang yang kau ceritakan itu yang gampang menyerah. Aku benar-benar kecewa padamu” ucap ibu dengan penuh amarah.
Sekali lagi aku hanya bisa diam tanpa tahu harus berbuat apa, mereka berdua marah padaku. Setiap kali aku mencoba meminta maaf ataupun mengajak mereka bicara hanya diam respon yang kudapat. Melihat kemarahan mereka yang begitu besar kurasa Tuhanpun juga ikut marah padaku. Segala cara kucoba kembali untuk membujuk mereka. Dan syukurlah setelah beberapa waktu akhirnya mereka mau bicara denganku, mereka juga memaafkanku dengan syarat bahwa aku tidak boleh mengulangi hal yang sama.
Bisa dibilang kebahagiaan mulai kembali datang padaku sejak hari itu. Dan akhirnya perjalanan mimpiku pun berlanjut dengan diterimanya aku di kampus melalui jalur tes. Pengalaman, tantangan, dan rintangan banyak kulalui selama 4 tahun berkuliah dan hidup di perantauan. Hingga sampailah aku pada hari ini. Yapp hari dimana aku dinyatakan lulus sebagai lulusan terbaik kampus dengan menyandang gelar sarjana psikologi.
“Tara, Hei Tara” Ucap Rina sambil memukulku. Sontak saja aku dibuat kaget dengan pukulannya itu. Pikiranku yang sebelumnya telah menyelam kembali ke masa lalu pun menjadi usai saat itu juga.
“Apa yang kau pikirkan, dari tadi aku mengajakmu mengobrol tapi kau hanya diam saja, dasar. Lihat pemateri kedua sudah hampir selesai” Ucap Rina dengan wajah kesal. “Benarkah aku sama sekali tidak menyadarinya, maafkan aku” Ucapku kepada Rina
“Baiklah terimakasih kepada pemateri kedua kita atas materi yang telah disampaikan. Selanjutnya mari kita panggilkan pemateri ketiga kita yaitu mba Tara Nadila. Kepada mba Tara Nadila saya persilakan naik ke atas panggung. Berikan tepuk tangan yang meriah untuk pemateri kita yang satu ini” panggil moderator dengan penuh semangat
Yaa… itu aku, Tara yang kalian kenal. Aku berkesempatan menjadi pemateri dalam acara ini. Seperti pemateri sebelumnya, di atas panggungku ceritakan juga bagaimana kisah perjalanan mimpiku. Dan sebagai penutup kukatakan pada para hadirin bahwa di dunia ini ada banyak orang yang membutuhkan pembuktian termasuk pembuktian akan mimpi kita. Maka dari itu hari ini aku berdiri di hadapan kalian semua sebagai bukti bagi orang-orang di luar sana bahwa orang kecil pantas untuk bermimpi dan mewujudkan mimpinya, karena keadaan tidaklah menjadi syarat mimpi itu akan terwujud. Yaa… inilah kisahku.
Cerpen Karangan: Ika Pramudita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com