“brukk”. Terdengar suara sepatu rini yang ia jatuhkan ke lantai teras rumahnya. Dengan wajah yang cemberut dan muka memerah, mata rini hanya memandang ke arah lantai rumah tanpa melihat orangtuanya yang sembari mengikutinya dari tadi
“Bu, pak. sudahlah. sampai kapan kita akan terus begini. Aku malu pak, buk. Setiap hari ada saja bahan ceritaan warga kepada keluarga kita. Haruskah aku bersabar hingga sekian lamanya? Tolonglah bu, pak. jangan begini terus. Sebentar lagi aku akan masuk kuliah, tetapi bapak dan ibu selalu berkata belum ada uang untuk kuliah. sementara bapak baru saja menjual tanah yang tak murah harganya. Masa membeli lampu teras saja bapak dan ibu tidak bisa beli?” Sahut rini yang sedari tadi mondar mandir “Kamu sabar dulu Nak, bapak dan ibu juga memikirkan sedemikian rupa. Kami juga ingin kamu sekolah tinggi.” sahut bapak rini yang menatap rini dengan dalam “ah sudahlah pak. Mustahil bapak tak punya uang. Penjualan tanah bapak saja sudah mencapai 50 juta. Akhiri saja sandiwara ini pak. Aku muak. setiap kali ditanya kemana uang bapak, bapak hanya tersenyum dan tak berkata apa apa lagi. Ibu pun demikian” “bukan begitu rini, kami juga akan menyiapkan segala keperluan kamu. Kamu jangan khawatir, tinggal waktunya saja yang belum pas” sahut ibu rini dengan nada tenang Dengan penuh kekesalan, rini pun menjawab “hah? Tunggu waktunya? Waktu apalagi bu? satu setengah bulan lagi masa kuliah akan dimulai bu. Ah sudahlah pak, bu. Aku memang gak penting untuk kalian kan” pungkas rini sambil menangis dan membanting pintu kamar dengan sekeras kerasnya
“bagaimana ini pak? apa kita kasih tau saja rini yang sebenarnya?” “jangan bu jangan. Ini kan udah janji kita utuk tidak memberi rahasia ini kepada siapapun sekalipun anak kita” “lalu bagaimana pak? Apa kita biarkan rini begini terus?” sahut ibu dengan cemas “sudah lah bu. Bapak yakin suatu saat rini pasti akan tau semuanya” jawab bapak rini dan kembali melakukan kegiatan masing masing
Keesokan harinya, rini berangkat sekolah tanpa menyapa dan memberi salam kepada ketua orangtuanya. Ia juga tak menyentuh sarapan sedikitpun. Perlahan ia pergi ke sekolah dengan muka yang muram dan tatapan yang sinis dan suara langkah sepatunya mulai menghilang “bagaimana ini pak? apa kita lanjutkan rahasia kita selama ini? ibu kasihan pak lihat si rini. nanti ngambeknya makin parah lagi” sahut ibu dengan perasaan cemas tak menentu “tenang bu, bapak yakin rini pasti akan termotivasi dengan kita. Ibu harus percaya dengan bapak”.
Tak banyak yang dapat rini lakukan. Ia hanya malu, sedih, marah dan putus asa mneghadapi semuanya. Ketika di sekolah pun rini tak mau buka suara. Saat teman temannya sibuk mempersiapkan segalanya, rini Hanya duduk diam dan terus terang merasakan kesedihan yang mendalam
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Siang itu cuaca sangat panas sehingga rini memutuskan untuk berteduh di warung bu yasni “aduh, kok panas banget ya hari ini” ketus rini sambil menelan ludah dan memesan minuman dingin di warung bu yasni “Bagaimana sekolahmu? Dapat ilmu apa hari ini?” sahut bu yasni sambil memberikan minuman kepada rini Rini hanya terdiam dan matanya menuju pada pohon kelapa yang ada di dekat warung bu yasni
“kok diam aja? Kamu sakit?” Tanya bu yasni heran “engga kok bu, aku baik baik aja” “setelah tamat sma ini kamu mau lanjut ke mana?” Tanya bu yasni lagi. “entah lah bu. Rini juga bingung. ibu dan bapak juga belum ada kasih jawaban untuk rini” pinta rini “oh iya, tadi baru saja ibu dan bapakmu dari warung ibu. Ini topi bapakmu ketinggalan” kata bu yasni sambil memberikan topi bapaknya rini “hah? Ke sini? memangnya bapak dan ibu tidak ke ladang? kok bisa ke sini bu?” Tanya rini dengan penuh penasaran dan serius “ibu juga Tidak tahu mengapa mereka ada disini. saat ibu Tanya mereka tadi dari kampung sebelah” pungkas bu yasni Rini pun semakin tak mengerti mengapa ibu dan bapaknya ada di kampung sebelah. Rasa penasarannya pun makin tumbuh dan ia segera menuju ke rumahnya.
Sampai di rumah, ia juga tak melihat ibu dan bapaknya. Ia pun menuju ke arah tudung saji yang berwarna pink. benar saja, ibu rini memasak tempe goring dan kecap sambal lagi “sudah kuduga. Pasti ibu masak tempe lagi.” ketus rini dengan kesal tanpa menyentuh tempe tersebut
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 sore. Tak seperti biasanya, bapak dan ibu rini pun tak kunjung pulang ke rumah. hal ini membuat rini semakin marah tak karuan. Hingga pukul 7 malam, ayah dan ibu rini sampai di rumah
“ibu dan bapak dari mana saja sih? aku lapar, sedangkan ibu hanya masak tempe. Katanya ibu dan bapak pergi ke ladang. tapi mengapa pakaian ibu dan bapak hari ini berbeda? Kemana cangkul dan topi kalian? mengapa tadi harus singgah di Warung bu yasni? dan mengapa harus ke kampung sebelah” Tanya rini dengan nada tinggi dan dengan nafas yang tak karuan. Dengan rasa cemas dan panik, bapak rini menjawab “begini nak, tadi hmm tadi kita itu, ada acara di kampung sebelah, iya ada acara” “acara? Di hari seperti ini ada acara? acara apa pak? Mengapa hingga malam hari? bukan kah di kampung sebelah sangat sunyi penduduk?” “aduh rini, pokoknya panjang ceritanya. Ya sudah ibu dan bapak capek. Kami mau istirahat dulu” jawab ibu dengan cepat dan langsung menuju ke kamar Hal ini membuat rini semakin bingung, seperti ada yang disembunyikan oleh orangtuanya.
Keesokan harinya setelah pulang sekolah, rini dengan sigap langsung menuju ke ladang orangtuanya. Namun nihil. Tak ada bekas tanda tanda orang bekerja. Kedua orangtuanya pun tak terlihat lagi di ladang. Ia tak mengerti, mengapa orangtuanya seperti menyembunyikan sesuatu.
Ia pun teringat dengan kampung sebelah. Ya, kampung sebelah. dengan tekat yang kuat serta rasa penasaran yang semakin bertambah, rini pun melanjutkan perjalanannya. Setelah hampir 40 menit, rini pun sampai di kampung sebelah. Namun, ia juga belum menemukan ibu dan bapaknya.
Ia pun mulai memberanikan diri untuk bertanya kepada masyarakat sekitar. Namun ketika ditanya, para warga pun enggan untuk menjawabnya. Rini tetap bersikeras bertanya di manakah kedua orangtuanya. Akhirnya, warga sekitar pun luluh mendengar permohonan rini. Mereka memberitahukan keberadaan orangtua rini.
Dengan langkah lebih cepat, rini pun sampai di tempat orangtuanya. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat orangtuanya. Ia tak menyangka, ia menangis tersedu sedu dan terharu. Orangtuanya telah membangun sebuah masid yang dapat digunakan penduduk setempat. Warga sangat berterima kasih kepada orangtua rini.
“Bapak, Ibu. Maafkan rini. Rini sudah berprasangka buruk kepada bapak dan ibu. Sekali lagi maafkan rini ya” dengan suara lembut dan menangis rini meminta maaf Sambil tersenyum dan memeluk rini, ibu pun menjawab “anakku. Inilah tujuan kami Dari dulu. Sekarang kamu telah mengetahuinya. Kamu harus banyak bersyukur dan selalu mengingat Allah SWT. Agar hidupmu berkah” “iya benar nak. Mulai hari ini, kamu sudah bisa menentukan keinginanmu untuk kuliah” sahut bapak “hore, aku bisa kuliah. Terima kasih buk, pak” pinta rini dan memeluk kedua orangtuanya
Dan mereka pun pulang ke rumah dengan perasaan yang sangat bahagia.
Cerpen Karangan: Ahmad Fahmi Maha Blog / Facebook: Fahmimaha Suka menghayal dan akan mewujudkan khayalannya hehe
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com