2020 berarti sudah 5 tahun Gea menunggu untuk bertemu seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Memang mereka sepakat untuk bertemu lagi tapi di tahun yang berbeda, menurut mereka rasanya 5 tahun kemudian adalah waktu yang tepat untuk mereka bertemu. Seperti sebuah permainan namun asiknya begitu. Mereka ingin menguji ingatan dan kesabaran mereka masing-masing.
Mereka sepakat untuk bertemu yang kedua kalinya di tempat yang sama seperti mereka bertemu pertama kalinya. Pagi itu pukul 10.00 WIB Gea sudah berada di tempat mereka janjian. Ia memakai dress dibawah lutut dan kardigan putih yang melekat di tubuhnya. Juga dengan seulas senyum bangga atas perjuangannya juga motivasi dari seseorang yang Gea tunggu dari tadi.
Waktu terus berjalan matahari pun mulai menyamai tegaknya tubuh Gea yang sedari tadi berdiri. Seseorang yang ditunggunya dari tadi belum datang juga. Gea menyeka keringatnya yang mengalir jatuh ke pipi.
“Hai, maaf, ya aku lama. Jangan nangis, dong!” Tiba-tiba seseorang muncul dari samping tubuh Gea. Dia adalah Rey. Orang yang ditunggu-tunggu Gea. Gea menengok dan tersenyum senang, “nggak nangis, kok cuma keringat.” “Ya ampun aku traktir minum es di cafe ujung sana, deh.” Ucapnya lalu menarik tangan gadis itu.
Gea senang sekali akhirnya orang yang ditunggunya datang juga. Gea kira dia sudah lupa akan janjinya 5 tahun yang lalu. Sekarang Gea sudah bersamanya di cafe yang tidak jauh dari tempat mereka janjian.
“Aku nunggu lama, loh.” “Maaf, ya tadi ada urusan sebentar,” Gea mengangguk dan tidak mempersalahkan hal itu lagi. Yang penting ia sudah ada bersamanya. “Ingatan kakak kuat, ya. Jarang loh ada orang yang begitu,” “Hmm, kamu juga kuat Gea,”
Ingatan kuat yang mereka maksud adalah ingatan mereka yang masih ingat janji 5 tahun lalu yang mereka buat untuk membuktikan keadaan mereka sekarang. Lebih baik atau sebaliknya dari tahun kemarin.
“Selamat tahun baru, ya kak.” Ucap Gea. “Selamat tahun baru juga,” balas Rey ramah. “Gimana, nih sekarang lebih baik dari sebelumnya, ‘kan?” Tanya Gea membuat Rey sedikit tertegun. Uhuk uhuk uhuk. Tiba-tiba Rey tersedak minumannya. “Ya-ya lumayan,” Gea membalas dengan senyuman, “aku masuk 3 besar, loh pas bagi rapor kemarin,” Rey mencoba tersenyum walau terpaksa dan gelisah takut-takut Gea menanyakan tentang dirinya lebih lanjut.
“Udah lama nggak ketemu, aku seneng banget hari ini. Makasih udah buat aku kayak sekarang,” ucapnya to the point tak perlu bertele-tele. Rey mengangguk dan tersenyum, “yang bisa mengubah kamu, ya kamu sendiri aku cuma perantara,” Gea mengangguk mengerti. Rasanya, kayak ada yang mengganjal di pertemuan mereka kali ini. Rasa canggung masih menyelimuti mereka padahal dulu mereka sempat dekat dan akrab. 5 tahun ini memang cukup lama untuk mereka menanti tetapi tidak harus mengubah segalanya, ‘kan? Dugaannya selama ini salah Gea kira saat ia bertemu Rey lagi mereka bakal seantusias dulu tapi nyatanya nggak.
Gea menggigit bibir bawahnya, “sekarang kakak sekolah dimana?” Deg Pertanyaan itu cukup menghujam batin Rey. Pertanyaan itu yang menakut-nakuti Rey. Sekarang semua sudah terjadi kini giliran ia yang bersuara. “Sekolah ya di sekolah, gedung besar dengan banyak teman dan guru-guru.” Jawabnya secara fakta.
Gea menghela nafas, kakaknya yang satu ini masih suka bercanda. Ya, Gea menganggap Rey sebagai kakak dari dulu karena dia sangat mengerti Gea dia begitu perhatian dengan Gea dan begitu menyayangi Gea seperti adiknya sendiri. Walaupun Gea dan Rey hanya terpaut usia 2 tahun. Kebetulan mereka sama-sama anak tunggal.
“Kapan-kapan tunjukin sekolah kakak, ya. Aku juga bakal tunjukin sekolah aku yang selama ini kakak nggak tau,” ucapnya sembari tersenyum, “kita nengokin temen-temen yang lain, yuk kak. Aku udah kangen,” Rey mengangguk lalu beranjak ke meja kasir untuk membayar tagihannya. Gea mengalah tadinya ia yang ingin membayarnya namun, Rey memaksa katanya sebagai permintaan maaf sudah menunggu lama.
Mereka berdua keluar dari cafe dan berjalan menuju tempat dimana mereka pernah mengadu nasib dan memperjuangkan hidup. Mata Gea berbinar ketika melihat Abi, Tika, Oki, Yuki dan teman-teman lainnya sedang berkumpul. Gea langsung memeluk mereka satu persatu, juga memberi mereka oleh-oleh dari cafe tadi. “Aku kangen kalian,” “Kita juga, kak Gea. Kak Gea kemana aja, kok nggak pernah main ke sini semenjak pulang?” Ucap Oki, anak lelaki berusia 11 tahun yang sangat dekat dengan Gea. Gea menyeka air matanya, ia tak bisa membendung air matanya lagi. “Kakak, sibuk, dek. Banyak tugas sekolah,” “Kakak sibuknya kelewatan, sampe lupain kita,” sahut Abi lelaki seukuran Oki yang juga dekat dengan Gea. Gea menghela nafas, memang sulit mempercayai mereka, “nih anak kecil makan donat aja,” ucapnya menggoda Abi dan teman-teman. “Asik! Makasih kak,”
Gea tersenyum sekaligus terharu melihat anak jalanan itu dengan lahap memakan donat pemberiannya. Mereka memang jarang mendapat makanan seperti ini mendapat nasi dengan tahu tempe saja mereka sudah senang.
“Mereka masih ingat aku, ya kak?” “Ya, pastilah mereka ingat. Mereka itu seneng ada kamu,” “Emang aku nyenengin ya?” “Nggak perlu aku jawab kamu ya kamu tau sendiri jawabannya,”
Gea menatap lurus ke depan, berdiri di sebuah jembatan yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya, ya, saat itu Gea sedang marah besar pada orangtuanya karena ia terus-menerus disuruh belajar dan mengikuti berbagai bimbel juga ekskul yang membuatnya lelah, jika nilai ulangannya kecil saja ia bakal dimarahi habis-habisan. Hingga ia memutuskan untuk kabur dari rumah beberapa hari dan bertemu dengan Rey yang memberinya tempat tinggal sementara.
Saat itu… “Kamu kenapa kabur?” “Aku capek, kak dimarahi terus sama papa kalo nilai ulanganku jelek,” jawab Gea sambil terisak. “Kenapa nilainya bisa jelek?” “Aku nggak konsentrasi pas belajar karena capek dan ngantuk. Tiap hari aku pulang les jam 7 malam, Sabtu juga ada ekskul, jadi aku harus berangkat,” “Kamu udah coba bilang belum ke papa kamu kalo kamu tuh capek ikut les sana sini, pulang malam belum lagi Sabtu ada kegiatan ekskul ya?” “Aku udah coba bilang tapi papa nggak ngertiin aku. Ya, jelaslah nggak ngerti karena dia,’kan nggak ngerasain.” Ucap Gea sambil memasang muka sinis. “Hush, udah-udah sekarang kamu mending pulang, aku anterin.” “Nggak kak. Aku nggak mau pulang, nggak akan.” “Jangan gitu, dong. Kasihan papa kamu nungguin di rumah,” “Dia nggak kasihan sama aku, Kak.” “Hmm, kamu itu beruntung masih punya orangtua dan tempat tinggal yang mumpuni. Masih bisa sekolah juga les. Jadi peluang untuk kamu pintar banyak. Kamu dapet segala-galanya nggak perlu nyari duit tinggal jalanin aja. Nah, aku dari kecil udah tinggal di jalanan kalau mau makan harus ngamen atau nggak mulung dulu baru bisa makan, itu juga paling dapet nasi sama tahu tempe.”
Gea tertegun, “orangtua kakak mana?” “Udah meninggal ketabrak mobil waktu aku kecil,” Gea jadi terharu mendengar cerita Rey. Ada benarnya juga perkataan Rey barusan. Dia tidak perlu bekerja tinggal jalani saja. Dia sudah diberi segala fasilitas tapi dia tidak mau bersyukur. “Tapi, kalau itu menentang sama aku gimana?” “Menentang gimana?” “Ya, aku capek ikut les sana-sini juga jadwal ekskul padat,” “Oh, gini aja pilih yang paling kamu suka dan selebihnya berhenti. Biar nggak mubazir, papa kamu udah daftarin tapi kamunya nggak mau ngejalanin,”
Hari-hari berikutnya Gea jalani dengan Rey. Mencoba hidup yang sangat berbeda jauh dengan kehidupan aslinya. Rumah mewah full AC, mobil, sekolah, dan lain-lain yang tidak ia dapatkan sekarang, mungkin untuk sementara bisa juga selamanya. Rey sudah mencoba mengantarkan Gea pulang, tapi ia tidak mau. Alhasil Rey tidak bisa memaksakan kehendak karena yang dikehendakinya saja tidak mau. Gea juga bilang katanya ia mau rehat dari segala penat yang menyerangnya. Rey nurut saja biarkan Gea menyadari sendiri.
Hari-hari berikutnya Gea mulai akrab dengan teman-teman Rey, seperti Abi, Oki, Yuki, dan Tika juga teman-teman yang lainnya. Mereka senang dengan kedatangan Gea yang baik hati. Mereka mulai akrab dan menganggap Gea adalah bagian dari keluarga mereka. Begitupun Gea. Menurutnya tidak melulu sengsara hidup di jalanan seperti ini jika diliputi rasa senang dan ikhlas. Begitupun hidupnya saat ini. Dia hanya butuh senang dan ikhlas untuk menjalaninya. Hingga saat Gea sedang mengamen di jalanan bersama Rey, mobil yang ia datangi adalah mobil papanya sendiri. Lantas Gea kabur dan menjauh dari papanya. Papanya mencari Gea kemana-mana dan saat ia bertemu di jalan Gea menjadi pengamen jujur hatinya seperti teriris. Ternyata Gea lari dan bersembunyi di kolong jembatan, dia menangis dan terus menangis. Hingga Rey datang dan menenangkan.
“Kamu pulang ya, kasihan papa kamu udah nyari kamu kemana-mana,” “Nggak kak. Papa jahat sama aku,” “Bukan jahat, itu artinya dia mau kamu jadi anak yang pintar dan sukses nantinya.” “Tapi caranya nggak gitu juga, kak.” “Dengerin kakak! Kamu pulang dan bilang yang sebenarnya sama papa kamu, pilih diantara les dan ekskul yang paling kamu sukai dan jalani semuanya dengan senang. Ingat terus bahwa papa kamu udah memberikan yang terbaik buat kamu, kamu tinggal jalani aja.” “Tapi, aku takut.” “Kamu belum coba masa udah bilang takut,” “Tapi nanti aku nggak ketemu sama kakak lagi,” “Kalau mau ketemu gampang kita janjian di jembatan ini pukul 10.00 WIB 5 tahun yang akan datang,” janji itu tiba-tiba meluncur dari mulut Rey. “Lama banget, kak.” “Kakak mau lihat sejauh mana kamu menjalaninya lebih baik atau sebaliknya,” “Oke, nanti kalau kita ketemu lagi aku bakal buktiin ke kakak kalau aku benar-benar menjalankan dengan baik. Dan kakak harus udah sekolah, ya.” Gea bicara seperti itu karena ia tahu, Rey sangat ingin sekali bersekolah. Gea merenungi kata-kata Rey. Sebenarnya dia juga sudah kangen dengan keadaan rumah dan sekolah. Satu Minggu sudah ia habiskan disana bersama Rey dan teman-teman.
“Gea!” Tiba-tiba papanya datang dan Gea langsung memeluknya. “Maafin, aku pa. Aku janji nggak ngeluh lagi,” “Iya papa juga minta maaf, papa udah denger semua yang dikatakan temanmu itu. Sekarang pulang, ya nak.” “Iya pa,”
Setelah itu Gea pulang dan berterimakasih pada Rey dan kawan-kawan. Ia tidak akan lupa kata-kata yang disampaikan Rey. Ia sangat bersyukur mendapat teman seperti Rey. Dia baik dan pengertian sekali dengan Gea. Mungkin kalau tidak ada dia Gea tidak akan seperti ini. Menurutnya dia motivator yang baik.
Hingga 5 tahun kemudian mereka memutuskan untuk bertemu. “Kak, nama sekolah kakak apa, biar nanti di jalan aku cari, atau kakak mau nunjukin langsung ke aku?” “Eng.. gimana kabar papa kamu?” Rey mencoba mengalihkan topik. “Kok, nanyain papa, sih kak? Kalau papa baik-baik aja,” “Alhamdulillah,” “Kak, sekolah kakak yang mana?” “Eng.. Gea maafin aku sebenarnya aku nggak sekolah. Aku belum punya cukup uang untuk daftar sekolah. Aku minta maaf belum bisa jadi kakak yang terbaik buat kamu. Memang dulu aku yang memotivasi kamu untuk sekolah tapi aku nggak bisa memotivasi diri aku sendiri, Gea. Aku terlalu bodoh untuk ini,” Rey menunduk lesu.
Gea tertegun mendengar ini, 5 tahun penantiannya selama ini tidak berbuah apa-apa. “Kak jangan menyalahkan diri sendiri. Aku ngerti keadaan kakak. Mau aku bantu bayar sekolah?” “Nggak usah Gea,” “Ih, anggap aja ini terimakasih aku udah buat aku kayak gini. Nggak terima penolakan!” “Hm, ya udah terima kasih.”
Esoknya ia meminta bantuan papa untuk mendaftarkan Rey ke sekolah SMA. Karena umurnya saat ini sudah 16 tahun. Sedangkan Gea 14 tahun. Papanya mendaftarkan Rey dia sekolah yang sama dengan Gea namun di SMA nya. Anggap saja ini juga bentuk terimakasih sudah menjaga Gea dengan baik dan memberinya pencerahan. Gea dan papanya juga memberinua tempat tinggal di rumah Gea. Tapi Rey masih pikir-pikir.
Hari-hari berikutnya, Rey dan Gea sekolah bersama mereka juga istirahat bersamaan. Sekolah Gea dan Rey itu sama hanya beda tingkatan dan kelas. Rey sangat berterima kasih pada Gea begitupun sebaliknya. Rey itu pintar jadi untuk menjalani tes masuk SMA mudah. Ia selalu membaca koran-koran atau buku-buku yang ia temui di jalan seputar pendidikan. Sebagai gantinya, Rey janji akan mengajarkan Gea tentang banyak hal sesuai permintaan kecil Gea juga. Mereka berharap mereka akan terus menjadi sahabat baik atau pun kakak adik yang selalu ingat satu sama lain bahwa mereka pernah sama-sama jatuh dan bangkit. Juga terus ingat pengorbanan mereka masing-masing. Mereka juga berjanji akan sukses bersama di kemudian hari.
Cerpen Karangan: Amanda Citra Ramadhani
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com