Aku duduk di meja belajar, tangan kananku membolak-balik halaman buku bersampul biru didepanku. Pikiranku melayang, mengingat kejadian pagi tadi di sekolah. “Pelit! Lihat saja, tidak akan ada orang yang mau berteman denganmu!” teriak Nuri padaku. Saat kertas ulangan mulok yang mengambil materi biologi terapan dibagikan, Nuri mulai lagi dengan kata-katanya yang menyudutkanku. “Rasain! Kamu pasti tidak bisa mengerjaknnya. Makanya, tadi tidak mau memberitahu jawaban matematika kepadaku. Nyaman? Hahahaha…!!!”. Diam membisu, itu yang kulakukan sampai ulangan hari ini selesai.
“Loh kok belum tidur? Besok kan kamu masih ulangan. Nanti kesehatan kamu terganggu”. Dengan sekejap pikiranku kini berada di dunia nyata. Mama berada disampingku membelai-belai rambut panjangku. Aku menatapnya dengan penuh kebingungan dan keputus asaan. Sepertinya mama mengerti maksudku, ia menarik kursi kecil di dekat jendela kamar. Posisiku kini berhadapan dengan mama, yang penuh tanda tanya.
“Ada masalah apa Inne? Mama siap mendengarkan isi hati kamu.” Kutundukkan kepalaku, bingung darimana aku harus memulai semua ini. Mama menggenggam kedua tanganku, kemudian membetulkan posisi wajahku tepat menatap wajahnya. Tapi, kuhindari untuk tidak melihat mama.
“Pagi tadi di sekolah, Inne dimarahi teman”. Kulirik mata mama, kemudian kualihkan kearah lain. “Karena Inne gak ngasih jawaban matematika sama dia. Inne jadi takut, kalo gak ada yang mau temenan lagi sama Inne”. Ucapan ini membuat air mataku membasahi pipi.
“Inne sayang, kamu udah SMA loh. Seharusnya kamu bisa berpikir dewasa”. Tangan mama menghapus air mataku. “Lalu, apa yang harus Inne lakukan? Inne tidak siap untuk berangkat sekolah besok.” Kuhentikan tangan yang menghapus air mata itu. “Sepertinya mencontek sudah menjadi kebudayaan saat ini?”. Jeda tadi, berhasil disambung mama kembali. Kini mama telah melepaskan tangannya dari pipiku. “Begini sayang, kamu dan teman kamu itu adalah generasi muda penerus bangsa ini. Zaman penjajahan dulu, generasi seperti kamu inilah yang memiliki pikiran kritis sehingga Indonesia dapat merdeka.”
“Apa yang membuat mereka seperti itu?”. Pertanyaan itu terlontar dengan mudahnya dari mulutku. “Mereka sangat kompak dalam menyelesaikan semua masalah, dan kejujuran adalah hal yang wajib dimiliki oleh setiap individu itu”. Jelas mama yang kembali membelai rambutku.
“Tetapi, zaman sekarang orang yang tidak mencontekkan temannya adalah orang yang paling munafik dan harus dituntaskan di sekolah Inne ma! dan… Orang yang seperti itu adalah orang yang ga ada kerjasamanya” Jawabku sedikit memaksa. “Itu salah sayang, kerjasama yang mama maksud bukan seperti itu. Kerjasama yang kalian lakukan itu tidak ada kejujurannya, melainkan berdampak negatif pada masing-masing individu.” Jelas mama meyakinkanku.
“Percuma dong perjuangan generasi muda zaman dahulu. Mereka mencoba membangkitkan rasa kerjasama, persaudaraan, kejujuran, sampai lahirlah yang namanya kebangkitan nasional. Pada akhirnya, generasi kalian ini akan menghancurkan perjuangan mereka. Dengan membodohi diri sendiri, malas berpikir, dan ketidakjujuran yang merajalela.” Sambung mama padaku, yamg kemudian melirik jam di atas meja belajarku.
“Sudah malam sayang, waktunya tidur. Ingat! Jangan lari dari masalah. Lakukan yang terbaik untuk menghadapi hari esok!” Sebuah kecupan mendarat di dahiku. Mama keluar dari kamar, meninggalkanku yang masih bingung apa yang harus kulakukan besok.
Kokok ayam telah berlalu, kini bel istirahat telah dibunyikan. “Miss pelit! Kamu dapat nilai paling rendah tuh! Masa’ biologi terapannya ga tuntas. Makanya, ga usah pelit.” Nuri kembali mengusik ketenanganku. Kini, semua teman-temanku memojokkanku dengan kata-kata yang menyayat hati.
Aku teringat percakapanku dengan mama kemarin malam, dan aku berusaha menyimpulkan penjelasan yang mama berikan kepadaku itu. “Aku pelit demi kalian juga kok! Bukannya mau cari muka, sok pintar, atau apalah menurut kalian. Tapi, asalkan kalian tahu! Kita ini generasi muda, penerus negara ini. Jika kita mencontek, bukankah kita membodohi diri sendiri?”. Terlihat gesture tubuh mereka kebingungan.
“Gini loh, kalian marah gak kalau negara lain menjiplak dan mengakui budaya Indonesia adalah budaya mereka?” Pertanyaan ini langsung kutembakkan ke wajah bingung mereka. Hasilnya, ya pasti marah. Itu jawaban yang mudah saja ditebak.
“Kenapa kalian marah? Seharusnya kalian mendukung mereka. Karena menjiplak berarti mencontek. Malu gak?”. Kulihat wajah-wajah mereka yang tampak mengerti dan ada pula yang mencemohku. “Negara lain maju karena gak ada yang mencontek. Percuma dong, generasi muda dulu susah payah berjuang demi kebangkitan Indonesia menggapai kemerdekaan. Generasi kita menghancurkan usaha mereka dengan mudahnya.”
“Kita disekolahkan bukan buat nyontek! Kita generasi muda, bukan hanya protes sama pemimpin Negara! Tapi kita diharuskan berpikir kritis untuk memecahkan masalah demi kemajuan Negara kita. Supaya perjuangan generasi muda dahulu gak pudar termakan zaman. Serta kita dapat melahirkan generasi berikutknya yang lebih berkualitas! Ngerti gak sih?” Penjelasan itu seperti sebuah orasi untuk berdemonstrasi dan kemudian terlempar sebuah pertanyaan yang harus mereka jawab dengan jawaban “Iya”. Sampai detik ini tidak ada yang berani menyanggah pembicaraanku tadi.
Bel masuk berbunyi, kertas ulangan sudah disajikan dan kami siap menyantapnya. Tidak ada yang memanggil-manggil namaku atau bahkan menyindirku lagi. Kulihat mereka sibuk mengerjakan soal masing-masing. Tidak ada yang meminta contekan kepada teman lain. Aku lega dengan semua ini, dan berharap peristiwa ini membawa pelajaran berharga bagi mereka. Serta kasus contek mencontek tidak terjadi lagi disekolahku dan mungkin bisa hilang seiring kesadaran mereka terhadap negaranya.
Cerpen Karangan: Zellynne Sewar Blog / Facebook: Zellynne Sewar Saya adalah bagian dari alam semesta.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com