“Banyak misteri di kehidupan ini, untuk mengetahuinya hanya dengan cara apa kamu melakukannya. Seperti bola di pertandingan sepak bola. Saat bola itu masuk ke gawang itulah kemenanganmu untuk menerobos misteri itu.” –Zellynne Sewar—
Namaku Vespania Pontiviana, kata ibu nama itu memiliki sejarah yang luar biasa. Kejadiannya di Kota Pontianak, 17 tahun lalu ada seorang ibu yang melahirkan anaknya di motor vespa. Ternyata anak itu aku. Itulah sejarah singkat kelahiranku.
Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 17. Aku mengadakan Birthday Party di halaman rumah. Aku senang karena diusiaku yang sekarang, aku telah mempunyai bisnis rumah boutique sendiri meskipun masih dibantu sama Ibu, Ayah, dan saudara-saudaraku.
Terdengar suara pintu kamarku diketuk. Terlihat Ibu membuka pintu. “Viana, ada hal yang harus kamu ketahui nak.” Kata Ibu dengan serius, seraya duduk kasur tepat disampingku. “Apa itu bu?” “Ini, disini semua jawabannya. Ibu akan ceritakan setiap foto di album ini.” Jelas Ibu sambil membuka album foto berwarna hijau yang ia bawa. Aku semakin bingung dengan ucapan Ibu. Seperti ada rahasia besar yang ia sembunyikan dariku. Dan sekarang, ditempat ini. Ibu akan membongkar semua rahasia itu.
Lembar demi lembar, ibu membuka album foto itu. Yang kulihat hanyalah foto Buk Sur –pembantu di rumahku– dengan seorang bayi perempuan yang lucu.
“Ini adalah foto Buk Sur dengan anaknya.” Jelas Ibu padaku. “Lalu apa hubungannya dengan Yana bu?” “Bayi ini adalah kamu.” Jawab Ibu sambil menunjuk foto bayi perempuan itu. “Maksud Ibu apa? Yana gak ngerti.”
“17 tahun lalu Buk Sur meminta pekerjaan dengan Ibu dan Ayah. Melihat kondisi Buk Sur yang sedang hamil. Kami pun tidak tega membiarkannya sendiri. Akhirnya kami memutuskan untuk menerimanya menjadi pengasuh Mas Hendra –Abangku yang usil. Dia anak pertama, hanya beda 2 tahun dariku—” “Jadi, Yana ini anak Buk Sur?” Tanyaku penasaran. Ibu hanya menjawab dengan anggukan kepalanya, sambil melihat kearahku dengan raut wajah penuh harapan.
“Gak mungkin bu! Yana gak percaya!” Elakku tak percaya. Ibu menarik nafas cukup panjang, lalu menarik tanganku. Aku berusaha melepaskan, namun seketika itu Ibu menangis.
“Ayah dan Ibu sangat menyayangi aku! Sama seperti rasa sayang yang diberikan kepada mas Hendra. Jadi, gak mungkin aku anak Buk Sur!” Kataku lagi sambil berdiri dihadapan Ibu. “Kami gak mungkin membedakan kalian. Percayalah! Ibu tidak berbohong padamu nak!” “Sudahlah bu! Hentikan drama ini! Yana tahu, ibu mau kasih Yana kejutankan?” “Ini bukan drama!” Bentak Ibu padaku. “Ibu bohong! Oh, Yana tahu. Yana sedang bermimpi kan? Tuhan, tolong bangunkan Yana dari mimpi buruk ini!” Jawabku yang masih tidak bisa menerima kejadian ini.
“Buk Sur bilang, dia tidak bisa membesarkan anaknya karena himpitan ekonomi. Dia pun menyerahkan anaknya untuk diurus dan dibesarkan oleh kami.” Aku hanya tersenyum mengejek, sambil mengelengkan kepala. Telingaku sudah tidak ingin mendengarkan perkataan Ibu. “Suami Buk Sur adalah seorang Pilot. Dia meninggalkan Buk Sur dengan menikahi mantan kekasihnya. Yang pada saat itu, Buk Sur sedang hamil. Semenjak kejadian itu, Buk Sur tidak pernah bertemu dengan suaminya lagi. Akhirnya Buk Sur pergi meninggalkan semua kenangan pahit.”
“Ini kenyataan? Jadi, Buk Sur itu adalah Ibu Yana?” “Iya sayang. Buk Sur adalah Ibu kandung Yana.” Aku menangis, sudah kucubit tanganku sekuat tenaga. Begitu pula dengan pipiku yang merah karena kutampar tadi. Tapi, tetap saja, aku masih mendapati diriku di tempat ini.
“Ini ada alamat yang diberikannya sebelum ia pergi dari rumah ini.” Ibu memberiku selembar kertas. Aku hanya melihatnya, ragu untuk mengambil kertas itu. Tapi, Ibu memelukku dan berusaha menenangkanku. “Pergilah! Biarkan Ibu yang mengurus pestamu!”
Aku tinggalkan pesta ulang tahunku. Aku tak tahu apa yang terjadi saat aku meninggalkan pesta. Seharusnya aku tidak bertindak bodoh seperti itu. Sikapku ini seperti bertolak belakang dengan usiaku. Tapi, ahh…!!! Terserah apa kata tamu undangan. Yang terpenting sekarang, aku harus bertemu dengan Buk Sur, Ibu kandungku.
Akhirnya sampai juga aku di alamat yang diberikan Buk Sur. Rumah semi permanen, berwarna ungu. Tanpa pikir panjang lagi, kutekan bell rumah itu. Keluarlah seorang perempuan muda.
“Ada apa ya? Kamu Siapa?” Tanyanya kepadaku. “Buk Sur nya ada?” Tanyaku balik. “Buk Sur? Gak kenal saya, disini gak ada yang namanya Buk Sur.” Jelasnya kepadaku. “Gak mungkin, ini alamatnya. Benar kan disini?” Kuperlihatkan secarik kertas alamat yang diberikan Ibu tadi. “Iya, ini benar. Tapi gak ada yang namanya Buk Sur tinggal disini.” “Sebentar, saya Tanya tetangga dulu.” Perempuan itu pun menghampiri rumah tetangganya.
Tak sampai 5 menit, keluarlah sang pemilik rumah. “Ada apa Sukma?” Tanya tetangganya itu. “Di sini.” Perempuan itu mengayunkan tangannya menmandang kearahku. Aku pun bergegas menuju kearahnya.
“Ini, adik ini nanyain Buk Sur. Saya gak tahu, malahan gak kenal sama Buk Sur. Mungkin bapak kenal, soalnya kan bapak RT disini.” Jelas perempuan ini kepada pemilik rumah. “Oh, silahkan duduk. Sebentar, Buk Sur ya?” Tanyanya sambil berpikir. “Buk sur yang pembantu itu kan yang namanya Suryani?” Sambung bapak itu. Aku hanya mengangguk.
“3 tahun yang lalu memang pernah ada seorang yang bernama Suryani tinggal disini. Dia katanya, adalah seorang pembantu. Disini dia hanya menyewa rumah.” “Lalu, bapak tahu dimana Buk Sur sekarang?” Tanyaku penuh penasaran. “Ya. Sebelumnya adik ini siapanya Suryani ya?” “Saya anaknya Buk Sur pak.” “Suryani sudah meninggal 3 tahun yang lalu, akibat tabrak lari di depan komplek ini. Karena setahu kami disini, Suryani tidak ada sanak saudara. Akhirnya kami menguburkannya di kuburan belakang komplek.” Jelasnya. “Mungkin bapak salah orang, Ibu saya belum meninggal. Saya permisi. Maaf mengganggu.” Jawabku yang langsung berdiri, hendak meninggalkan rumah Pak RT ini. “Dik, tunggu sebentar.” Jawab Pak RT ini yang kemudian masuk meninggalkanku dengan perempuan yang dipanggilnya Sukma.
Tidak lama kemudian aku melihat mobil ayah datang. Ibu dan ayah turun menghampiriku. Bersamaan dengan itu, Pak RT pun keluar dari rumahnya sambil membawa sebuah tas lusuh. “Ini, barang-barang milik Suryani. Saya sengaja menyimpannya karena saya yakin suatu saat pasti akan ada yang mencarinya.” Aku membukanya, di sana aku menemukan foto Buk Sur beserta liontin. Liontin itu sama dengan milikku. Teryata benar, Buk Suryani yang Bapak ini maksud adalah Buk Sur, Ibu kandungku. Aku pun menangis histeris, tidak percaya semua ini terjadi kepadaku. Kenapa musibah ini menimpaku?
Inilah pertannyaan yang sekarang terpikir di otakku. Karena tangisanku, tetangga yang ada sekitar tempat itu pun keluar. Mereka mulai mengerubungi rumah Pak RT ini. Kepalaku pusing, Ibu mencoba menenangkanku, tapi apa dayaku. Aku tetap menangis. Inikah hadiah ulang tahunku? Aku benci dengan semua ini.
Ayah bertanya kepada Pak RT, letak kuburan Buk Sur. Pak RT menunjukkan kuburan Buk Sur. Aku diiringi oleh Ibu dan Perempuan bernama Sukma menuju kuburan Ibu.
Sampailah aku di kuburan Buk Sur. Tepat didepannya. Disinilah Ibu kandungku berbaring. Aku telah terlambat datang. Di pusara ini, ibu tidur selamanya. Aku tidak sempat berbakti kepadanya, mengucapkan terimakasih karena telah melahirkanku dan memberikan hidup dengan semua fasilitas lengkap bersama keluarga ini. Andaikan saja Ibu masih hidup, aku akan merawatnya. Kini, aku menunggu keajaiban datang. Berharap semua ini hanya mimpi, dan aku akan terbangun dengan kenyataan yang berbeda.
Aku hanya berdiri samping pusara Ibu. Menangis, menyesali semuanya. Sudah terlambat semua. Apa yang kuperbuat.
Ayah menghampiriku dan berkata. “Semuanya telah terjadi, maafkan ayah dan ibu karena telah terlambat memberi tahu yang sebenarnya. Jangan pernah kamu menyesali semua ini. Ini adalah jalan yang telah ibumu pilih. Pada dasarnya setiap manusia akan kembali ketempat asalnya. Kita yang masih hidup, wajib mendoakannya. Dengan begitu, mungkin kamu dapat berbakti kepada Ibumu.”
Aku pun duduk di samping pusara Ibu. Mungkin ini adalah hadiah utama yang terindah di hari ulang tahunku. Hadiah dimana aku bisa mengenal Ibu kandungku. Meskipun dengan kondisi seperti ini. Ibu telah memperkenalkanku dengan orang tua yang baik. Yang merawatku dengan penuh kasih sayang. Kasih yang tidak bisa aku dapatkan dari Ibu kandungku.
“Terimakasih Ibu.” Kataku kepada Ibu kandungku.
Cerpen Karangan: Zellynne Sewar Blog / Facebook: Zellynne Sewar
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com