Itu adalah hari dimana aku semakin mencintai perjalanan hidupku. Aku yang dulunya selalu mengeluh dalam menjalani kehidupan sehari-hariku. Aku yang dulunya selalu ingin mati saja, berbaring dalam kubur mungkin lebih baik dalam perilaku kala itu. Hingga suara merdunya membuat aku semakin mencintai perjalan hidupku.
Musikalisasi karya Khoirul Triann menemaniku malam ini. Beberapa kali aku memutarnya tanpa jemu. Karyanya selalu menyentuh hatiku. “Mak, aku capek kayak gini terus. Hari-hari kuliah sambil kerja,” ujarku. “Kamu tidak boleh berbicara seperti itu, Nak,” sahut emakku sambil membelai lembut kepalaku. “Siang kuliah dan malam kerja, capek Mak,” ucapku sambil memelas.
Malam selanjutnya tangan-tangan mungilku lincah menyetrika pakaian orang. Aku bekerja sebagai tukang gosok baju orang dengan upah yang lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadiku. Hanya saja kadang lelah ini selalu mendera diri ini. “Mak, gini amat ya jadi orang miskin, apa-apa harus kerja dulu. Pegen beli ini itu harus kerja dan nabung dulu,” ujarku dengan wajah memelas. “Nak, kamu harus bangga menjadi orang miskin,” balas emakku dengan lembut. “Apa yang harus dibanggakan, Mak?” tanyaku. “Perjalan hidup orang miskin tidak akan dirasakan oleh orang-orang kaya. Orang kaya tidak akan merasakan gimana rasanya berjuang sebelum mendapatkan sesuatu. Orang kaya nggak tahu pahitnya perjuangan lalu disuguhkan oleh manisnya keberhasilan. Kebanyakan orang kaya lahir aja sudah tidur di atas uang,” ucap emakku panjang lebar.
Sambil termenung memandang langit yang cerah, aku teringat kata-kata emakku. “Yang pipih tidak datang melayang dan yang bulat takkan datang mengolek,” tutur emakku dengan lembut. “Maksudnya, Mak?” tanyaku. “Hidup harus diperjuangakan tidak mengharapkan nasib,” jawab emak dengan penuh makna.
Selesai menyampaikan sepatah dua patah aku bergegas turun dari podium. Dengan langkah tergesa-gesa aku menghampiri emak dan langsung memeluknya dengan air mata keharuan. “Selamat ya Nak, kamu berhasil meraih gelar sarjana dan cumloude,” puji emakku sambil mengelus kepalaku yang berbalut hijab. “Terimakasih Mak, sudah mendidikku dengan baik,” sahutku sambil terisak.
Semenjak emak menyemangatiku dengan nasihat-nasihatnya aku semakin mencintai perjalanan hidupku. Kini aku mengerti pepatah yang pipih tidak datang melayang dan yang bulat takkan datang mengolek, pepatah Melayu yang penuh makna. Aku harus berusaha sebelum medapatkan sesuatu. Aku harus memperjuangkan nasibku, biar miskin diawal tetapi akhirnya sukses. Jangan sekedar mengharapkan nasib. Allah saja mengatakan bahwa Dia tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum tersebut merubah nasibnya.
“Nanti pulang kita singgah di pasar ya, aku mau belikan emak mukena baru,” tuturku dengan lembut. “Terimakasih, Nak,” balas emakku. “Seharusnya aku yang berterimakasih berkat nasihat emak aku semakin mencintai perjalanan hidupku,” ucapku sambil memeluk emak dengan erat.
“Assalamu’alaikum, Nak,” panggil emakku diseberang telepon. “Wa’alaikum salam, iya Mak,” jawabku. “Udah sampai? udah dapat kontrakan? selamat?” emak memberondongku dengan banyak pertanyan. “Alhamduliilah udah sampai dengan selamat dan udah dapat kontrakan”. Aku akhirnya memilih untuk keluar kota mencari pekerjaan sekaligus mencari pengalaman. “Mak, tolong do’akan anakmu ini agar sukses di perantauan,” gumamku sehabis memutuskan panggilan dari emak.
Aku merapatkan jaket yang kukenakan dipagi ini, sesekali membetulkan hijab yang sedikit bergoyang diterpa angin. Mentari mungkin sedikit malu menampakkan diri. Aku menunggu ojek online untuk membawaku pergi ke sekolah dasar yang terkenal di kota ini untuk melamar pekerjaan. “Dengan Kak Nahda?” tanya tukang ojek. “Iya Pak. Tolong antar saya ke SD Kenanga ya Pak,” pintaku. “Siap Kak,” balas kang ojek.
Pekanbaru kota bertuah. Itu sepengkal kata yang akan menjadi ingatan setiap orang bila menginjakkan kakinya ke ibu kota provinsi Riau. “Assalamu’alaikum, permisi,” ucapku ketika tepat berada di ruang guru. “Wa’alaikum salam, ada yang bisa saya bantu?” tanya seseibu berbaju dinas. “Teman saya bilang di sini ada lowongan pekerjaan sebagai guru honorer.” Ucapku sambil menyerahkan beberapa berkas lamaran. “Maaf Kak, lowongan pekerjaannya sudah tutup karena sudah ada yang lebih duluan melamar pekerjaan di sini,” ucap seseibu yang membuatku kecewa.
Pagi ini seperti pagi-pagi yang sebelumnya, aku ke sana ke mari mencari pekerjaan di kota besar ini. Hidup sebatang kara di kota orang membuatku hampir menjadi gembel. Dengan uang yang pas-pasan dan modal nekad aku tetap berusaha mencari pekerjaan. “Aku kuat, aku pasti bisa,” pekikku dalam hati untuk menyamangati diri sendiri.
Hingga suatu hari air mata ini akhirnya lolos keluar dari pelupuk mataku. Hari dimana aku putuskan untuk menyerah terhadap nasib. “Copet … copet …” pekikku minta tolong. “Di mana pencopetnya Nak, kami akan membantumu mengejar copet itu,” balas sesebapak. Dengan napas yang ngos-ngosan aku dan bapak-bapak mengejar copet tersebut sayangnya si copet berhasil kabur. Kini hanya tinggal telepon di sakuku sebagai harta benda terakhirku dan beberapa uang receh yang tidak cukup untuk membayar kontrakan bulan ini.
Sejuk, aku menggigil kedinginan malam ini. Berbaring di emperan toko karena diusir dari kontrakan tadi siang. Uang recehku tidak cukup membayar kontrakan bulan ini. Sesekali air mataku keluar mengenang nasib diri ini. Gagal mendapatkan pekerjaan, dicopet, dan diusir dari kontrakan. Lengkap sudah kesialanku di kota ini. Setiap kali emak menelepon menanyakan kabarku aku akan berkata bahwa aku baik-baik saja. “Ijazah S1 yang kita banggakan kini tidak ada artinya, Mak,” gumamku disela isak tangis.
Aku menangis sejadi-jadinya, mata sayuku menatap tajam ke arah sungai. Aku kaget mendengar teleponku berdering dan ternyata emak yang menelepon. Telepon dari emak menggagalkan rencanaku untuk bunuh diri. “Assalamu’alaikum, Nak. bagaimana kerjaannya? bagaimana kabarmu? baik-baik sajakan?” tanya emak. “Sebenarnya aku gagal mendapatkan pekerjaan karena sudah ada yang duluan melamar pekerjaan tersebut. Sudah beberapa hari aku berusaha mencari pekerjaan tapi masih gagal. Sekarang aku menjadi gelandangan, Mak. Maaf kemarin aku berbohong soal diri ini karena tak mau membuat emak khawatir,” balasku dengan isak tangis. “Sudah hapus air matamu. Kamu masih ingatkan pepatah yang selalu mak ajarkan ketika kamu terjatuh dalam hidup? Kenapa kamu jadi lemah? Kemana anak emak yang tegar?” ucap emak dengan panjang lebar. “Yang pipih tidak datang melayang dan yang bulat takkan datang mengolek,” balasku. “Kamu masih ingat pepatah emak lantas kenapa kamu bisa selemah ini?” tanya emak. “Ujian hidup ini terlalu berat Mak. Aku tidak sanggup lagi,” balasku. “Pulanglah nanti emak menyuruh bibikmu menjemputmu. Jadilah anak gadis emak yang seperti dulu, yang mencintai perjalanan hidupnya.” Ucap emak dengan lembut.
“Aku sayang Bunda. Bunda dengan sabar mengajari aku membaca,” ucap anak kecil sambil menatap mataku lekat-lekat. “Bunda juga sayang kamu. Jadi anak yang pintar dan kuat ya,” balasku sambil memeluknya. “Iya, aku mau jadi wanita kuat seperti Bunda,” ucapnya.
Aku menghiasi rumahku dengan aneka bunga-bunga yang indah. Tak lupa aku juga menghiasinya dengan buku-buku khusus untuk anak kecil dan berbagai permainan. Aku memutuskan untuk membuka tempat bimbel untuk anak-anak sekolah dasar. Dari kejahuan aku melihat emak tersenyum melihat anak gadisnya kembali seperti dulu, menjadi gadis yang mencintai perjalanan hidupnya tak peduli sekeras apapun rintangannya.
“Yang pipih tidak datang melayang dan yang bulat takkan datang mengolek,” gumamku dengan pelan.
Tamat.
Cerpen Karangan: Junita Aprillia Blog / Facebook: Junita Aprillia / Pengagum Sajak