“Nak, Ibu udah kasih uang ke mbak Siti, nanti bakal ditransfer ke kamu. Jumlah uangnya 200.000, ditunggu ya, Nak,” ucap seorang ibu dengan lembut di telepon. “Inggih, buk,” jawab Agus dengan penuh harap di ruang peminjaman telepon pesantren pagi-pagi buta.
Karena sudah hampir dua jam uang belum juga ditransfer, dia menelepon ibunya lagi. “Buk, kok uangnya belum masuk?” “Mungkin mbak Siti lupa, nak. Coba Ibu tanyakan dulu,” jawab ibunya yang berusaha menenangkannya. “Inggih, buk.” Ekspresi wajahnya mulai kusut. Ia bersandar di tembok dengan tatapan kosong. Sudah dua hari ini dia tidak jajan. Maklum, dia masih santri baru yang belum bisa beradaptasi. Tidak jajan dua hari saja lidah terasa pahit.
Di sela-sela lamunannya, nada dering telepon mengagetkannya. Ternyata itu telepon dari ibunya. “Nak, uangnya udah ditransfer. Coba kamu cek ya, nak.” “Inggih, maturnuwun sanget, buk.” Agus senang sekali karena jatah uang untuk dua minggu di pesantren telah dikirim oleh ibunya. Dia pun meminta izin kepada pengurus pesantren untuk mengambil uang di ATM. Kebetulan memang jarak ATM dengan pesantren sangat dekat, sekitar 50 meter.
Kini, dia sudah tak murung lagi. Wajahnya yang mulanya kusut kini menjadi riang dan cerah. Kantong bajunya yang semula kosong kini sudah terisi dengan uang. Perutnya pun tak mau ketinggalan. Nasi pecel dan minuman dingin telah mengisi perutnya.
Terik mentari mulai menyengat tubuhnya. Pertanda dia harus istirahat, mengingat jam 1 siang dia harus punya energi yang cukup untuk kegiatan pesantren. Namun ketika dia baru sampai di asrama, temannya menagih utang sebesar 100.000 yang dia pinjam seminggu yang lalu. Alhasil uangnya kini tinggal setengahnya saja, itu pun sudah terpotong untuk membeli makan tadi.
Agus memang anak yang tak banyak pinta ke ibunya. Namun dia kurang bisa menghemat uang. Jatah uang yang seharusnya untuk dua minggu, kadang habis dalam waktu kurang dari seminggu. Mau nggak mau dia harus utang ke temannya agar tetap bisa makan dan beli keperluan. Kalau sudah tidak ada lagi yang mau diutangi, dia terpaksa makan sekali sehari. Dan tak jarang dia meminta kiriman uang lagi sebelum genap dua minggu.
“Buk, ngapunten uangnya sudah habis,” dia menelepon ibunya seminggu setelah dikirim uang. “Loh kok udah habis nak uangnya? Padahal kan itu jatah untuk dua minggu.” “Anu, buk. Kemarin untuk beli kitab sama pulpen baru.” Dia selalu mencari-cari alasan agar ibunya percaya. Walaupun dia memang benar-benar membeli kitab sama pulpen, harganya jelas tak mahal. “Nanti sore ya, nak. Soalnya pagi ini mbak Siti lagi keluar, jadi belum bisa melayani transfer.” “Oh iya buk nggakpapa.” “Uang untuk makan pagi ini masih ada, kan? Kalau habis utang dulu ya ke temennya buat makan pagi ini aja. Nanti dibayar pas udah dikirim.” “Inggih, buk.”
Ibunya tak pernah keberatan dengan permintaan dia. Setiap kali minta jatah uang kiriman pasti disanggupi oleh ibunya, meskipun belum waktunya mengirim. Dia menganggap ibunya punya banyak uang karena selalu menuruti permintaanya untuk mengirim uang lebih awal.
Hingga suatu saat ketika dia sudah lulus dari pesantren, ia secara tak sengaja mendengar obrolan ibunya dengan Mbak Jum, teman lama ibu Agus. “Denger-denger anakmu sudah lulus pesantren, ya?” Tanya Mbak Jum. “Udah, Jum. Baru sebulan ini.” “Wah. Beruntung banget punya anak yang mau mondok. Lah anakku, disuruh ngaji TPQ aja susahnya minta ampun,” celetuk Mbak Jum. “Aku kalau ingat anakku ketika di pondok, rasanya sedih dan kasihan.” “Kenapa?” Tanya Mbak Jum. “Aku sering telat mengirim uang ke anakku. Dia terkadang hanya makan sekali sehari karena aku telat mengirimnya uang. Ketika dia meneleponku untuk meminta uang kiriman, aku selalu bilang bahwa aku sudah memberikan uangnya ke Mbak Siti untuk ditransfer. Dan tak jarang aku bilang ke dia kalau Mbak Siti lupa mengirim uang. Padahal sebenarnya ketika itu aku sama sekali nggak punya uang, Jum. Aku benar-benar nggak memegang uang sepeserpun. Satu rupiah pun nggak ada.” “Mbak Siti itu biro jasa transfer yang deket rumahmu itu, ya?” Potong Mbak Jum. “Iya, Jum. Aku benar-benar bingung. Aku hanya bisa menenangkan dia dengan alasan-alasan yang kubuat, sambil aku mencari utang sana-sini. Pokoknya anakku nggak boleh tau kalau kondisi ekonomi keluarga sedang sekarat. Nanti dia bisa stress di pondok,” jawab ibu Agus. “Namun mahakuasa Allah pasti ada aja rezeki yang tiba-tiba datang ketika hari itu. Kadang tiba-tiba ada yang datang ke rumah memborong daganganku. Kadang juga ada yang pesan kue namun nitip uang duluan. Ketika sudah ada uang yang cukup, barulah aku kasih ke Mbak Siti untuk dikirim ke anakku,” terang ibu Agus.
Agus spontan meneteskan air mata. Agus benar-benar tak mengetahui bahwa selama dia mondok kondisi ekonomi keluarganya sekarat. Sedangkan dia boros dan suka menghutang ke temannya hanya karena ingin jajan lebih. “Ya Allah, ampunilah aku atas apa yang aku lakukan kepada ibuku. Aku menyesal. Aku berjanji tidak akan menyusahkan orang tua lagi ya Allah. Aku berjanji akan berusaha membahagiakan orangtua. Ya Allah, sayangilah kedua orangtuaku, berikanlah mereka kesehatan, lancarkanlah rezekinya, berikanlah mereka umur panjang agar mereka dapat melihat aku sukses di masa depan ya Allah.”
Cerpen Karangan: Moh Zainul Wafa Blog / Facebook: Waffa Al Zayn
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com