Rumah tua di sudut kampung itu tampak jelas tak terawat lagi. Bahkan dari rupanya sudah tampak tidak ada lagi orang yang menghuni rumah tersebut. Beberapa bagian kayu yang menopang rumah panggung itu sudah lapuk. Beberapa titik juga berlubang, menampakkan betapa gelap bagian dalamnya. Juga jendelanya yang keropos, tidak sempurna lagi bergantung di engselnya yang sudah berkarat dan hampir hancur. Hanya pintu depan rumah tersebut yang tampak masih kokoh, tertutup rapat dan terkunci dari luar dengan gembok yang juga sudah berkarat.
Awan melangkah pelan, melihat rumah tua tempat sang ibu membesarkannya dulu yang sudah tak sempurna lagi. Lihatlah atap sengnya yang bocor sana sini, terlihat jelas dari sinar matahari yang merambat masuk ke dalam lubangnya. Juga lantai papan rumah tua itu, sudah hancur, menampakan genangan lumpur di bawahnya karena air hujan yang mengendap semalam. Membuat Awan ragu untuk sekedar melangkahkan kakinya menaiki tangga rumah tersebut.
Hanya air mata yang bisa diteteskan Awan melihat rumah yang sudah ia tinggalkan sejak bertahun lamanya. Rasa sakit itu terasa menusuk dada, perih sekali rasanya, ibu yang dulu ia sayang, sekarang sudah tidak ada di rumah itu. Awan beranjak pergi, mencari tetangga terdekat untuk menanyakan kemana ibunya pergi. Laki-laki berusia hampir empat puluh tahun itu setengah berlari menapaki jalan setapak yang tidak pernah berubah sejak dulu.
Sekitar dua puluh tahun lalu, di rumah tua tersebut Awan dan ibunya berdebat hebat akan sebuah keputusan penting bagi laki-laki itu. Seorang perempuan bernama Jelita menjadi penyebabnya. Awan sungguh sangat mencintai gadis itu, sementara sang ibu tidak setuju dengan keinginan sang anak.
“Apapun alasan yang Kamu ucapkan, sampai kapanpun ibu tidak akan pernah merestui Kamu dengan perempuan itu, Wan,” ucap sang Ibu yang sore itu tengah sibuk menyulam kain di kursi tua menghadap jendela. Menikmati angin sejuk dari sawah yang luas membentang di samping rumah mereka. “Kenapa Ibu selalu saja egois seperti ini? Jelita itu hidupku, Bu, aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap Awan dengan emosi menggebu-gebu. Ibu Awan terdiam, menunduk melihat kain yang ia sulam. Matanya tampak berkaca-kaca, tapi hal itu mampu ia sembunyikan dengan tangannya masih lincah menyulam. “Jangan halangi aku dengan Jelita, Bu. Jangan pisahkan cinta kami,” pinta Awan dengan penuh harap sore itu. Berbagai upaya telah ia lakukan, berbagai kalimat sudah ia lontarkan, namun hati sang ibu masih saja keras, tak menerima gadis cantik primadona kampung itu sebagai menantunya. “Ibu sudah jelaskan berkali-kali, dia berasal bukan dari keluarga yang baik. Ayahnya itu pemabuk berat, terkenal pejudi di kampung ini. Ibunya juga pergi dengan laki-laki lain meninggalkannya dia dan ayahnya. Apa yang Kamu harapkan dari anak itu?” ucap sang ibu dengan rasa emosi yang berusaha ia kendalikan. Mata Awan memerah, penuh marah dan kesal. Ia tidak suka saat ibunya mengungkit hal tersebut.
“Jelita itu berbeda dengan ayah dan ibunya, Ibu tidak bisa menghakiminya sepihak seperti itu, dia anak baik, akhlaknya baik.” “Kamu ini buta?” bentak sang ibu yang tidak suka mendengar anaknya membela gadis itu, “kamu tidak lihat seperti apa dia berteman dengan laki-laki? kamu tidak lihat seperti apa dia berpakaian di luar sana? kamu tidak lihat seperti apa ia menghambur-hamburkan uang? berfoya sesuka hatinya, kamu hanya dibutakan oleh cintamu, AWAN!” ucap sang Ibu penuh penekanan. Awan menggeleng tidak terima. Ia menggigit bibir, tangannya terkepal kuat. “Ibu atau siapapun tidak akan pernah bisa menghentikan cinta kami,” jawab Awan yang tak mau mengalah pada kehendak sang ibu. “Ibu sudah memilihkan gadis baik untukmu, gadis yang bisa merawat dan menjagamu, gadis yang berakhlak dan yang bisa mendidik anakmu denganmu baik.” “CUKUP, BU!” potong Awan yang sudah mengerti arah pembicaraan sang ibu, “Ibu tidak perlu menjodoh-jodohkanku lagi dengan Ratna, anak tetangga yang selalu Ibu puji-puji itu. Jika Ibu tidak mau merestuiku dengan Jelita, maka aku akan pergi dari sini.” “Pergilah kemana pun Kamu mau, kalau perlu tak usah kembali ke rumah ini.” Sang ibu berdiri, menoleh kepada Awan dengan mata penuh amarah, “Kamu tak jauh berbeda dengan ayahmu. Hanya memikirkan dirimu sendiri, tanpa peduli bahwa hidupmu juga milik ibumu ini. Jangan pernah kembali lagi ke sini, sekali Kamu menikahi gadis itu, haram untuk kakimu melangkah masuk ke rumah ini, haram untuk kulitmu menyentuh kulitku.”
Awan ternganga, kaget mendengar ucapan ibunya yang begitu tegas seperti itu. Ah, Tuhan, dimana kasih sayangnya sebagai seorang ibu? kenapa begitu kejamnya ia mengutuk keinginan Awan? anaknya sendiri. Lihatlah mata sang ibu, tidak ada rasa takut, khawatir, apalagi gugup, hanya ada rasa amarah penuh emosi tak tertahan. Dulu ia juga seperti itu mengusir suaminya yang hanya bisa menjadi benalu dalam hidupnya.
Dia bukan wanita lemah, tapi wanita kuat yang tidak bisa ditindas oleh siapapun, apalagi anaknya sendiri. Ia besar dari kejamnya dunia, dibesarkan oleh ayah yang selalu berbuat kasar kepada ia dan ibunya. Setelah menikah, ia tidak ingin menjadi lemah, jadilah ia janda dengan seorang anak laki-laki setelah mengusir suaminya seperti sampah dari rumah itu, tanpa membawa sehelai pun pakaian dari rumah panggung tersebut.
Pada akhirnya Awan juga bernasib sama seperti sang ayah, dia keluar dari rumah panggung itu bak sampah, tanpa membawa baju sehelai pun selain yang ia pakai sore itu. Awan meninggalkan kampung halamannya, pergi merantau dengan membawa Jelita dari sana. Mereka memulai hidup baru dari titik terendah hidup mereka. Tanpa memiliki apapun dari kampung, bermodal uang seadanya—karena keluarga Jelita pun juga tidak merestui hubungan mereka. Jadilah mereka melarikan diri dari kampung tersebut.
Namun apa yang diharap tak kunjung didapat. Hidup mereka tak kunjung berubah, bertahun-tahun berumah tangga, ekonomi mereka selalu seret, tempat tinggal pun juga berpindah-pindah karena tidak mampu membayar biaya sewa. Semakin hari, keadaan semakin memburuk, Awan kehilangan anak satu-satunya yang menderita sakit parah dan tak mampu dibawanya berobat.
Nasib buruk tak kunjung berhenti menerpa Awan. Istri yang amat ia cintai juga sudah tidak tahan dengan kehidupan mereka. Jelita pada akhirnya meninggalkan Awan, pergi dengan laki-laki lain yang jauh lebih mapan dari suaminya. Jelita itu gadis cantik, primadona kampung, takkan sulit baginya untuk menarik perhatian laki-laki, apa lagi jika dia sudah sedikit berdandan, memakai pakaian yang memamerkan keindahan tubuhnya, jangankan pegawai biasa, sampai manajer dan direktur pun akan terpana memandang gadis itu.
Pada akhirnya, Awan harus mengalah pada nasib. Uang tidak ada, anak meninggal dan istri juga direbut orang. Sakit dan luka akibat pengkhianatan Jelita membuat Awan benar-benar hancur dalam hidupnya. Jadilah ia mengumpulkan uang, modal untuk kembali ke kampung halaman, mengadukan perih dan kejamnya dunia ini kepada ibu yang dulu ia kecewakan.
Laki-laki itu sekarang sudah sampai di ujung jalan. Ada rumah panggung tua yang masih kokoh berdiri disana. berhalaman luas dengan rumput paku yang menghijau. Juga bunga-bunga indah yang mekar berwarna. Awan menarik nafas, memberanikan diri untuk memasuki pagar rumah itu. Keluarga itulah yang paling dekat dengan ibunya, setiap ada apa-apa, sang ibu pasti akan kesana untuk bercerita dan mencari solusi dari setiap masalah.
Disana tampak seorang perempuan cantik tengah mengajari anaknya berjalan, dibantu oleh anak pertamanya yang memberi semangat kepada sang adik yang tampak amat ceria untuk belajar. Awan menelan ludah melihat pemandangan itu, teringat pada anaknya yang begitu cepat dipanggil Tuhan. Ah, entalah, sekarang laki-laki itu malah berpikir, kenapa dulu ia tidak menuruti keinginan ibunya untuk dijodohkan dengan perempuan itu? apa karena dulu perempuan itu masih bersekolah sehingga Awan hanya menganggapnya bocah ingusan?
“Cari siapa, Bang?” tanya seseorang yang seketika membuat Awan memutar badan. Ia melihat seorang laki-laki dengan kulit kuning langsat, berambut pendek dan berhidung mancung. Baru kali ini ia melihat laki-laki itu di kampung tersebut. “Oh, maaf, aku mau bertemu Ratna,” jawab Awan. “Ada perlu apa dengan istriku?” tanya laki-laki itu yang seketika membuat Awan menelan ludah. Awan berusaha tersenyum hangat, “Aku ingin menanyakan sesuatu tentang rumah yang di belakang.” Laki-laki itu mengangguk paham, ia memanggil Ratna yang seketika membuat gadis itu menoleh kepada Awan dan suaminya. Segera Ratna menggendong anak bungsunya, kemudian mendekati Awan yang masih berdiri di dekat suaminya. Ratna memberikan si bungsu kepada suaminya, kemudian ia mengajak Awan untuk berbicara di teras rumah.
Sore yang indah menemani Awan dan Ratna, bersamaan dengan angin sejuk yang menerpa tubuh mereka. Juga matahari sore yang tidak terlalu panas, cahaya kuningnya terlihat jelas menerpa pekarangan rumah Ratna yang tertata rapi. Sementara suami Ratna dan dua anaknya terdengar tengah bergurau menonton televisi di dalam, menikmati sore dengan suasana yang berbeda.
“Keluarga kecilmu tampak amat bahagia, Rat,” ucap Awan berbasa-basi. Ratna hanya mengangguk. “Untuk apa Abang kembali ke kampung ini?” tanyanya yang langsung pada topik pembicaraan mereka. “Aku mencari ibu, Rat. Tapi tadi aku ke rumah, sepertinya ibu tidak tinggal disana lagi.” “Ibu sudah pindah, Bang,” jawab Ratna dengan singkat. “Pindah kemana, Rat?” Ratna menggeleng pelan, tidak ingin menjawab pertanyaan Awan. “Kamu pasti tahukan, Ibu pindah kemana?“ desak Awan kepada Ratna. Ratna masih bungkam, matanya memandang jauh pada orang-orang yang sibuk pulang dari sawah di jalanan.
“Rat!” desak Awan lagi seraya memegang tangan gadis itu. “Pindah ke alam lain, Bang,” jawab Ratna yang seketika membuat Ardan menelan ludah, “Ibumu sudah meninggal, dia tidak ada lagi disini.” “Nggak, Rat, saat aku pergi, Ibu masih sehat-sehat saja, sekarang pun usianya pasti baru lima puluh tahunan, dia tidak mungkin meninggal, Rat. Kamu pasti berbohong kan?” ucap Awan yang tidak mempercayai pengakuan Ratna. “Beberapa tahun lalu ibumu sakit parah, tidak ada yang tahu dia sakit apa, karena beliau masih sering keluar rumah dan tampak sehat-sehat saja. Tidak ada yang merawatnya di rumah, tidak ada yang membawanya berobat, dia pun tidak pernah bercerita apapun kepada kami di rumah ini. Saat kami tahu, semuanya sudah terlambat, kondisi ibumu sudah parah, dia meninggal seorang diri di rumahnya.”
Tiba-tiba saja dada Awan terasa bergemuruh, sesak disana, hatinya terasa amat perih. Air matanya keluar tanpa bisa ia tahan. Ia menggeleng, menolak kenyataan itu. Ah, Tuhan, andai saja ia tidak pergi, mungkin sekarang ia akan hidup bahagia bersama ibunya, Ratna dan anak mereka. Tapi kenyataan takdir memiliki jalannya sendiri.
“Kamu bohong, Rat.” “Bohong atau tidak, itulah kenyataannya, dia menanggung semuanya seorang diri karena anak yang ia miliki lebih memilih perempuan lain.” Awan terdiam sejenak, itulah kenyataan pahit dari keputusannya yang amat egois dulu. Seolah menganggap Jelita adalah segalanya untuk hidupnya.
“Dimana makamnya, Rat?” tanya Awan yang berusaha menahan rasa sedih dan luka hatinya. Kenyataannya, derita hidup itu masih belum berhenti menerpa dirinya. “Maaf, Bang. Sebelum meninggal, ibumu berpesan agar kami tidak memberi tahumu dimana ia dimakamkan. Katanya haram untukmu melihat tempat peristirahatan terakhirnya.” Awan tertegun, air matanya terus mengalir, pada akhirnya ia tidak bisa menahan tangis.
“Kamu terlalu egois, Bang. Kamu lupa bahwa hidup yang kamu miliki juga merupakan milik ibumu, dia yang menyimpan sejuta harapan saat mengandung dan melahirkanmu, tetapi kamu begitu mudah memilih perempuan lain daripada dirinya. Tapi aku sendiri mensyukuri keputusanmu, Bang. Aku bisa terbebas dari perjodohan kita dan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik darimu. Laki-laki yang tidak egois dan membawa sejuta kebahagiaan untuk hidupku.”
Untuk kesekian kalinya Awan harus mereguk rasa bersalah dan sakit di hatinya. Ia melihat kepada Ratna yang tampak tersenyum melihat cahaya di langit sore yang menguning. Entah kemana ia harus mencari makam sang ibu, meminta maaf atas kesalahan yang dulu ia lakukan.
Cerpen Karangan: Sukma Blog / Facebook: Sukma Putras
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 16 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com