Terik matahari begitu pekat pada cerahnya hari ini. Tapi, aku berlari menuju rumah yang sudah ramai dipenuhi warga atas kepulangan ibuku dari rumah sakit. Sebenarnya aku tak pernah tau apa yang dialami Ibu sehingga Ibu harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.
Setelah kepulangan Ibu ke rumah. Entah mengapa rumahku selalu dikunjungi kerabat kerabatku dengan kepentingan menengok Ibuku. Setelah kepulangan Ibu. Ibu selalu terliat lemah terbujur kaku diatas kasur tipis di salah satu kamar yang langsung bersentuhan dengan lantai. Sesekali kubantu Ayah untuk merawat Ibuku menyuapinya atau hanya sebatas memberikan bantuan bantuan kecil padanya karena waktu itu usiaku masih terbilang sangat kecil.
Bulan demi bulan. Siang berganti malam. Hingga masalah di rumahku belum juga usai. Semakin hari bukan kondisi ibu membaik tapi malah ibu semakin lemah kondisinya semakin mengkhawatirkan. Langkah kaki ke sekolah malah terasa hampa dan semakin tak menarik. Waktu istirahat bukannya aku bahagia bisa bermain tapi malah membuat hati tambah terluka Ibulah yang selalu ada di pikiranku apalagi setelah Ibu pergi dibawa ke kota besar untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Aku bahagia tapi takut jika nanti ibu pulang hanya tinggal nama saja. Ibu pamit denganku sambil tersenyum lebar menguatkanku bahwa ibu pasti akan kembali.Tapi, tidak dengan pikiranku air mata perlahan mulai menetes di hamparan batu batu kerikil kasar.
Tapi kini aku sudah bersama Ibu kembali. Tinggal kembali satu atap dengan Ibu. Dan kembali membantu Ayah merawat Ibu betapa bahagianya aku. Satu kebahagiaan kuambil maka satu kebahagiaan pula kulepaskan. Dan kalian tau? Satu kebahagiaan yang kulepas adalah mimpi di masa depan. Pendidikan aku lepaskan demi merawat Ibu. Aku berhenti bersekolah dan menyusul Ibu ke kota. Entah bagaimana masa depanku nanti. Kini ketika aku bisa bersama ibu aku malah tak sekolah. Tak tau bagaimana cara aku bisa bersekolah kembali. Tak tau apa jadinya nanti jika Ibu harus aku tinggalkan. Tak tau bagaimana jika saat sekolah nanti akan terjadi sesuatu pada Ibuku. Tak tau apakah nanti teman teman baruku akan menerimaku. Itu semua berputar dari benakku.
Di sela sela waktuku kini menemani Ibu yang lama kelamaan membuatku bosan. Aku sering bermain di warung depan kontrakan Ibuku. Awalnya Aku hanya berniat jajan saja. Tapi, lama kelamaan aku mulai merasa nyaman dengan lingkungan itu sehingga aku sering berada di sana. Sesekali Ibu pemilik warung mengajakku mengobrol, dia juga mengenalkan anaknya padaku seorang anak perempuan usianya mungkin diatasku walau begitu sifatnya begitu baik dan manis oleh keramahannya. Dan mulai dari waktu itu aku mulai berteman baik dengannya. Bagiku Ia seperti kakakku. Bermain bersamanya juga sebagian cara untuk melipur rasa sakit yang kusimpan sejak Ibu sakit.
Hujan tak pernah luput membasahi genangan air maupun danau danau kecil yang tak begitu besar dengan berawalnya air hujan tapi setidaknya tanpa bendungan kecil itu tak akan ada air yang terbendung dan menjadikannya hujan. Keadaan Ibu belum saja membaik. Lama lama aku bosan dengan suasana ini. Sempat aku menyesali keputusanku untuk berhenti bersekolah karena aku tak tau harus mengisi kegiatan apa sambil menunggu Ibuku sembuh. Bosan memang kegiatanku hanya begitu begitu saja. Mungkin, secara garis besar hanya menunggu Ibu di rumah kontrakkan atau menemani ibu ke rumah sakit untuk mengecek kondisinya atau malah duduk terdiam di ruang tunggu ketika Ibu sedang di Kemo.
Aku terkadang bermain mengelilingi rumah sakit melepas rasa jenuh yang lama kelamaan menumpuk di kepalaku. Menahan bau obat yang terkadang pekat tercium oleh hidung kecilku. Kututup dengan masker untuk sebatas menahan bah pekat itu atau melindungi dari virus yang dibawa oleh para pasien yang sakit. Aku juga terkadang lebih memilih main di warung di depan rumah kontrak itu untuk hanya sekedar jajan atau menonton TV disana dan terkadang aku membantu ibu pemilik warung untuk melayani para pembelinya. Pemilik warung itu juga selalu tak keberatan dengan kehadiranku. Dan kini hampir sebagian waktu hari hariku berada di warung ini.
Sesempurna Apapun kita menutupi rahasia sebesar apapun pula kemungkinan rahasia itu akan terungkap. Ibu mulai mengerti bahwa aku terlihat bosan dengan suasana ini. Ibu juga terlihat tak tega melihat aku sudah cukup lama tak bersekolah. Ia takut jika nanti aku akan kesuliatan mendapatkan masa depanku. Tapi Ibu juga tak tau harus bagaiman caranya surat surat tentangku memang lupa tak dibawa oleh ibu dan menjadi salah satu hambatan untuk Ibu mendaftarkan ke sekolah baru. Kebiasaanku yang mulai nyaman dengan hanya bermain di warung depan kontrakan pun terkadang membebani pikiran Ibuku karena takut atas kebiasaanku untuk bebas bagaimana jika nanti aku harus kembali ke sekolah akankah aku bisa menerimanya. Tapi Ibu juga tak bisa melarangku karena takut malah membebaniku.
Ibu tetaplah Ibu yang memikirkan masa depan anaknya walau sedang sakit. Disela sela pengobatannya, hingga harus menjalani kemo yang menurutku itu bukan hal kecil. Ia sesekali menghubungi keluarganya meminta untuk memberikan saran tentang aku dan sekolah. Karena mungkin pendapat Ayah belum membuat Ibu puas karena sifat Ayah yang cenderung pasif.
Betapa besarnya usaha Ibu. Hingga sebuah kabar mulai terdengar di telingaku. Aku akan kembali ke kota asalku dan bersekolah kembali, betapa bahagianya aku. Aku kala itu seperti sedang bermimpi indah. Tapi, di hati kecilku ada sedikit kekhawatiranku tentang Ibu. Entah bagaimana perassaan Ibu ketika aku harus meninggalkannya. Bagaiman jika nanti aku sedang asyik dengan dunia sekolahku Ia harus tiba tiba pergi tanpa hadirnya aku di detik terakhirnya.
Sore itu, langit begitu damai cerah. Dengan sentuhan lembut angin yang perlahan mengenai kulit lembutku. Aku sedang bersiap dibantu Ibu merapihkan baju baju untuk kembali ke kotaku melanjutkan sekolahku yang cukup lama kutinggalkan. Keputusan memang belum cukup kuat tapi aku sudah menyetujui tawaran saudaraku untuk kembali, Ia bawa aku ke kotaku yang dulu. Perasaanku bahagia terlepas dari jenuhnya menunggu kesembuhan Ibu. Tapi, tidak dengan hati kecilku yang berusaha menolak keputusanku. Namun, wajah tegar dan ikhlas Ibu sudah membuatku luluh menguatkan keraguan yang ada dalam diriku.
Diantarnya aku oleh Ibu dan Ayah hingga depan gerbang. Terlihat Ibu yang duduk terpaku di atas kursi rodanya. Berusaha tegar dengan kepergiaanku. Tapi wajah Ibu tak bisa berbohong seakan wajahnya berkata ‘aku tak kuat melepaskanmu nak’ perlahan air matanya menetes di pipi coklatnya yang mulai gosong atas pengobatannya. Aku menangis tak kuat melihat Ibu yang jauh menangis lebih dulu. Ayak memelukku aku juga tak kuat menahan hangatnya pelukan Ayah yang juga berusaha menguatkanku.
Kutatap kembali Ibu secara perlahan. Hati ini seperti terus memberotak menolak kepergianku meninggalkan Ibu. Dan akhirnya aku meminta maaf pada Ibu Ayah dan saudaraku jika aku belum sanggup meninggalkan kota ini dan Ibuku. Keputusan ini memang mengecewakan tapi aku tak mau jika nanti saat aku sekolah aku hanya memikirkan Ibu. Melupakan semua pelajaranku dan mengingat selalu tentang Ibu.
Kini aku tetap dengan kebiasaanku. Menunggu Ibu, dan sesekali bermain ke warung depan rumah. Aku terkadang merasa iri dengan kebahagiaan anak anak lain yang bisa sekolah dan diantarkan Ibunya ke sekolah. Kuikhlaskan kini pendidikanku untuk merawat Ibu. Ibu seperti menyalahkan dirinya atas aku yang lebih memilih merawat Ibu dari pada pendidikanku. Ibu aku berjanji jika nanti kondisi Ibu sudah memungkinkan aku akan kembali bersekolah dan berusaha membuat kehidupan keluarga lebih cerah. Semoga Ibu lekas sembuh. Aku sangat mencintai Ibu.
Cerpen Karangan: Maklaaus Blog / Facebook: Munifah ria putri
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com