Aku membuka mataku setelah berjam-jam aku menutupnya. Hal pertama yang aku lakukan adalah mensyukuri bahwa hari ini aku masih bisa bangun pagi, pertanda aku masih hidup. Hari ini mendung. Sepertinya alam pun mengerti kegundahan hatiku. Aku mengkerdip-kerdipkan mataku di depan jendela kamar untuk melihat pemandangan di depanku dengan lebih jelas, hingga aku mendengar suara, “Rayna, sudah bangun? Mari turun ke bawah nak, kita sarapan bersama”. Suara itu seperti sihir yang menggerakkan kakiku segera ke arah sumber suara.
Hai, aku Rayna Jacquline. Aku berusia 17 tahun. Masih bersekolah, memiliki seorang adik laki-laki, tinggal bersama ibu kandungku, tanpa ayah. Jika kau ingin tau, “ayah” kerap kali menjadi alasan mengapa aku terlihat muram.
Aku sampai di meja makan, disambut oleh senyum hangat ibu. Aku kagum dengan guratan senyum ikhlas di bibirnya itu, senyum yang bisa melepas secuil beban anak remaja seperti aku. Diam-diam aku memandangi ibuku, mengaguminya, sampai mataku mulai memanas dan air mataku mendesak keluar karena rasa haru akan perjuangannya seorang diri untuk membesarkanku dan adikku beberapa tahun terakhir ini setelah ayah tiada.
“Hey, mengapa kamu menangis?”, jerit ibu ketika melihat air mataku meleleh dengan derasnya. “Ah tidak apa apa, Ma. Mungkin kelilipan” kataku berbohong sambil menyeka air mataku. Ibu menatapku ragu sedangkan adikku tidak peduli dengan situasi itu. Ia terus saja makan.
Setelah makan dan membereskan rumah, aku membongkar album foto dan membuatku larut didalamnya.
Flashback 13 tahun yang lalu. “Ayo nak kayuh terus pedal sepedamu, jaga keseimbanganmu, tidak usah takut, Papa menjagamu dari belakang” kata seorang ayah kepada anaknya. Anak kecil itu sedang mencoba mengayuh sepedanya yang baru saja dicopot roda kecilnya, ia sedang mencoba bermain sepeda roda 2. “Eehhh… Aaaaaaaa.. aawww!!!” anak itu menjerit karena ia malah jatuh ke selokan. “Huhuhuhuhuhu…” anak itu menangis kesakitan. “Tidak apa apa nak, jatuh saat bermain sepeda adalah hal biasa. Mari kita pulang untuk mengobati lukamu, besok kita pelajari lagi ya” kata ayah menenangkan.
Aku ingat, aku pernah terjatuh saat bermain sepeda, dan sosok ayah lah yang ada disana. Ia menenangkanku dengan suara baritonnya, mengangkatku dengan penuh cinta tulus, dan sungguh… Aku merasakan bahwa didalam hatinya yang paling dalam ia tak ingin menyakiti gadis kecil yang ada di pelukannya
Aku ingat dengan jelas bahwa ayahku adalah seorang pekerja keras. Ia tak kenal lelah untuk menafkahi anak dan istrinya. Ia sangat menyayangi ibuku serta kami anak-anaknya. Ia pandai memasak dan tidak banyak neko-neko.
Aku ingat bagaimana ekspresi harunya ketika mendaftarkanku masuk ke sekolah dasar terbaik di daerahku. Matanya berbinar dan ada kebanggaan karena anak gadisnya bisa masuk sekolah yang bagus. Ia lebih bangga ketika aku meraih peringkat 1. Air mukanya yang lelah bekerja seakan sirna melihat anaknya meraih peringkat 1, ia begitu gembira sehingga saat itu ia langsung memberi tahu ibu via telepon.
Tutur katanya sopan, baik, teratur, dan menenangkan, tatapannya teduh. Ia adalah sosok yang tenang dan ia tidak mudah mengekspresikan rasa cintanya, tetapi lewat tindakanlah kami melihat cintanya. Sungguh, aku beruntung dan bahagia memiliki ayah yang seperti itu.
Aku, ibu, dan adikku mencintainya begitu dalam. Aku ingin bersama ayah, ibu, dan adikku ketika aku nanti wisuda, acara pernikahanku, bahkan ketika aku melahirkan anakku sendiri. Tetapi takdir berkata lain. Ayahku dipanggil oleh-Nya begitu cepat, ketika aku dan adikku masih duduk di sekolah dasar. Ayahku menderita kanker otak dan nyawanya tak tertolong… Keadaan ekonomi kami pun sangat memburuk.
Apakah kalian tau, bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga?? Ibuku begitu bersedih, kami semua bersedih, menyaksikan kepergian seseorang yang benar benar kami cinta, meninggalkan pilu yang membekas hingga detik ini, setelah 7 tahun kepergiannya dari kami semua..
Ia begitu berkesan di hati kami, tetapi ia harus menjawab panggilan takdirnya. Meninggalkan keluarga kecilnya yang sedang meraung-raung memanggil namanya setelah dirinya pergi.
Tanpa sadar, aku menitikkan air mataku di album itu. Hatiku rasanya perih sekali, mengingat kenangan manis itu. Kenangan yang tak bisa kuulangi lagi Harapan-harapanku untuk membahagiakan ayahku tampaknya tinggallah harapan, karena ayahku sendiri pun sudah bahagia di alamnya yang baru.
Kulihat lagi ibuku, yang sedang bermain ponsel di ruang tamu. Muncul dalam hatiku untuk membahagiakan hatinya dan membuatnya bangga di kemudian hari. Aku sangat rindu ayahku, sangat.
Aku akan melampiaskan kerinduan ini untuk membahagiakan ibuku karena dialah hartaku yang paling berharga dan aku ingin ayahku bangga melihatku dari atas sana. Aku ingin ia melihat, anak gadisnya bisa setegar dan sekuat ini berkat didikannya.
Ayah, aku rindu.
Cerpen Karangan: Arlin Ananda Ginting Munthe Blog / Facebook: Arlin Ananda Ginting Aries Girl
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com