“Kamu jadi bekerja di Samara?” tanya Ibuku. “Iya.” jawabku. “Sukur alhamdulilah, ya Sar.” Ibu sangat senang saya dapat pekerjaan. Ibu tak ingin aku terlalu lama menganggur, malu dibilang yang tidak tidak oleh tetangga.
Sejak lulus SMA saya rajin memasukkan lamaran pekerjaan. Tidak kurang dari sepuluh lamaran saya masukkan ke PT atau toko yang membuka loker. Hanya saja mungkin belum beruntung, tidak ada panggilan kerja untuk saya. Dari proses pencarian pekerjaan saya yang tidak gampang itu, saya jadi sadar, mencari pekerjaan itu ternyata tidak mudah. Wajar bila Darmun temannya, dia menganggur terlebih dulu selama 4 tahun setelah lulus dari SMA.
Ibu ingin agar aku istiqomah kerja di toko itu. Kalaupun pindah tempat, yang penting jangan jauh-jauh dari tempat tinggal. Ia tak ingin jauh dariku. Wajar keinginan ibu yang semacam itu, karena aku anak mbontot, tiga saudaraku sekarang sudah berkeluarga dan sekarang dibawa suami ke luar jawa sana. Mereka sudah berumah tangga di sana.
Ayah meninggalkan ibu lima tahun lalu. Ia menjadi korban puber ketiga ayah. Ia menikah lagi dengan perempuan janda teman kerjanya di Jakarta. Ibu sangat muak sekali dengan suaminya itu. Sikap suaminya tidak bertanggung jawab. dengan sikap suaminya yang kawin lagi itu membuat ibu menjadi sangat benci kepada laki-laki. Ia anggap semua laki-laki memiliki sifat seperti suaminya. Ia berjanji tidak mau kawin lagi. Takut disakiti lagi. Padahal Ibu pada saat itu masih muda, masih banyak laki-laki yang karep dengannya, saya sering menyarankan ibu menikah lagi jika masih ingin. Agar kebencian kepada laki-laki lenyap, saya mengingatkan kepadanya bahwa tidak semua laki-laki berhati jahat seperti ayah, ada laki-laki yang berhati baik. Namun ibu tetap memilih hidup sendiri dengan anak-anaknya.
Setelah bekerja sudah satu bulan sayapun menerima gaji. Nilainya cukup lumayan buat makan di desa bersama ibu tercinta, dan sisanya untuk tabungan masa depan. Hatiku diselimuti rasa senang. Dari gajiku itu rencana yang terbersit dari pikiranku adalah memberi sedikit uang kepada Ibu. Pasti Ibu akan merasa bangga dengan pemberianku ini.
“Ini sedikit uang buat ibu..” kataku. Ibu dengan tersenyum berkata, “ini uang apa ndok?” “Uang gajian kerjaku bu. Saya pingin memberi ibu.” “Oalah ndo.. ndo tidak usah repot-repot. Uang pemberianmu ini saya terima, ya. Tapi untuk besok tidak usah. Uangnya kamu tabung saja yah. Buat persiapan menikah besok.” “Uang yang untuk tabungan sudah.” “Ya sukur. Kamu harus rajin menabung. Supaya masa depanmu tidak repot seperti ibu.”
Ibuku memang tidak seperti ibu-ibu lainnya. Hatinya lembut dan penuh bijaksana. Kebanyakan ibu jika diberi uang anaknya ia akan senang menerima, namun ibunya tidak. Malah justru menyuruhnya supaya menabungnya untuk masa depannya. Gajian berikutnya ibuku tidak diberi uang. Yang diberikan olehku ialah baju batik baru. Baju ibuku sekarang banyak yang sudah terlihat lusuh. Saya tidak ingin ibu terlihat buruk, bahkan seperti orang-orang yang ada di perempatan jalanan sambil membawa batok atau kaleng, meminta-minta pada pengguna jalan.
Saya juga tidak ingin dianggap sebagai anak yang tidak mau perhatian dengan ortunya. Apalagi ortu yang tinggal satu-satunya itu. Apa kata tetangga-tetanggaku dan teman-temanku nanti jika melihat pakaian ibu yang sudah lusuh. Pasti memalukan!
Dulu saat saya masih sekolah wajar ibu berpakaian lusuh, karena ibu harus banyak prihatin karena banyak uang yang harus ibu gunakan untuk biaya sekolah. sekarang saya sudah lulus sekolah. Sudah tidak ada uang SPP sekolah, uang buat jajan buat naik colt ke sekolah dan lain-lain. Apalagi saya juga sudah bekerja meskipun hanya sebagai kasir di toko depan rumah.
“Ibu ini saya belikan baju buat ibu, biar ibu terlihat bagus dan cantik.” Kataku. “Kamu beli baju batik ini dimana ndo? Bagus sekali?” “Di pasar bu.” “Ini baju kamu beli berapa?” “Murah, hanya seratus ribu bu.” Wajah Ibu mendadak terlihat menunjukkan rasa tidak sumringah dengan baju batik yang baru saja belikan untuknya. “Memang kenapa bu..? Ibu tidak suka dengan modelnya? kalau tidak suka biar besok saya tukar dengan model lain yang ibu suka.” “Bukan ibu tak suka dengan baju ini. Ibu sangat senang. Hanya saja harganya kok terlalu mahal buat ibu. Ibu takut nanti kamu tak bisa menabung …” Ibuku mengingatkan lagi soal tabungan padaku. “Nggak usah khawatir ibu, saya masih bisa menabung kok.” “Betulkah itu?” Saya mengangguk. Wajah Ibu kembali terlihat sumringah. Batik baju pemberianku kini berada di tangan ibu. Hati saya begitu gembira melihat tangan ibu menerima baju pemberianku itu. Harapan saya baju itu nanti dipakai olehnya.
Satu bulan lamanya baju batik yang dibelikan anaknya masih tersimpan di almari. Bungkus plastiknya belum dibuka. Ibuku entah mengapa belum mengenakannya. Saat kondangan terakhir di Ibu Ida, ia masih memakai baju kesukaannya yang sudah tidak bagus itu.
“Baju barunya mana bu?” “Di lemari.” “Kok tidak dipakai?” “Besok makainya kalau baju ini sudah rusak…” Tangan ibu menunjuk ke baju yang masih melekat di badannya. Baju itu sudah terlihat rusak, warnanya hampir pudar semua. “Baju yang rusak itu seperti apa sih, bu?” “Yah begitulah…” “Baju itu sudah tidak pantas dipakai. Ibu kalau memakai baju itu kaya para peminta di pasar itu loh..” “Hehe… biarlah baju ini kamu anggap jelek. Tidak peduli. Saya sangat suka. Saya belum ingin menggantinya.” “Lha memanngnya kenapa? Apakah baju tersebut memiliki kenangan indah?” “Baju ini dibeli dari gajianku pertama saat kerja di pabrik dulu.” “Ini sudah jelek. Ganti yang baru yah.” Saya membujuknya. Ibu menolak keinginan saya, bahkan Ibu menyuruh saya balik untuk mengambil kembali baju pemberiannya itu jika terus menerus menyuruh memakainya.
Ibu meninggalkan saya, lalu mengambil baju yang tersampir di samping rumah. Baju biasanya yang ia gunakan saat ke sawah. Ibu hari ini akan pergi ke sawah. Ada banyak hal yang harus ia lakukan setelah sawahnya barusan ditanami padi. Meskipun sudah terlihat cukup tua, ibuku masih cukup tangguh untuk nyawah. Dari nyawahnya inilah saya dan ibu saya bisa makan tanpa harus dengan nempur (beli beras).
“Itu nasinya nanti dimakan yah. Kamu jangan malas makan Ri. Ingat penyakitmu nanti kambuh. Kalau kambuh ibumu jadi repot.” “Iya Bu.” Gajian berikutnya saya kembali membelikan baju baru buat ibu, dengan harapan Ibu menjadi iba dan memakainya. Hampir setiap gajian pasti saya menyisihkan uang untuk beli baju buatnya. Hingga baju-baju yang aku beli itu sudah begitu banyak di almari. Namun ibuku tetap belum mau mengenakannya, ia masih suka dengan baju lamanya.
Dalam beberapa hari ini soal baju lusuh ibu itu terus menghantui benak pikiranku. Baju bagus nan baru yang dibelikan itu sudah banyak bertumpuk di almari. Tapi itu semua belum membuat hati ibu meninggalkan baju lamanya yang sudah jelek dengan menggantikannya yang baru dari pembelianku.
Terlintas muncul pemikiran untuk menyingkirkan baju-baju lama milik ibu. Baju itu harus disingkirkan supaya ibu mau berubah dalam berpakaian. Saat baju ibu dijemur di samping rumah, baju-baju yang sudah jelek itu saya ambil dan membuangnya. Begitu pun baju-baju lama yang tersimpan di almari. Saya ambil juga lalu membuangnya.
“Ri.. sari… baju ke mana ya?” tanya ibu. “Yang mana?” “Yang biasa kamu katakan jelek itu.” “Tidak tahu bu.” “Tadi siang masih ada di jemuran kok. Masa hilang.” “Barangkali ada yang mencuri.. bu?” “Ah, baju jelek begitu masa ada yang mau mengambil. Disembunyikan kamu yah?” “Tidak.” Saya terpaksa berbohong.
Ibu menangisi baju kesayangan. Saya menjadi iba kepadanya. Tak habis pikir bila ibu betul-betul sangat kecewa dengan bajunya itu meskipun sudah sangat buruk. “Jangan sedih bu. Tuh di almari masih banyak baju.” “Pasti kamu yang menyembunyikan ya Sar.” Tiba-tiba ibu melempar tuduhan kepada saya.
“Dimana, cepat kembalikan.” “Sari tidak tahu.” “Jangan bohong.” “Awas kalau kamu buang Sar. Baju kamu juga nanti saya buang.” Ancamnya. Ancaman ibu cukup membuat saya terdiam. Rasa khawatir menyelimuti perasaanku dengan ancaman ibu yang akan membuang semua bajuku. Ngeri. Tidak disangka ibu akan menjadi marah seperti itu, hanya gara-gara bajunya saya sembunyikan.
Keesokkan harinya saya mencoba membawakan baju baru buatnya. Baju itu cukup bagus. Dan masih baru. Bungkusnya masih belum dibuka. “Ibu tidak usah meratapi baju-baju itu. Anggap saja sudah hilang. Ni, Sari bawakan yang baru dan bagus buat ibu.” Kataku. “Ibu tidak butuh baju baru. Butuhnya baju itu. Ayo cepat kembalikan!” “Saya tidak tahu.” saya masih menutupi.
Ibu kemudian bertindak seperti anak kecil. Seluruh pakaian yang ada di almari milikku ia buang. Saya hanya bisa terdiam dan pasrah melihat tingkah ibuku itu. Kini pakaianku tersebar berantakan di lantai.
“Jika esok tidak kamu kembalikan, bajumu saya bakar loh Sar.” ancam ibu. Matanya sedikit melotot. Saya pun menjadi takut dengannya. Tidak ingin kemarahan Ibu terus berlanjut, esok harinya baju-baju kesayangan ibu saya kembalikan dengan saya tarus lagi di tempat semula. Saya taruh baju-baju dengan diam-diam agar ibu tidak tahu.
“Betul kan baju saya kamu sembunyikan. Buktinya muncul lagi.” Katanya setelah bajunya kembali. Saya terdiam. Sejak itu saya tidak pernah peduli dengan pakaian ibuku.
Cerpen Karangan: Mukhlisin Blog / Facebook: Mukhlis Pemalang Pecinta sastra tinggal di Pemalang. Alamat: Desa Panjunan Rt 09/Rw 02, Petarukan, Pemalang
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com