“Selamat ulang tahun, kami ucapkan!” “Selamat panjang umur, kita kan doakan!” “Selamat sejahtera, sehat sentosa!” “Selamat panjang umur dan bahagia!”
Tepuk tangan meriah terdengar menyambut kata terakhir dari lagu yang dinyanyikan anak-anak SD itu. Mereka semua nampak tersenyum bahagia, terutama si anak yang berada di depan mengenakan dress pink selutut dengan mahkota kecil di keplanya.
Acara tiup lilin dan potong kue telah berakhir, semua tamu kini telah pulang setelah memberikan kado terbaik yang mereka miliki. Begitu pun Kanaya Keisya, kado besar terbungkus rapi di tangannya ia sodorkan kepada teman seusianya itu. “Selamat ulang tahun, Citra,” ujarnya memberi selamat. Citra tersenyum. “Makasih.”
Kini pesta nampak sepi, Kanaya tak kunjung pulang karena belum ada yang menjemputnya. Jarak pesta dan rumahnya terbilang cukup jauh membuatnya dipesan ibunya agar menunggu jemputan.
Kanaya berbalik, menatap pesta yang kini sudah sepi. Binaran matanya berubah, bibirnya tanpa sadar tersenyum kecut. Lusa … adalah hari ulang tahunnya. Hari dimana dilahirkannya Kanaya ke dunia ini. Betapa inginnya ia merasakan pesta ulang tahunnya sendiri. Pesta ulang tahun yang besar, kue ulang tahun besar, mengundang teman-temannya, dan mendapat banyak kado. Ah, itu berlebihan untuknya. Ucapan selamat ulang tahun saja sudah cukup untuknya, lebih dari cukup. Namun, itu tak akan terjadi. Sebab di saat ulang tahunnya, orangtuanya seakan mendadak berubah.
Suara mobil berhenti tepat di hadapannya menyadarkan Kanaya dari lamunan singkatnya. Itu jemputannya. Kanaya masuk ke dalam mobil. Ternyata itu bukan sopir pribadi mamanya yang biasa menjempunya. Itu adalah mamanya sendiri.
Kanaya masih mengamati tempat pesta tadi lewat kaca mobil yang tertutup, bahkan saat mobil sudah perlahan menjauh.
“Kanaya, lihat apa?” Teguran mamanya membuat Kanaya mengalihkan pandangan. Bukan menatap mamanya, melainkan menunduk sambil menautkan jarinya.
“Hm? Kenapa? Ada yang mau kamu bicarain sama Mama?” Sang mama mengelus singkat puncak kepala Kanaya. Kanaya akhirnya memberanikan diri menatap mama, meski takut-takut. “Aku … ingin tadi, Ma.” Mama mengerutkan kening tak paham. “Tadi? Tadi apa?” “Ulang tahun …” Kanaya menggantungkan ucapannya begitu mobil yang dinaikinya menepi dan berhenti. Apalagi melihat tatapan yang berbeda dari mamanya. Ia benar-benar telah menduga apa yang akan terjadi.
Entah sejak kapan mamanya kini sudah mendekat padanya, tatapannya sangat mengerikan membuat Kanaya menunduk. Jari-jemarinya memutih dan bergetar saking takutnya.
“Naya, kamu mau ulang tahun ya?” Bukan nada tanya yang terdengar, melainkan nada dingin yang menusuk tepat. Kanaya meneguk ludahnya takut, ia tak sanggup hanya untuk berbicara sepatah kata. “Naya, bilang sama Mama. Kamu mau ulang tahun, kan? Pesta seperti tadi? Benar, kan?” Kanaya menggeleng kecil. Mama meraih kedua pipi Kanaya, mencengkeramnya erat membuat Kanaya merintih kesakitan. “Mama nggak suka, Kanaya!” Untuk pertama kalinya nada tinggi itu terdengar.
Cengekramnya pada pipi kini terlepas tidak baik-baik saja. Berganti dnegan jambakan lewat rambut panjangnya. “Akkh! Mama sakit, Ma. Tolong lepaskan.” Matanya yang sejak tadi mengembun kini menjelma menjadi butiran tanpa dosa yang mengalir di pipi. Sejak dulu, sejak ia dilahirkan ke dunia ini. Memang tak akan ada pesta ulang tahun yang ia harapkan untuk selamanya.
Dulu ia hampir merayakan apa yang diharapkannya, tapi pupus di tengah jalan. Papanya meninggal, kecelakaan pesawat saat pulang dari Inggris yang hendak ikut merayakan ulang tahun Kanaya. Lalu adik kembarannya, meninggal saat dilahirkan. Tepat saat ia dilahirkan juga. Sejak itulah Kanaya memang harus dipaksa mengubur harapan yang semu itu.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Kanaya nekat menyuruh asisten rumah tangganya untuk mempersiapkan semuanya. Teman-teman sekolahnya juga sudah ia undang. Untuk kali ini, semuanya siap. Ia tahu ini memang nekat, tapi ia berharap semuanya berjalan lancar setidaknya satu kali saat ia hidup di dunia. Mamanya juga hari ini pergi dan akan pulang larut malam. Jadi mungkin, semuanya berjalan sesuai rencana seperti apa yang ia inginkan.
Kini ia membeli lilin ualng tahun di sebuah toko yang letaknya agak jauh dari rumahnya. Senyumnya mengembang, matanya menatap lilin ulang tahun di tangannya dengan penuh binaran bahagia. “Setidaknya satu kali, Tuhan,” batinnya dalam hati.
Kanaya menengok kanan kiri hendak menyeberang jalan. Dirasa sepi, Kanaya melangkahkan kaki menyeberangi jalanan sambil menatap lilin angka di tangannya. Entah kenapa hatinya membuncah begitu saja, saking bahagianya. Tanpa ia ketahui, dari arah barat ada motor melaju cepat membelah jalanan. Pengendara tak memperhatikan juga ada Kanaya yang menyeberang karena sedang sibuk menelepon.
Waktu seakan melambat seiring terpelanting jauh tubuhnya Kanaya. Suara khas kecelakaan terjadi bersahutan dengan pekikan orang-orang sekitar. Tubuh Kanaya jatuh tepat menabrak mobil yang berjalan tak jauh dari kejadian. Menyebabkan pecahnya kaca di bagian depan. Sementara tubuh Kanaya kini berguling ke jalanan. Untuk sekedar napas pun ia seakan tak kuat, apalagi merintih. Meski dalam hati ia berdoa pada Tuhan, semoga ini hanyalah khayalan semunya.
Tubuhnya remuk redam, suara di sekitar tumpang tindih di telinganya. Semuanya terjadi terlalu singkat untuknya. Anehnya hanya sekejap rasa sakit yang ia rasakan. Semuanya terangkat detik itu juga, tubuhnya meringan seakan melayang di udara. Lalu detik berikutnya, matanya terpejam. Gelap, sunyi dan sepi.
Beberapa detik setelah itu, matanya terbuka lagi. Semuanya terlihat sama di matanya, kekacauan akibat kecelakaan juga masih terlihat, tapi tak ada rasa sakit di tubuhnya. Bedanya kini adalah dirinya melihat sosok wanita paruh baya yang amat ia sayangi.
“Mama …” “Kanaya, kamu sadar? Ayo bangun, Sayang.” Kanaya mengangguk kecil, ia bangun dari posisi terbaring dengan paha sang mama sebagai bantalan. “Ayo, kita pulang. Kita pesta di rumah ya, hari ini kan ulang tahun kamu.”
Senang, bahagia, terharu kini bercampur menjadi satu. Betapa bahagianya Kanaya, meski dalam hati ia bertanya-tanya kenapa mamanya berubah pikiran secepat itu. Namun, tak mau kehilangan kesempatan apalagi harapan Kanaya akhirnya mengangguk.
Mereka berdua kini berjalan pelan saling bergandengan menuju pesta ulang tahun Kanaya berada, yaitu di rumahnya sendiri.
Seperti mimpi, Kanaya tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya yang membuncah. Ia mendongak menatap mamanya. “Ma, ini pesta ulang tahunku?” Sang mama mengangguk sambil tersenyum meyakinkan.
Begitu ia memasuki rumahnya, suara nanyian lagu selamat ulang tahun terdengar. Sementara mamanya kini melangkah mengambil kue ulang tahun dan disodrokan padanya.
Nyanyian selesai, kini gantian dirinya yang meniup lilin yang sudah menyala apinya. Riuh tepuk tangan beserta sorakan menambah euforianya malam ini. Tanpa sadar air mata bahagia terjatuh saat Kanaya berkedip.
Seperti terciprat efek magic, semuanya mendadak lenyap. Tak ada lagi tepukan dan sorakan penuh bahagia serta ucapan selamat bertubu-tubi, semuanya menghilang dalam sekejap. Berganti dengan sebuah pemandangan mengerikan yang ia lihat tak dapat dihindari.
Di penglihatannya, orang-orang sekitar kini memakai pakaian hitam beserta kerudung dengan warna hitam juga. Duduk mengelilingi … astaga! Kanaya membungkam mulutnya yang tak bisa berkata. Sungguh, air mata kebahagiaan kini lenyap berganti air mata kesedihan melebihi apapun.
Orang-orang tadi duduk membaca dengan khusyuk mengeliling tubuh seorang gadis yang ia yakini adalah Kanaya sendiri. Wajah pucat dengan mata tertutup, di hidungnya sudah tersumpal entah apa itu Kanaya tidak tahu.
“I–itu, aku? Diriku?” gumam Kanaya. Ia lantas mengalihkan tatapannya.
Kanaya berjalan mendekat ke arah wanita paruh baya yang menangis meraung sembari memeluk tubuh gadis itu. Kanaya jongkok, mengelus pundak mamanya. “Ma, Mama kenapa nangis? Itu siapa, Ma? Kenapa wajahnya mirip denganku? Apa itu adik kembarku?” Sejenak Kanaya terdiam, hanya menunggu reaksi dari mamanya yang mengabaikannya. Seolah Kanaya itu tak kasat mata.
Wanita itu terus memeluk gadis dengan wajah mirip Kanaya. “Sayang, kata kamu … ingin pesta ulang tahun? Ayo bangun, kita buat pesta sama-sama ya. Kita undang semua teman-teman kamu. Ayo bangun, Kanaya! Buka mata kamu!” Wanita itu terus histeris, tapi tadi tak sehisteris ini. Membuat beberapa orang di sekelilingnya kini mendekat dan mencoba menenangkan.
Lelah menangis sedari tadi, perlahan tubuh wanita itu terjatuh lemas. Kanaya melihat itu langsung mendekat mencoba ikut membantu, menghalangi orang yang menghadangnya karena ikut melihat keadaan sang mama. Namun, lagi-lagi semua orang seakan menganggapnya tak ada. Kanaya mengerling bingung, ia menatap orang-orang dan tubuh gadis bergantian lalu mendecak frustasi.
“Kenapa ini? Ada apa? Kenapa kalian mengacuhkanku!” Kanaya berteriak heboh, tapi percuma saja.
Kanaya mendekat ke arah tantenya di ujung ruangan yang nampak menunduk tak dapat menahan tangisnya juga. “Tante! Ini ada apa Tante? Kenapa wajahnya mirip denganku? Kenapa semua orang mengacuhkanku …,” teriaknya kencang tapi terdengar lirih karena bergetarnya suara Kanaya.
Ia terduduk lemas, lengannya kini sudah basah karena digunakan mengusap air mata yang entah kenapa menetes tanpa diminta. Dadanya sesak, seiring dengan mengalirnya air mata dan tercekatnya tenggorokan. Semua pilu, nampak terjadi dalam sekejap kedipan mata.
Kanaya mendongak, guna mencegah air mata yang kurang ajar keluar tak ingin berhenti. “Jadi … selamanya pun aku tak akan mendapat ucapan ulang tahun, Tuhan?”
Cerpen Karangan: Oktaviana Nurvaizza Blog / Facebook: Zaee Oktaviana Nurvaizza, lahir di Jepara tanggal 22 Oktober, dan berjenis kelamin perempuan. Menjadi penulis adalah termasuk impiannya, karena menulis cerita merupakan hobi yang menyenangkan baginya. Awal bergelut pada dunia literasi pada tahun 2018. Dimulai dengan coretan di kertas yang berbuah menjadi puisi dan cerpen. Lalu mulai mempublikasikannya di sebuah aplikasi menulis online.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com