Dunia teramat keras bagai kutukan. Meluluhkan harapan yang tersisa.
Pak, ingatkah engkau hari itu? Bujangmu berjalan beriringan, memeluk sekambut koran, menjajakan dengan pekik dan peluh di badan. Harap-harap mereka yang berharta itu menengok, memberi kita upah lebih. Ingatkah kau, 500 mili air mineral itu diteguk bersama, berharap hilang dahaga sebab membegari Ibu Kota.
Berapa lembar duit yang didapat masa itu, tetap tak berkenan untukmu berdamai di hari tua. Kau berkata, “Cukup untuk makan hari ini.” Sembari tanganmu mengusap dada, terbatuk-batuk. Pak, nyatanya tidak begitu. Duit itu bahkan tak mampu ditukar dua bekal nasi. Ingatkah engkau apa yang hendak kita dapat setelahnya?
Kejam sekali. Mereka tak biarkan kita tidur dengan tenang, mereka menggagalkan Amak yang hampir datang dalam mimpi. Mereka, tuan-tuan konyol itu, menginginkan apa lagi. Mengapa engkau binasakan rumah kami, wahai tuan berkuasa? Tidakkah kau tahu, kami pun menanti ketenangan? Sukarkah engkau menunduk, memandang aku dan bapakku mengais rezeki tanpa belas ampun? Tidakkah kau melihat bapakku berjalan tanpa sepasang sandal?
Ampun! Tuan-tuan sialan. Berkata bapakku pembegal, berandal.
Pak, apa yang termaktub di lisanku saat itu. Aku berkata dunia telah zalim, tak lagi berbelas kasih. Dunia menghardikmu, aku, dan nasib. Memisah kau dari Amak, mendurja kenangan syahdu dalam tarbiah, mendesakku berkelana di atas bara. Namun kau bertolak. Berkata, “Lapanglah, Nak. Semua akan berlalu.” Lagi, lantang itu terdengar.
Huh… Segalanya akan berlalu, Pak. Entahlah diri yang tak kenal malu ini. Hampir menyerah. Terlebih setelahnya, rumah itu tergusur.
Pak, hari apa kita berjalan bersama, membawa sebuncang penuh pakaian kumuh, sarung dan berpuluh carik kertas. Sebagian hendak dijual. Entah siapa yang mendambakan barang lusuh semacam itu.
Pun di mana kita berhenti, merumpangkan kaki kerontang ini. Ingatkah engkau saat ubin dingin itu ditiduri bersama, menghantarku ke mimpi yang kelam. Tak suah aku memimpikan Amak, di mana pelitaku itu sekarang, bagaimana keadilan yang diimpinya. Aku tak tahu. Rupanya kau pun tak tahu, atau, pura-pura tak tahu.
Di teras lenggang malam itu, mulailah awak kapal berlayar. Kau berkelana dalam duniamu. Pak, sadarkah engkau, kertas-kertas itu tak lagi layak. Dugaanku akan didagang, namun tidak. Mereka tempatmu berkeluh kesah. Menggores tinta hitam, merangkai kenangan kelam. Kini, secariknya tak lagi senyap, ada cerita yang berlabuh. Batinmu sungguh terluka. Ah… Bapak, mengapa kau tak persilakanku membacanya. Padahal sepertinya kau berbakat. Kumpulan kertas itu disembunyikan, entah mengapa.
Barangkali hendak mencari peranan baru. Duh… lagi-lagi aku keliru. Tetap, setumpuk koran diasongkan, menunggu lampu menyambut merah, lalu engkau bagai imam, berjalan di hadapan. Sungguh, Pak, aku tak dusta. Kendatipun bungkuk lekukmu, senja usiamu, dikawani batuk tiap langkahmu, hari itu kau teramat gagah. Mengalahkan perwira, mengalahkan mereka yang terhormat.
Pak, ingatkah akan wajahmu yang merekah, saat seseorang memapahmu, menumpu awak cederamu sebab congkaknya juru mudi itu? Amatlah untung, ada pemuda yang lekas mengulur bantu. Tunggu, siapa namanya? Ah… Mas Gun. Usianya kisaran dua puluh. Tampak jauh berbeda kala bersua denganmu. Kulitnya putih berbinar. Sungkan teramat diriku ini bersila di sampingnya. Ia pria berdasi, kau berkata pemuda itu zaim yang hebat, namun ia menunduk, berkata bahwa Bapak terlebih hebat.
“Hai, Rama,” ia menyapaku. Aku tunduk tersipu. Entah siapa mas Gun ini dalam hayatku. Tak ada sepucuk janji, tahu-tahu ingin menyekolahkanku, menampung aku dan bapak dalam rumahnya yang agung. Pak, ingatkah engkau akan hal itu?
Aku tak sangka. Waktu kelam, yang melahap segala hartamu, dan mengubah jalannya hidup, kini tampak teramat indah.
Di masa yang lalu itu, seseorang datang merangkul. Memberimu harta gemilang. Berkata bahwa, “Kita berjuang bersama. Tak perlu kaya untuk berjiwa.” Bermuka dua, kawanmu itu berhati keji. Memperdayamu dengan usahanya. Semula pun aku tak paham, mengapa Pak Darman begitu baik. Bagaimana hati tak bergelora, ia memberimu setakat uang dan janji, akan menggelar usaha bersama. Tanah berpuluh petak kau dagangkan, dengan harga tak semampai. Kala itu Amak berharap, untuk bersila dalam rumah yang pantas. Syukur, harap itu kita dapatkan. Namun tak kunjung bertahan, semua tandas.
Aku tak lagi mafhum. Rupanya bisnis agung itu tipuan. Betapa besar rugi tak terbayar. Sudahlah kawanmu menghilang, kendati sewajibnya dialah penanggung salah. Terpaksa melapang harta yang mengerak. Menyisakan ringkihnya tubuhmu, lusuhnya paras Amak, dan sendunya nasibku.
Hampir meluruh tubuh ini, saat Mak Tuo datang. Menjemput Amak. Menghantarnya pulang menuju Sumatera. Pak, tiada yang dapat menahan, akan kuatnya genggaman Amak padamu, tak rela meninggalkan. Mereka berkata kau bersalah, tak piawai menjaga Amak, tidak terkandung akal terawat, hingga mampu tertipu oleh dungunya ilmu.
Tersisa engkau dan bujangmu, dalam usangnya rumah bambu. Aku teringat kau berucap, bahwa yang kini akan menjadi dulu. Tampaknya petuahmu benar. Mungkin bait pahit ini telah sampai di baris akhir. Mungkin. Ah, salah kumengira.
Ada sebait syair yang lebih pahit. Tersimpan badai yang lebih teruk. Pak, ini terlampau lekas. Mengapa? Lelahkah engkau berjalan bersamaku? Jenuhkah engkau mengusap peluhku? Pak, hari itu suram teramat, gelap gulita. Ke mana matamu yang tajam, sudah tertidur, ke mana gurat wajah ketegasanmu, sudah memucat.
Pak, hayatmu telah berakhir. Dengan siapa lagi aku mengais? Aku bertanya dalam batin. Mengapa, dan apa yang disebutnya itu. Paru-paru?
“Kau tak bernapas dengan sendirinya, Rama. Di sini, kiri dan kananmu ada paru-paru yang membantu.” Mas Gun memberiku jawaban. “Lalu, paru-paru Bapak?” Ia terdiam, tersenyum.
Pak, Saat itu aku terpana. Pemahaman yang amat runyam. Infeksi, cairan, paru-paru basah. Mulanya serpihan kata itu terpisah, hingga sumbu akhirnya adalah engkau, Bapak.
Pak, ingatkah kau semua itu? Kini telah usai. Kenangan kelam Ibu Kota dan peluh yang mengukir hari-hari telah membekal dalam riwayat. Satu hal penjejak masa, syair-syairmu. Kawan yang kau umpat dariku. Sudah kubaca, pun aku mafhum. Kau mengasihani aku. Apa yang kaulakukan, Pak. Elegi itu begitu melantun.
Banyak yang tertuang di sana. Tentang aku, Amak, rumah, dan segala kekelaman masa. Terakhir, kau menulis akan mas Gun.
Mas Gun, dia begitu berarti. Sesuai dengan syair yang kau tuai, mas Gun adalah titipan sang Khalik untuk mengulur nasib, mengubah kenyataan pahit, merawatku hingga tubuh ini berisi, menyekolahkanku, hingga cerita syahdu kembali mengalun.
Rupanya kau tahu. Sebab apa ia melakukan semua itu. Bahkan ketika aku tak tahu, siapa pemuda itu sebenarnya. Mas Gun adalah putra sulung Pak Darman, yang tak lain kawan kejimu.
Tak tega aku memandang, kala berkata perjanjiannya dengan Amak. Pemuda itu beriktikad untuk mencari, merawat, dan menampung aku serta Bapak dari temaram sudut kota hingga Amak kembali. Namun dirinya memohon ampun, akan segala khilaf yang lalu. Amat pilu, ayahnya kini terbaring lemah di muka ranjang.
Pak, istirahatlah. Kini aku baik-baik, tiada yang hendak dikeluh.
Kisah kelam yang suah berlalu akan kujaga, tersampul oleh waktu, berharap suatu hari nanti Amak akan pulang, untuk melihatku, mendengarkan rangkaian duka ini, sembari membawa sepucuk kabar penantian. Pengharapan akan Amak dan engkau.
Amak, pulanglah. Rengkuh aku, dengarkan kekelaman ini.
Cerpen Karangan: Nov
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com