Di sini, sepoi angin mengibarkan rambutnya yang tak tertutup kerudung. Beberapa burung gereja bertengger rapi berjejer pada pembatas besi yang tertanam. Mata gadis itu tak lagi seterang dulu, sayu dan redup. Andaikan jika ia bulan, dia adalah bulan baru. Dimana cahaya tak terpantul dari permukaannya. Manis pada senyum lebarnya kandas berganti seujung tarikan di sudut bibirnya. Kuhapus air mataku yang menetes tanpa aku ketahui. Ingin aku merengkuh tubuhnya dan berkata jika semua akan baik-baik saja. Tapi, tak bisa. Karena ia tahu bagaimana akhir ceritanya. Akhir yang mampu menarik keluar ribuan liter air mata dari orang-orang yang begitu menyayanginya. Mengulum senyum di bibir, aku berjalan pelan mencoba tanpa derap mendekatinya.
“Ana udah tahu, Mbak.” Ia berbalik, sejumput senyum jahil terbit di bibirnya. “Mbak, jangan gitu deh, Ana kan bukan anak kecil lagi.” aku terkekeh menyahutnya yang cemberut. Kikuk sendiri karena aksiku ketahuan. Niat hati aku ingin mengagetkannya, eh, malah ketahuan. Aku berjalan biasa mendekatinya. Bibirnya masih mengulum senyum dengan pandangan yang teduh. “Dek, masuk, yuk!” ajakku sambil menarik ke atas kerudungnya yang tersampir di bahu. Menariknya menutupi rambut dan menatanya lalu menjepitkan jarum pentul di sisi kerudung di bawah rahangnya.
Aku suka saat ia memakai kerudungnya. Kesan cantik dan cerah akan terpancar dari wajahnya yang pucat. Menutupi helaian rambutnya yang tak setebal dulu. Ada rasa nyeri di dadaku. Pipinya yang dulu tembam dan enak dicubit. Kini tirus tinggal tulang dan pucat. Kuat-kuat aku menahan air mataku agar tak menetes, tak ingin terlihat lemah di hadapannya.
“Enggak, ah, enak di sini. Di dalam apek, Mbak.” Ujarnya sambir memutar tubuh dan mendongak. Aku mengikuti pandangannya yang ke atas.
Malam ini langit begitu indah dengan taburan bintangnya. Berkelap kelip seakan memberikan asa di masa depan. Ana paling suka dengan malam. Menurutnya malam begitu tenang dan sunyi. Di rumah dia akan dengan suka rela berteman dengan dinginnya malam. Padahal depan rumah kami masih persawahan tebu. Yang pasti banyak anginnya. Namun, itu bukanlah tembok baginya. Malah menurutnya sawah dan angin semakin memperindah setiap malamnya.
Dan di Gambiran ini dengan tanpa sawah namun masih banyak anginnya. Dia di sini. Melakukan kesenangannya walau dengan tempat berbeda tapi rasa yang sama. Satu hembusan nafas keluar dari mulutnya. Entah apa yang sedang berada di pikirannya.
“Mbak inget enggak, sepuluh tahun lalu di Gambiran ini?” Matanya melirik teduh mataku. Aku bergeming. Memilih diam dan memandang langit yang menurutku lebih menarik ketimbang pertanyaannya. Meski aku tahu jawabannya.
Aku ingat. Di sini. Di Gambiran ini, sepuluh tahun lalu saat terakhir kalinya aku melihat ayah dan untuk pertama kalinya aku bertemu Ana. Ya, Ana bukan adik serahim denganku. Ayah yang aku kira seseorang yang baik dan bijaksana ternyata telah melakukan kesalahan. Kesalahan mencintai seorang wanita di belakang ibu dan aku. Yang akhirnya menghadirkan Ana ke dunia. Dan entah karena karma yang berlaku. Mereka-ayah, wanita itu dan Ana- mengalami kecelakaan yang berhasil merenggut nyawa mereka, terkecuali Ana. Jujur, saat itu aku sempat kecewa kepada Tuhan. Kenapa Tuhan tidak membawa serta Ana bersama orangtuanya. Kenapa Tuhan harus meninggalkannya? Yang jelas-jelas telah menorehkan luka pada kami, terutama ibu. Akan tetapi, ibu dengan kelapangan hati menerima Ana. Menganggapnya seperti Anak sendiri dan tak membedakan diantara kami. Aku berpikir keras untuk itu. Dengan segala logika aku mencoba menggali alasan kenapa ibu menerima anak haram itu. Ya, Ana hanyalah anak haram yang telah mematikan kebahagiaan keluarga kecil kami. Pikirku selalu dulu.
Aku tersenyum getir, menatap nanar wajahnya yang tampak pucat. “Ana, kita masuk, ya! Anginnya dingin lho.” Bujukku dengan pandangan ke angkasa. Tak rela sebenarnya, jika harus melepas keindahan malam ini. Ana menggelengkan kepalanya. “Enggak mau, Mbak, Ana mau di sini aja.” Kekeuhnya tetap pada pendirian. Pandangannya masih tak terlepas dari indahnya malam. Aku menoleh padanya, menatapnya dengan wajah memberengut. Tentu saja itu hanya pura-pura. “Ayolah, Dek! Emang kamu enggak kasihan sama Mbak, Mbak itu udah susah payah masakin ayam goreng kesukaan kamu. Masak enggak dimakan?” Kulihat wajahnya berubah berbinar. “Benar, Mbak?” Aku mengangguk. Bibirku terkulum memperhatikan rautnya yang seperti Anak kecil itu. Kenikmatan yang menggelitik dada yang mungkin akan segera hilang dari mataku. “Ya udah, ayok! Nanti keburu dingin, Mbak.” Keantusiasannya menarik senyum di bibirku. Ana menarik tanganku, membawaku ke ruangannya.
Bertahun-tahun aku tetap berlogika mencari jawaban. Kenapa ibu dengan begitu lapangnya menerima kehadiran Ana? Tanpa membedakan kami. Dan bagaimana bisa ibu menyuapi Ana dengan tangannya sendiri? Jika melihat Ana sama dengan bersitatap dengan wanita perusak itu. Wajah mereka yang nyaris serupa membuatku geram. Logika terus menolak dan menyanggah acap kali ibu memintaku lapang menerima Ana.
Pernah sekali dulu. Lembutnya tangan ibu menampar pipiku. Aku kecewa akan itu. terutama beliau melakukannya karena Ana. Aku yang memang terundung emosi lepas kendali. Aku dengan mulutku berkelakar jika aku menolak Ana. Mengutarakan segala gumpalan di hatiku. Kenapa aku sangat membenci Ana? Kenapa Tuhan tak membawa Ana sekalian saja kala itu? Dan kenapa ibu dengan selapang itu menerima Ana si Anak haram? Aku berkata tanpa menghiraukan genangan air di pelupuk mata ibu. Menurutku kala itu waktu yang tepat. Ibu harus mendengarkanku. Aku tidak ingin ada Ana di hidupku. Namun, ketika amarah telah sedikit redam. Ibu mendekatiku. Berkata dengan begitu lembutnya bahwa Ana bukanlah sebuah kesalahan. Dia hanyalah Anak kecil yang butuh kasih sayang dari ibu dan juga kakak yang ia punya saat ini. Ana bukanlah dosa. Yang salah kedua orangtua kandungnya. Bukan dia. Dan satu yang membuatku terpaku akan ucapan ibu yang halus kala itu.
“Jika kamu menolak Ana berarti kamu juga menolak ibu. Karena ibu serupa dengan Ana. Ibu jugalah anak haram. Anak dari wanita perusak rumah tangga orang, Sandra.” Seketika air mataku titik. Aku bersujud dan bersimpuh di kakinya. Memohon ampun dan meminta maaf untuk kebodohanku selama ini.
“Mbak, kenapa nangis?” Kurasakan sentuhan halus di pipiku. Ternyata tenggelam di masa lalu membuat bening mataku menetes. Aku menggeleng sambil berkata jika semua baik-baik saja dan memintanya melanjutkan makan. Hal pertama yang mudah aku hapal dari Ana adalah dia suka ayam goreng. Lucu sekali. Itu selalu mengingatkanku pada tokoh si bocah kembar botak dalam kartun melayu yang sering Ana tonton.
“Mbak, aku pengen deh, ketemu sama DO.” Ana berkata tanpa berhenti mengunyah. Pipinya menggembung dan sorot matanya yang riang membuatku gemas. Tak tahan, aku mencubit pipinya hingga ia mengaduh kesakitan. Aku tergelak. Menelan sisa kunyahannya, Ana memberengut dan mengusap pipinya. “Mbak, menurut Mbak, kerenan Sehun apa Kai?” Aku menarik senyum tipis. Dia juga mencintai K-POP. Dan aku bersyukur untuk itu, setidaknya ada hal yang membuat Ana sepertinya anak seusianya.
Penyakit yang diderita Ana, menghambatnya untuk melakukan lebih. Kanker darah atau juga dikenal dengan leukemia adalah penyakit yang dideritanya. Membuat tubuhnya kurus, pucat dan tampak letih setiap waktu. Kami mengetahuinya setahun yang lalu ketika Ana tiba-tiba jatuh pingsan saat upacara bendera hari senin di sekolah. Dulu kami mengira jika itu hanya kelelahan fisik saja. Hal sepele yang kerap dihadapi Anak-Anak ketika terlalu banyak main. Namun, berangsur-angsur tubuh Ana semakin kecil dan hidungnya sering mimisan. Bahkan dalam sehari Ana bisa pingsan sebanyak 3 kali. Ibu sangat resah kemudian menyuruhku membawa Ana ke Gambiran, melakukan cek darah.
Selembar kertas hasil cek menyatakan jika Ana menderita kanker darah. Aku masih ingat dengan jelas, ibu langsung bersimbuh dan bersujud saat mendengarnya, meminta dan memohon ampun atas dosa-dosa kedua orangtua Ana kepada Tuhan. Air matanya terus bercucuran jatuh ke lantai saat bersujud menghantarkan rasa nyeri di hatiku. Dan untuk aku sendiri, aku hanya bergeming. Pikiranku terus bergelut antara perasaan bersalah atau rasa syukur. Karena kerap walau aku sudah menerima Ana, hatiku masih sering merasa gondok mengingat dosa orangtuanya. Dan bersalah, karena bisa saja itu jawaban dari Tuhan atas doaku untuk kepergian ana.
“Ana, hidungmu berdarah.” Seruku panik. Segera aku menarik beberapa lembar tisu dan mengusap hidungnya, namun Ana menahan tanganku. “Udah, Mbak, nggak papa kok.” Ana mengambil tisu di tanganku. Aku bergeming. Ana dengan begitu santainya mengusap darahnya sendiri. Meneguk ludah, aku mengambil tisu itu kembali dan mengusap darahnya.
“Mbak, maafin Ana, ya?” Aku menggumam menjawabnya. “Andai Ana nggak ada. Pasti bapak masih ada.” Kutahan air mataku agar tidak keluar. “Ana pasti nyusahin ibu sama Mbak.” “Diam, Ana!” Aku membentak. Kulirik sekitar, beberapa orang nampak melirik. Kuanggukan kepala sebagai permintaan maaf lalu beralih menatap Ana. Sungguh, tidak ada niatku membentaknya. Hanya saja sesal saat mendengar penuturannya menyakitiku.
“Mbak, marah?” Suaranya bergetar. Diatas selimut rumah sakit yang ia pakai, tangan-tangan kurusnya saling meremas takut. Kepalanya menunduk, satu titik air mata Ana menetes ke selimut. Aku mendesah panjang lalu mengurut kening yang terasa pusing. Dalam hati aku juga kerap bertanya. Benarkah aku sudah memaafkan Ana? Mengikhlaskannya hidup bersamaku dan ibu? Tuhan, benarkah ini takdir yang Engkau buat untukku? “iya Ana, Mbak marah.” Aku memperhatikan wajah Ana. Kepalanya semakin menunduk dan air matanya kembali jatuh. Menghela nafas panjang dan berat, aku mengusap rambut dibalik kerudungnya. Dulu rambut Ana sangat lebat dan hitam, begitu indah. “Kenapa Ana sakit? Kenapa Ana tidak menangis? Kenapa Ana tidak mengeluh dan terus tersenyum?” Tanyaku getir. Kurasakan air mataku turun, dengan cepat aku mengusapnya.
Wajah Ana terangkat, matanya yang sedikit cekung menjadi bengkak dan matanya merah. “Ana, senang.” Aku tertegun. Tanganku di atas puncak kepalanya bergetar. “Ana tahu sebentar lagi, Ana bakalan pergi.” Nafasku tercekat. Kurasakan mataku semakin memanas. “Dan nggak bakalan ketemu sama EXO.” Ana tersenyum kecil dan itu membuatku ingin menangis. “Tapi, Mbak, Ana seneng banget. Soalnya Mbak, bisa tersenyum sama Ana. Mbak, juga jaga Ana dan nangis kayak sekarang.” Ana mengelus pipiku, menghapus air mataku yang jatuh tanpa kusadari.
“Mbak, sayang sama Ana.” Bibir Ana tersenyum. “Ana tahu.” Mengusap air mata yang kembali jatuh, aku memeluk tubuh ringkihnya. Tubuh yang bisa saja kehilangan nyawanya tanpa ada yang tahu.
Tuhan, bisakah aku mencabut kembali doaku dulu? Aku menyesal, Tuhan. Kini, aku sadar. Senyum Ana, tawa Ana adalah anugerah terindah yang Engkau berikan pada kami. Sembuhkanlah dia, Tuhan! Jangan Engkau berikan lagi rasa kehilangan di hati kami!
“Mbak, nanti kalau Ana sudah nggak ada, jangan lupain Ana, ya.” Aku mengangguk. Tidak kuasa menjawab pertanyaannya.
“Mbak, pelukannya jangan dilepas, ya. Rasanya enak bikin ngantuk.” Ana terkekeh geli, sementara aku menangis tanpa suara di balik punggungnya. “Ana, tidur, sudah malam.” Kueratkan pelukanku pada Ana, merasakan setiap hembusan nafasnya yang semakin melambat. “Ana, maafin Mbak, ya. Andai kamu adik kandungku, mungkin doaku tidak akan terlontar dengan kejam. Mbak, menyesal Ana.” Kuusap wajah Ana yang damai dalam tidurnya lalu mengecup keningnya. “Mbak, sayang Ana. Ibu juga sayang sama, Ana. Ana sembuh, ya!”
Cerpen Karangan: Zana Dzonnika Blog / Facebook: Zana Dzonnika
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com