Riuh tawa menggema di gedung kampusku. Ramai mahasiswa berpakaian rapi dan jubah panjang yang menutupi semua badan hingga lutut dan menutupi semua lengan serta dilengkapi atribut ekstra sebagai pelengkap khas orang wisuda. Raut ceria terpancar di wajah mereka. Sesekali kami saling melempar senyum ketika beradu mata. Suasana mendadak hening ketika acara dimulai.
Satu persatu sesi acara sudah dilewati. Tiba sesi acara ucapan terimakasih kepada orangtua dari wakil wisudawan. Namaku dipanggil untuk mengucap sepatah dua patah, riuh tepuk tangan membahana di ruangan ini. Dengan langkah gemetar dan gugup menguasai relung hati, aku berjalan menuju podium. Selempang cumlaude dan selempang nama yang disertai gelar kini sudah kukenakan.
“Assalamu’alaikum semua,” ucapku menyapa para tamu dan dosen. “Wa’alaikumsalam,” balas mereka dengan serentak. “Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan pada Yang Maha Kuasa dengan rahmat-Nya, kita bisa berkumpul di acara ini. Shalawat serta salam kita hadiahkan ke pada baginda Nabi Muhammad SAW. Terimakasih untuk dosen dan teman-teman semuanya yang telah membantu saya untuk sampai pada titik kesuksesan ini. Terimakasih untuk ibu yang selalu berdo’a dan berusaha menguliahkan saya. Terimakasih untuk bapak yang …” ucapanku terputus. Seketika teringat kejadian-kejadian yang lalu.
Mungkin bagi sebagian orang bapak adalah cinta pertama bagi mereka tapi bukan bagiku. Bapak yang selalu mengeluh membiayai keluarganya. Bapak yang tidak pernah peduli akan rasa sakit yang mendera anaknya. Beliau cuek ketika melihat anaknya sakit, enggan bertanya apalagi membelikan obat. Tak pernah sekalipun bapak menanyai tadi belajar apa, bagaimana kuliahnya, apakah uang sakumu masih ada, dan pertanyan-pertanyaan kecil lainnya yang bisa menghangatkan hatiku.
Suatu ketika aku dan temanku ada acara di kampus. Kami diwajibkan datang sebelum subuh agar bisa shalat subuh bersama. Kulihat temanku dan bapaknya sudah datang ke rumah untuk mengajakku pergi ke kampus bersama. Bapak temanku dengan siap siaga menemani kami sedangkan bapakku tertidur lelap tanpa rasa khawatir melepaskan kepergian anak gadisnya. Beliau enggan bangun untuk menemaniku meski sudah dibangunkan oleh ibuku.
Ketika anak-anak lain bangga shalat diimamkan bapaknya sedangkan bagiku itu hal mustahil terjadi dalam hidupku. Kami shalat sendiri-sendiri bagaikan orang asing. Selesai shalat kuselipi doa semoga suatu saat nanti kami bisa shalat yang diimami bapak.
“Aku lelah bekerja seharian. Seluruh tubuhku sakit mengangkut pasir, batu, kayu, dan yang lainnya. Aku muak bekerja untuk keluaga ini!” teriak bapak memenuhi gendang telingaku pada pagi ini. Ada rasa sakit yang menjalar di hatiku. Ada rasa kecewa yang memenuhi relung hatiku. Tak kusangka bapak mengatakan hal sedemikian itu. “Orang lain rela kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki untuk bekerja membiayai kuliah anaknya sedangkan dirimu muak dan lelah untuk bekerja. Lihatlah anakmu! Tidak pernah merengek meminta uang untuk kuliahnya bahkan dia sudah bisa bekerja sendiri mencari uang. Lihatlah aku! Istrimu, tidak pernah meminta pakaian mewah, tas branded, make up dan perhiasan mewah. Kamu hanya bekerja untuk mengisi perut keluarga ini sudah mengeluh. Ya sudah, kalau tidak mau bekerja silahkan, terserah dirimu,” ucap ibu dengan suara bergetar menahan tangis.
Bergegas aku memeluk ibu dan menangis bersama. Sempat terlintas di benak kenapa ibu bisa mendapatkan jodoh seperti bapak. Bukankah jodoh adalah cerminan diri? Lantas kenapa ibu yang baik dan tulus mendapatkan jodoh seperti bapak? Memang ketika kita menyisir rambut maka yang dipantulkan di cermin juga kita lagi menyisir rambut. Ah … kadang kita lupa bahwa sifat cermin juga menampilkan sebaliknya. Jika kita menyisir rambut di tangan kanan maka yang dipantulkan di cermin adalah di tangan kiri.
“Apapun terjadi, walaupun ibu mati jangan sampai kamu tidak kuliah. Ingat itu!” ucap ibu tepat menyentuh di hatiku.
Semenjak kejadian itu aku bertekad untuk sukses. Aku akan bahagiakan ibu dengan keberhasilanku. Berjanji pada diri ini agar tidak menyiakan masa mudaku. Berandai-andai apa saja yang akan kulakukan setelah sukses nanti agar ibu bahagia, membelikan baju daster yang baru, membangun rumah yang megah, membawanya ke tanah suci, berkeliling dunia, dan banyak lagi hal yang ingin kulakukan.
Lihatlah aku! bu. Kini aku berdiri di depan ribuan tamu dengan gelar yang membanggakan. Bahkan sebelum wisuda aku sudah mendapat pekerjaan yang bagus, ketua kampus sudah memberiku pekerjaan sebagai dosen di kampus ini. Sebentar lagi cita-citaku membahagiakanmu akan tercapai.
Deheman dari pembawa acara membuyarkan lamunanku tentang bapak. Buru-buru aku melanjutkan perkataan yang tadi sempat terhenti. “Terimakasih untuk bapak yang sudah menitipkan benihnya pada rahim seorang wanita yang tangguh yaitu ibuku. Terimakasih untuk itu,” ucapku sambil tersenyum.
Setidaknya masih ada satu kebaikan dari diri bapak, dia sudi menitipkan benihnya pada wanita hebat yang tak lain dan tak bukan ialah ibuku.
Cerpen Karangan: Junita Aprillia Blog / Facebook: Junita Aprillia / Pengagum Sajak
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com