Suasana sekolah menjadi atmosfer terindah yang dirindukan oleh para pelajar, terlebih mereka yang baru saja duduk di bangku sekolah. Mulanya, terpikir libur dalam waktu lama adalah hal yang baik–bahkan terdengar sangat mengasikkan, namun sepertinya hal tersebut adalah mimpi buruk. Wabah penyakit tak bernama memasuki perkotaan, menewaskan hampir dua ribu manusia di dalamnya, membuat seluruh penduduknya gundah.
“Alyssa!” Teriak suara lembut gadis tan, maniknya tenggelam di antara pipi akibat mentari yang terlalu terang.
Empu nama menoleh, Alyssa Pradesta adalah pelajar rantau asal Medan. Ia terpaksa sekolah di Jakarta karena Kartu Keluarganya yang masih mencantumkan alamat Jakarta. Nasib, begitulah sekiranya.
Alyssa membuka matanya, menatap laptop dihadapannya; benda pintar itu kini menampakkan wajah temannya yang terbalut seragam–rapi. “Tertidur lagi?” ketusnya menutup panggilan, dalam waktu itu juga layar menghitam menggantikan layar video call dengan wallpaper laptop.
Hari Alyssa selalu berjalan biasa biasa saja; ia terbangun di pukul tiga pagi dengan segelas susu sebagai sarapannya, telepon genggam yang terus berdering–panggilan dari wali kelasnya karena belum memberi absen–setiap pukul delapan pagi, dan ocehan dari orangtua yang terus menghujamnya.
Gadis dengan kuncir merah muda itu menghela napas kasar, lagi lagi ibunya menulis catatan kecil untuknya. “Makanan ada di meja makan, jangan lupa tutupin tudung saji kalau sudah selesai makan.”. Sekiranya itulah yang tertulis.
Alyssa turun dari kursinya, mematikan laptopnya, kemudian bergegas masuk ke dalam ruang makan; menuruti perutnya berbicara.
—
Siang ini Alyssa kembali menulis satu dua kalimat pada buku bindernya; benda yang menjadi media kekesalannya. Ia tersenyum kecut, merasa tidak adil pada dunia–seolah tempat ia menjalani hidup adalah neraka. Gadis itu mengambil bolpoinnya, menghembuskan napas kasar sebelum melampiaskan harinya saat ini.
“Hai diari manis, Dengan Alyssa Pradesta di sini, bagaimana kabarmu? Oh, tolong maafkan aku karena telah menjadikanmu tempat pelampiasan (lagi).
Kamu tahu? Selama wabah penyakit yang masih tidak diketahui namanya ini melanda kota kami, jiwaku benar benar tersiksa. Aku tak kuasa menahan tangis saat kedua orangtuaku bertengkar mengenai tunjangan hidup kami. Bahkan sering kali aku melihat ayahku meminum pil penenang dengan dosis tinggi. Apakah itu tidak masalah?
Ibu tidak pernah bertemu tatap lagi dengan ayah, aku selalu menjadi perantaranya, meski terkadang kamu bisa melihat kami berkomunikasi melalui secarik kertas. Aku rasa ibu kini membenci ayah yang lepas dari tanggung jawabnya, ayah tidak lagi membiayai kebutuhanku bahkan kebutuhan ibu. Dia lebih memilih menyibukkan dirinya di depan komputer tanpa menghabiskan makan malam bersama.
Nilaiku menurun dibuatnya, ibu marah, aku sedih melihat kekacauan di rumah ini. Menurutmu bagaimana? Apakah ayah sedang bekerja di depan laptopnya namun ibu tidak percaya? Atau benar ayah sedang menjalin hubungan dengan orang lain? Jika benar maka aku akan sangat kesepian.
Aku sudah berulang kali memergoki ayah mengonsumsi alkohol, beruntung aku segera menghentikannya sebelum ia pergi mabuk di atas pulau kapuknya. Aku terlalu takut untuk menanyakan hal hal sensitif kepadanya, tapi aku masih berusaha untuk membujuknya menjelaskan kebenarannya.”
Gadis yang masih menduduki bangku tiga SMP itu pun menitikkan air mata. Perlahan memori di dalam kepalanya terputar seperti rekaman pada piringan hitam yang dimasukkan ke dalam alat pemutar.
Hari itu Alyssa sedang asik bercerita bersama sang ayah, menghabiskan sisa senjanya dengan memetik gitar bersama. Namun entah apa yang merasuki ibunya, tiba tiba wanita paruh baya itu mengambil alih komputer suaminya, membuka laman twitter pada layar kemudian mencaci maki sang ayah.
Alyssa yang tidak tahu apa apa memilih diam, ia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu; mencoba merendam emosinya agar tak ikut larut dalam perseteruan. Tak lama kemudian suara patahan kayu yang menghantam tulang terdengar, ini sangat brutal, Alyssa mengintip ruangan itu. Kakinya melemas melihat pemandangan pertamanya; ayahnya yang terkejut dengan perlakuan tiba tiba sang ibu dan gitarnya yang terbelah menjadi dua akibat pertengkaran tersebut. Gadis lemah itu terduduk lemas, ia menutup mulutnya guna menahan isakan.
Kembali, senja menjadi luka traumatis baginya.
“Apa yang kamu tulis?” tanya temannya dari dalam ponsel. Alyssa tersenyum menatap ponselnya, ia menunjukkan buku diarynya, menampakkan tulisan acak yang dibuatnya.
“Wah, sudah pandai menulis ternyata,” ucapnya membuat gadis itu bangga. “Ayah dan ibumu pasti bangga.” Alyssa menggeleng lemah. “Mereka tidak pernah bangga padaku,” Temannya mengerutkan alis, penasaran dengan kisah gadis kecil dihadapannya. “Kenapa demikian?”
“Semenjak mereka bertengkar, aku yang tersiram air raksa yang dilempar sembarang oleh ibu, dan keduanya yang panik dengan kejadian itu membuatku kesepian.” Alyssa menundukkan kepalanya. “Kami hampir tidak pernah berbicara. Bahkan aku bisa merasakan darah mengalir di pergelangan ibu.” “Apakah mereka bertengkar lagi? Atau ibuku tengah mencoba membunuh dirinya sebagai penembusan dosa?” Alyssa kembali menitikkan air matanya. “Aku tidak pernah mendengar kabar ayah lagi,” akhir Alyssa sebelum ia benar benar tenggelam pada sedihnya. “Menurutmu bagaimana kabarnya?”
Pria dengan wajah awet mudanya itu tersenyum, ia mencoba untuk tidak mengelus ponselnya–seperti orang gila. “Dia pasti baik baik saja.” Kemudian menenangkannya.
Cerpen Karangan: Cynthiaea Facebook: facebook.com/sietha.maramis
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com