Blossom Vialey menatap kepergian ayahnya bersama wanita asing yang tengah mengandung itu tanpa ekspresi. Kepulangannya kali ini pun selalu membuat Valey berfikir tidak ada sedikitpun kebaikan dari dalam diri ayahnya.
Kini, yang terburuk dari segala yang terburuk dilakukan Tn. Therdo. Dia menghamili seorang pelajar seusia Valey karena terlalu mabuk di bar. Bagi Veley, itu tidak lebih buruk dari saat sang ayah membuat ibunya menangis.
Ponsel Valey berdering, menampilkan pesan dari kekasihnya. Namun Valey tidak berminat membacanya, dia terlalu hancur melihat ibunya menangis didepan pintu menatapi kepergian mobil hitam milik ayahnya.
“Ibu, haruskah kita pergi dari rumah ini?” tanya Valey pelan. “Valey … Jangan benci ayahmu, dia hanya melakukan kesalahan kecil … Maafkan dia.” Ny. Therdo memeluk Valey. “Hm …”
—
“Valey, mengapa kau tidak menghubungiku selama dua hari ini? Kemana kau, apa yang sedang terjadi?!” terderngar suara seorang laki-laki meninggi dari telepon ketika Valey baru saya mengangkatnya. “Dion … Aku lelah, maaf baru bisa menjawab panggilanmu.” “Jika memiliki masalah, tolong beritauku Valey, jangan pendam sendiri.” “Kau tidak mengerti masalahku Dion,” ucap Valey lirih. “Makanya jelaskan!!” bentak dari seberang. “Dion kau menyakitiku … Jangan hubungi aku lagi!” Tut …
Valey melempar ponselnya dan bergegas masuk ke rumah. Dia kini menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamarnya berada dan menangis sedih seorang diri didalam situ.
Keesokan harinya Dion mendatangi rumah Valey karena gadis itu sama sekali tidak menjawab pesan-pesannya. Dion sangat khawatir pada keadaan Valey bersuara lirih saat bertelefonan kemari hari.
Kini dihadapannya hanya seorang gadis dengan wajah sembab dan mata yang membengkak. Valey kekasihnya dalam kondisi yang memprihatinkan. Dion segera menarik Valey dalam pelukannya dan mengelus lembut surai panjang gadis itu.
“Tidak apa … Menangis saja hingga kau merasa lega,” bisik Dion saat tangis Valey pecah. “Maafkan aku kemarin Valey telah membentakmu, aku terlalu khawatir. Jika kau ingin bercerita, ceritakan saja ….” “Dion, bisa kita jangan bertemu dulu selama seminggu? Aku ingin menata hatiku yang hancur remuk … ” lirih Valey terisak. “Jangan seperti ini Valey, jika ada masalah kita bicarakan, Okay? Aku tak sanggup untuk tidak menemuimu selama itu …” “Kumohon ….” pinta Valey. “Keluargaku hancur Dion, aku tak sanggup. Pria sialan itu membuat ibuku menangis setiap hari …” Dion menghela nafas lalu merangkul Valey untuk berdiri. “Baiklah, kuharap kau mengabariku jika membutuhkan pelukan.” Dion berdiri dan segera pamit pada Valey setelah menuntun gadis itu duduk disofa.
“Kuharap kau baik-baik saja Valey.” Dion berharap kali ini pun Valey bisa menenangkan dirinya yang tampak tidak baik itu. Bukan tanpa alasan Dion menyetujui Valey, dia tau gadis itu akan tenang dengan caranya sendiri. Tapi terkadang juga akan mencari orang lain untuk berbagi keluh kesah dan resah hati.
“Terima kasih Dion.”
—
Dion Livero tersenyum mendapati Valey kini tengah bermain bersama saudari perempuannya. Valey sudah tampak lebih baik dari seminggu yang lalu. “Maaf nona-nona, sepertinya kebersamaan kalian harus segera diakhiri karena aku mau membawa Valey mengunjungi nenek.” “Ini tidak adil Dion, selama ini kau menyembunyikan gadis cantik seorang diri dan sekarang aku tidak diijinkan bersamanya!” “Rerity, kurasa Oscar tadi sempat menitipkan sesuatu. Kau bisa mengambilnya di kamarku.” “Kau curang Dion, huh! Tapi kubiarkan kau lolos kali ini,” ucap Rerity berlari ke kamar apartemen Dion.
Valey menatap Dion bertanya ketika laki-laki itu telah duduk disampingnya dan malah memeluk erat tubuhnya dari samping. “Aku merindukanmu Valey …” bisik Dion pelan. Setelah kemarin Valey merasa lebih tenang, Dion segera membawa gadis itu untuk datang bermain di apartemennya yang sayangnya terdapat sosok penganggu bagi Dion.
Senyuman kecil terbit dari bibir Valey dan setelahnya dia malah melepaskan pelukan Dion padanya. Valey memberi jarak yang cukup lebar antara dirinya dan Dion.
“Apa dengan jarak seperti ini … Kau masih merindukanku?” tanya Valey menggoda Dion yang kini bermuka muram. “Aku merindukanmu Valey ….” tukas Dion memelas.
Valey bergeser sedikit mendekati Dion. “Bagaimana jika jaraknya seperti ini? Apakah rasa rindumu telah terobati?” Dion melipat kedua tangannya didepan dada. “Tidak,” jawabnya singkat. “Jika sekarang?” tanya Valey ketika dia hanya berjarak sejengkal dari Dion. “Kau menggodaku Valey? tentu saja tidak.” Dion segera menarik Valey kembali kedalam pelukannya. “Rinduku tidak akan pernah terobati sebelum kau masuk kedalam pelukanku …” ucap Dion menyandarkan kepalanya pada bahu Valey.
“Mulutmu manis sekali, sudah berapa wanita yang terjerat oleh perkataanmu ini?” “Kau yang pertama Valey, dan kau juga yang terakhir.” “Siapa yang bisa percaya mulut seorang pria? Lihatlah, aku nyaris saja tertipu.” Valey tertawa kecil lalu membalas pelukan Dion. “Sudah berapa lama ya …” bisik Valey pelan. “Mungkin satu abad.” Valey kembali tertawa karena ucapan Dion yang sebenarnya tidak ada hal yang lucu terdapat dalamnya. Namun kali ini gadis itu dapat dengan mudah tertawa karena Dion.
“Kurasa baru satu minggu yang lalu kita tidak bertemu.” “Tidak, pasti lebih, mengapa aku sangat rindu hingga mau mati saja rasanya.” Valey kembali tertawa dan menjawab, “Kau berlebihan … Aku saja tidak begitu merindukanmu.” Dion merekahkan senyum karena perkataan Valey. “Oh benarkah? Lantas siapa yang sering menanyakan diriku pada Rarity?” “Itu pasti seseorang yang sangat cantik,” jawab Valey. “Ya ya terserah saja. Tapi Valey, kau sungguh-sungguh akan meninggalkan Manhattan dan mengikuti ibumu ke Strasbourg?” tanya Dion serius. Valey mengalihkan pandangannya dari Dion dan berkata, “Kurasa … Lagi pula ayahku telah meninggalkan kami, untuk apa aku tetap berada di kota yang terus menorehkan luka di hatiku dan ibu …” ucap Valey lirih.
Dion menghela nafas. “Bisakah aku menjadi alasan untuk kau tetap tinggal?” Valey mengelus pipi Dion perlahan sebelum mendaratkan kecupan kecil dipipi lelaki itu. “Percayalah padaku sayang, Tuhan sudah menentukan kehidupan kita. Kau tidak perlu khawatir.” “Hah … kuharap aku benar-benar bisa mempercayainya ….”
“Hey, bukankah kau mengatakan akan membawa Valey ke rumah nenek? Mengapa tidak pergi dan malah asik memonopolinya?!” sentak Rerity membuat Dion secara spontan berdiri. “Rerity, tidak bisakah kau membiarkanku berduaan dengan Valey? Padahal kau perempuan, tapi mengapa aku merasa tersaingi …” ucap Dion lalu menarik Valey untuk berdiri juga. “Sudahlah, aku akan pergi sekarang. Jika kau mau pulang jangan lupa untuk mengunci apartemen ku.” “Hei …!”
Dion segera membawa Valey menuju mobilnya untuk menemui neneknya yang tinggal tidak jauh dari apartemen. 15 menit perjalanan dihabiskan Valey untuk berdiam diri, demikian juga Dion yabg sibuk mengemudi. Tiba di pekarangan rumah kayu yang dicat putih tulang itu, Dion segera memberhetikan mobilnya dan turun bersama Valey.
“Apakah nenek masih mengingatku?” tanya Valey saat Dion menekan bel rumah. “Ya, nenek pasti masih mengingatmu, lagi pula tidak ada satu hal pun yang harus dilupakan tentang dirimu.” “Sejak kapan kau belajar bersikap seperti ini? Aku hanya mengenal Dion yang kaku huh,” ejek Valey memeluk lengan Dion. “Yeah, mungkin semenjak aku merenungi kesalahanku.”
Tak lama setelahnya pintu terbuka, menampakkan wanita tua dengan syal rajut buatan tangan mengelilingi lehernya. Dia nenek Dion yang sebelumnya meminta Dion untuk membawa Valey ke rumahnya untuk berkunjung.
“Oh Valey … Lihatlah seberapa cantiknya dirimu setelah pertemuan terakhir kita,” seru Ny. Werdon memeluk Valey. Valey membalas pelukan hangat Ny. Werdon sebelum Dion melegang masuk tanoa permisi. “Lihatlah, aku yang merupakan cucunya saja tidak dipedulikan,” sindir Dion pada neneknya. Ny. Werdon lantas melepaskan pelukannya pada Valey dan menatap sinis pada cucu laki-lakinya yang sangat manja itu. “Siapa yang menyuruhmu datang? Aku hanya menyuruhmu untuk menjemput Valey Dion. Sekarang kau bisa pergi karena Valey dan aku akan memulai kencan kami.” Ny. Werdon mengapit tangan Valey dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah yang tidak begitu luas itu. Dia membawa Valey menuju dapurnya yang telah dipenuhi banyak bahan makanan. “Nenek!” kesal Dion melempar bantal sofa ke lantai.
“Lihatlah laki-laki itu Valey, sudah besar tapi tetap bersikap layaknya anak umur 5 tahun.” Ny. Werdon tertawa kecil kemudian membiarkan Valey mengikutinya menuju wastafel. “Aku mengundangmu karena aku ingin membuat pai labu sekarang ini, apa kau tidak keberatan?” “Tentu Ny. Werdon …” ucap Valey tersenyum kecil. “Sudah kuingatkan untuk panggil aku nenek saja!” peringat Ny. Werdon memakai aparonnya. “Ya, baiklah nek.” Valey membasuh tangannya kemudian mulai megupas kulit labu kuning yang akan dijadikan bahan utama untuk membuat pai.
“Kudengar kau akan pindah Valey, apakah itu benar?” tanya Ny. Werdon yang mengupasi beberapa apel untuk diberikan kepada Dion yang mungkin tengah bermain ponsel di ruang tengah. Tangan Valey berhenti sebentar sebelum kembali melanjutkan tugasnya. “Ya,” jawabnya singkat. “Mengapa?” “Ayahku pergi membawa wanita lain, dan ibuku bukan dari tempat ini. Kami akan pindah ke tempat kelahiran ibuku ….” ucap Valey yang telah selesain mengupas labu. “Ah, maafkan aku.” “Tidak apa nek, lagi pula aku tidak dekat dengan ayahku. Jadi tidak ada masalah besar jika dia pergi.” Valey berkata dengan ceria. Dia memotong-motong kecil labu itu lalu membawanya kewastafel untuk dibilas.
“Kemana kau akan pergi?” tanya Ny. Werdon lagi yang telah selesai mengupas dan memotong apel. Dia kini duduk diam dikursi untuk mendengarkan cerita Valey. “Strasbourg, tapi sayang sekali kami mungkin tidak akan datang lagi ketempat ini.” “Aku jadi merasa kasihan pada Dion. Sudahlah biar kulanjutkan dari situ, kau bisa mengantarkan apel ini untuk Dion.” Ny. Werdon mengambil keranjang bmyang berisi potongan labu kemudian memasukannya pada panci untuk direbus. “Baiklah nek, jika kau memerlukan bantuan panggil saja aku,” ucap Valey sebelum melegang pergi meninggalkan Ny. Werdon.
Valey meletakan potongan apel itu diatas meja kemudian duduk disamping Dion. “Hey, sepertinya aku harus pulang sebelum senja, pesawatku take-off pukul 8 malam.” “mengapa kau tidak membertauku mengenai keberangkatanmu Valey? Ini begitu tiba-tiba ….” ucap Dion dengan raut tampak tak terima. Valey meringis kecil merasa tidak enak hati pada Dion dan dia hanya bisa memeluk tubih laki-laki itu berharap dia bisa tenang. “Maaf, aku ingin sekali memberitaumu kemarin, tapi ibuku tidak mengijinkan aku keluar rumah sama sekali.” Dion menghela nafas berat, dia lantas berdiri dan menarik tangan Valey untuk ikut. “Nek, kami tidak bisa menikmati pai lezatmu sekarang, sampai jumpa lain waktu!” teriak Dion yang sudah ada dipekarangan rumah Ny. Werdon. “Ya ya, apa yang kuharapkan dari anak nakal sepertimu. Valey semoga sampai tujuan dengan selamat, wanita tua ini pasti akan merindukanmu!” teriak Ny. Werdon juga saat Valey melambaikan tangannya dari dalam mobil dan mulai menjauhi pekarangan rumahnya.
Ponsel Valey bergetar dan dilihatnya sebuah pesan dari ibunya masuk. Valey lantas menghela nafas berat sebelum kemudian berbicara pada Dion, “Dion, bawa aku ke bandara, ibuku ternyata mempercepat jadwal penerbangannya kareba lusa sudah harus masuk di tempat kerja yang baru.” “Secepat ini? Aku baru saja akan membawamu mengunjungi danau dekat rumahku, tempat dimana pertama kali kita bertemu …” “Lain kali saja Dion, aku harap kau mengerti.” “Baiklah,” ucap Dion seadannya. Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka karena ketegangan menyelimuti seluruh mobil. Valey merasa tidak enak untuk meninggalkan Dion, tetapi tidak tidak mungkin membiarkan ibunya sendirian.
Kini mobil Dion telah tiba di bandara dengan Valey yang masih setia duduk di dalan kursi. Dia hendak memberikan Dion hadiah kecil sebelum pergi, namun sayangnya Dion masih dengan mukanya yang muram membuat Valey tidak berani menganggunya.
“Dion, sampai jumpa … Senang mengenalmu, aku yakin tak lama lagi kita akan berjumpa. Percayalah padaku dan tunggu sampai saat itu terjadi.” Valey memeluk tubuh Dion erat sambil mengigit bibirnya menahan tangis. “Ini hadiah kecil dariku, kuharap kau tidak secepatnya melupakanku.”
Valey melepaskan pelukannya dan segera membuka pintu mobil yang ternyata terkunci.
“Kau akan benar-benar pergi seperti ini? Meninggalkanku hanya dengan sebuah pelukan? Kau kejam Valey,” ucap Dion segera menarik tangan Valey yang membuat Valey terjatuh dalam pelukannya. Dion memeluknya erat seakan tidak ingin melepas Valey untuk pergi. “Bisakah aku mendapat sesuatu yang lebih spesial dari pelukan …?”
Valey mengangkat kepalanya dan menatap wajah sayu dion yang tengah menahan tangis, perlahan Valey mendekatkan wajahnya dengan wajah Dion hingga bibir keduanya bertemu.
“Sampai bertemu lagi Dion,” ucap Valey melepaskan pelukannya. Dia turun segera saat Dion telah membuka pintu mobil. “Sampai bertemu lagi Valey ….”
Demikianlah Valey dan Dion berpisah dibandara tanpa air mata yang menetes, keduanya berusaha untuk tetap kuat diperpisahan yang bergitu menyesakkan dan berusaha tetap tegar melewatinya hingga tiba saatnya nanti Tuhan mempertemukan kembali sepasang kekasih itu kembali.
End
Cerpen Karangan: Aen Bubu Aen Bubu(nama pena) Gadis SMA yang lahir pada bulan November dihari yang ke-10 tahun 2004. Menyukai cerita Fantasy, Humor dan Romansa mulai saat mengenal sebuah platform membaca. Menulis merupakan kesenangan tersendiri setelah membaca komik. Makanan dan minuman favorite adalah cokelat tapi sangat membenci rasa manis:(. Oh ya, ini hanya sekedar perkenalan singkat, jika ingin tau tentang diriku bisa kunjungi laman Instagram @aen.bubu_ Semoga menyukai karya milikku. Terima kasih >_Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com