Pagi itu hempasan ombak kecil di batu karang mengiringi lamunan seorang pria paruh baya. Pria tersebut menikmati pemandangan alam pantai di sekitarnya yang tidak jauh dari kediamannya. Di sebuah kursi usang yang berada di teras sederhana rumahnya, pria itu duduk ditemani kegundahannya. Matanya tertuju pada beberapa anak kecil yang berlarian di bibir pantai mengejar ombak-ombak kecil penuh semangat. Suara riuhnya ombak menyamarkan teriakan kegembiraan mereka. Melihat anak-anak itu tertawa gembira, mengingatkannya akan putra semata wayangnya. Pria paruh baya itu dipanggil dengan nama Pak Darman.
Dahulu, kala putranya masih kecil, mereka sering menghabiskan waktu di pantai itu. Berkejaran dengan ombak-ombak kecil yang menyapu bibir pantai sama halnya seperti yang dilakukan anak-anak itu. Membuat istana pasir, berenang, mengumpulkan kerang-kerang kecil di bibir pantai, sesekali memancing di laut lepas, menikmati terbit dan tenggelamnya mentari, serta bersenda gurau bersama. Seketika itu juga pak Darman merasakan rindu yang menyeruak memenuhi benaknya. Ada sesuatu yang tak tertahankan menyelinap di pelupuk matanya, sekuatnya ia menahan kerapuhan yang ia pendam.
“Ini pak, ibu bawakan camilan.” Suara seorang perempuan paruh baya membuyarkan lamunannya. Perempuan paruh baya itu tidak lain adalah istrinya, bu Laras. Bu Laras meletakkan piring berisi camilan dan secangkir kopi hangat pada sebuah meja kayu berukuran kecil yang berada tepat di depan pak Darman. “Iya, bu. Terimakasih.” Kata pak Darman sembari meraih secangkir kopi hangat itu dan serta merta menyeruputnya secara perlahan. Bu Laras kemudian ikut duduk di samping suaminya. Memandangi sekitar pantai dan ikut menikmati alunan desir ombak. Tiupan lembut angin yang berhembus menggerakkan rambut yang tidak lagi hitam miliknya. Mata bu Laras seketika tertuju pada anak-anak yang sedari tadi dipandangi oleh pak Darman. Seketika itu bu Laras tau apa yang ada di benak suaminya tersebut.
“Bapak pasti rindu Gilang, ya?” Bu Laras menoleh ke arah pak Darman, dan menatap wajah suaminya itu. Sejenak tidak ada suara diantara keduanya. Pak Darman mengangguk pelan sembari membalas pandangan bu Laras. Nampak wajah pak Darman menggambarkan raut kesedihan. Bu Laras menjadi sedikit khawatir terhadap suaminya.
“Jika bapak rindu Gilang, cobalah untuk menghubunginya” Kata bu Laras yang memahami perasaan suaminya. Semenjak Gilang, putra semata wayangnya memiliki keluarga kecil, bu Laras dan pak Darman melewati hari dengan ditemani kesunyian, meski ombak di laut terdengar begitu keras setiap waktunya. Tapi itu tidak mampu menghilangkan rasa sunyi yang mereka rasakan. Meskipun pantai tidak pernah sepi dengan gelak tawa dari anak-anak yang bermain dan bersenda gurau. Tapi masih belum bisa membuat mereka ikut tertawa lepas. Gilang bersama keluarga kecilnya memilih menetap di luar pulau jauh dari tempat kelahirannya.
“Bapak ingin, bu. Tapi Bapak tidak mau mengganggu Gilang. Pastinya Gilang sekarang sedang bekerja. Bapak tidak mau mengganggu konsentrasinya dalam bekerja.” Kata pak Darman sembari menyeruput kembali secangkir kopi dari meja kecil di hadapannya yang mulai mendingin. Kini matahari senja kembali ke peraduannya. Suara gelak tawa anak-anak telah usai. Satu per satu mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Meninggalkan debur ombak yang semakin meninggi, dan udara yang semakin dingin.
Malam itu, pak Darman membuka pintu kamar milik anaknya, Gilang. Pak Darman masih berdiri di pintu kamar sambil memandangi seisi kamar. Kamar itu sengaja dibiarkan sama seperti ketika Gilang masih berada disana. Pak Darman melangkah dan mengambil sebuah album foto yang diletakkan Gilang di sebuah meja belajar tepat sudut kamar. Album itu berisikan foto-foto kenangan semasa Gilang kecil hingga ia beranjak remaja. Pak Darman membuka album foto itu. Lembar demi lembar ia pandangi. Terkenang kembali masa-masa bahagianya bersama Gilang. Sesekali senyuman tipis penuh rindu tersungging hiasi wajah keriputnya. Pintu Kamar kembali terbuka, bu Laras memandangi suaminya dan perlahan melangkah mendekati suaminya. Kemudian duduk di samping pak Darman sambil memegangi bahu suaminya itu. Sentuhan hangat itu membuat pak Darman memandangi wajah istrinya. Kemudian pak Darman membagikan album itu kepada bu Laras untuk bersama melihatnya. “Lihat bu, anak kita Gilang. Begitu terlihat manis saat itu. Waktu begitu cepatnya berlalu. Gilang kecil kita sudah besar dan telah bisa menentukan arah hidupnya.” Ucap pak Darman kepada bu Laras sambil menunjukkan beberapa foto Gilang.
Bu Laras tersenyum pada suaminya itu. Ia tau, suaminya sangat menyayangi putra satu-satunya itu. Bu Laras sangat tau jika Pak Darman selalu menemani Gilang dari kecil. Tiada hari di rumah ini tanpa canda gurau keduanya. Meskipun terkadang ada masalah-masalah kecil yang mereka hadapi, tetapi itu tidaklah berarti. Mereka tidak hanya sebagai ayah dan anak, melainkan juga sebagai rekan dan sahabat. Ia juga sangat mengetahui bahwa suaminya saat ini sangat merindukan putra mereka.
“Begitulah pak, waktu tidak pernah bisa terulang kembali. Pada akhirnya kita memang akan menjalani ini semua. Kesepian ini akan datang, hanya menunggu saatnya saja untuk tiba. Dan sekarang saat itu telah datang pada kita. Apa pun yang sudah terjadi, kita selayaknya orangtua harus mengikhlaskan dan selalu mendoakan anak kita. Kebahagiaan dia, adalah cerminan kebahagiaan bagi kita. Jika bapak merindukan Gilang, hubungilah. Tidak usah khawatir. Apa bapak ingin ibu yang menghubungi Gilang?” Bu Laras menawarkan kepada pak Darman. Pak Darman hanya diam tanpa kata dan terus memandangi tiap lembar foto pada album yang ia pegang. Matanya berkaca-kaca. Bu Laras mendekap suaminya dengan lembut dan ikut larut dalam kegelisahan suaminya.
Malam ini, bu Laras dan pak Darman tenggelam dalam sebuah kenyataan yang pernah terjadi dan telah lama berlalu meninggalkan sesuatu yang disebut kenangan. Kenangan itu sangat kuat tersimpan dan terbalut dengan cinta dan kasih di hati mereka.
Sebuah gambar seorang gadis kecil begitu menarik perhatian ayahnya. “Sedang gambar apa sayang?” Tanyanya pada putri kecilnya itu. “Fanny, sedang menggambar pemandangan laut, ayah. Bagus, kan?” Tanya gadis kecil itu sambil menunjukkan gambar yang dibuatnya kepada ayahnya. Ayahnya mengambil gambar tersebut dan tersenyum. “Wah, gambar paling indah yang pernah ayah lihat!” Kata ayahnya. “Sungguh?!” Mata gadis kecil itu berbinar gembira mendengarnya. Seketika itu gadis kecil tersebut beranjak dari tempatnya duduk menuju dapur. “Ibu! Coba lihat gambar yang kubuat! Kata ayah, gambar Fanny bagus!” Gadis kecil itu mendatangi ibunya di dapur sambil berlari kecil.
Gambar buatan gadis kecilnya, mengingatkan pada tanah kelahirannya. Terbesit rasa rindu di hatinya seketika itu. Teringat ketika ayah dan ibunya memanggil namanya penuh kasih sayang. Gilang Mahardika. Ya Gilang, putra pak Darman. Pak Darman yang seorang nelayan di desanya. Setiap hari mencari ikan untuk kemudian dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hasil jerih payahnya sebagai nelayan tersebutlah yang ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Sebelum Gilang merantau mencari kerja, seringkali ia menemani ayahnya untuk mencari ikan. Sepulangnya, ibunya, yang dipanggil dengan sebutan bu Laras telah menyambut mereka dengan hidangan yang nikmat. Mereka makan bersama dalam kehangatan keluarga yang harmonis. Ia merindukan semua itu. Ia merindukan semilir angin pantai yang menyejukkan, suara alunan debur ombak yang memecah keheningan. Ia merindukan kampung halamannya. Ia merindukan kedua orang tuanya. Gilang rindu pulang.
Kicauan burung milik pak Darman hari itu membuat pak Darman sedikit terhibur. Pak Darman memelihara beberapa ekor burung di rumahnya. Ia letakkan sangkar-sangkar burung miliknya tersebut tepat di depan teras rumahnya. Ia sandarkan tubuhnya di kursi kayu tempat Ia biasa menikmati keindahan laut. Ditemani secangkir kopi hangat buatan bu Laras. Hari itu pak Darman masih lelah, hingga butuh waktu sejenak untuk beristirahat di rumah. Usia yang tidak muda lagi membuatnya cepat lelah.
Bu Laras tengah menjemur ikan-ikan hasil tangkapan suaminya karena sebagian hasil tangkapan diolah secara mandiri untuk dikonsumsi. Hari itu begitu cerah. Matahari menampakkan cahayanya yang cukup menyilaukan. Langit begitu birunya, turut memberi warna pada laut. Sebuah mobil dari kejauhan menuju ke arah rumah mereka. Bu Laras menyipitkan mata untuk menghalau silaunya cahaya matahari berusaha melihat kedatangan mobil itu. Tidak lama mobil itu pun berhenti. Tampak seseorang yang mengendarai mobil tersebut dari kaca mobil yang terbuka. Bu Laras mengenalinya. Bu Laras segera meletakkan tempat ikan yang Ia bawa. Pak Darman pun segera berdiri dari kursinya, siap menyambut kedatangan orang tersebut. Orang yang begitu sangat ia rindu dan nantikan selama ini.
Seorang lelaki serta istri dan kedua anaknya turun dari mobil dan bersama-sama menuju rumah yang telah lama dirindukan. Sesampai di teras, lelaki itu langsung menciumi punggung tangan pak Darman dan bu Laras. Tak kuasa lagi pak Darman menahan rindu, Ia segera memeluk erat lelaki itu. Matanya berkaca-kaca menahan haru. Berharap ini nyata! Bukan mimpi. Gilang! putra semata wayangnya kini berada di hadapannya. Gilang pulang!
Cerpen Karangan: Jum’at Tuniah Blog / Facebook: Jum’at Tuniah Jum’at Tuniah, lahir pada tanggal 02 Oktober 1987 di kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Sebagai pengajar di sebuah Sekolah Dasar swasta. Menyukai puisi, cerpen dan novel. Memiliki akun Instagram @2ni34zure4. Email: jumattuniah324[-at-]gmail.com.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com