Adzan subuh membangunkanku dari tidurku. Bergegas aku mengambil air wudhu dan menyegerakan salat subuh. Biasanya aku sudah terbangun sebelumnya. Tapi kali ini aku bangun sedikit lebih terlambat dari biasanya. Mungkin karena aku tidur terlalu malam. Akhir-akhir ini aku memang menghabiskan waktuku untuk berkutat dengan buku-buku pelajaranku. Tahun ini aku ingin meraih target yang telah aku tetapkan. Target itu tidak hanya aku tuliskan pada secarik kertas yang aku tempelkan pada dinding kamarku, melainkan juga kuat tertanam di pikiran dan hatiku. Targetku tidak lain adalah harus mendapatkan nilai terbaik di sekolahku sebagai salah satu syarat memperoleh beasiswa pendidikan di salah satu Universitas ternama di Yogyakarta. Bagiku beasiswa itu sangat berarti.
Selesai melaksanakan salat subuh, kubuka jendela kamar. Udara segar menerpa kulit wajahku. Tidak hanya menyentuh bagian kulit wajahku saja, melainkan masuk hingga ke relung tubuhku yang paling dalam. Berucap syukur aku masih bisa menghirup udara sejuk ini. Kutatap langit yang kini mulai disinari cahaya mentari. Indahnya lukisan alam ini, aku terhanyut untuk sesaat.
“Naraa..! Kemarilah bantu ibu!” Suara ibu yang memanggilku sontak membuat keterhanyutanku usai. “Iya bu! Jawabku sambil segera merapikan tempat tidurku. Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Tempat tidur yang cukup rapi sungguh membuatku nyaman berbaring disana untuk sekedar sejenak berlari dari penatku. Selepas itu, kuambil handuk dan segera bergegas menuju ke arah suara ibu yang memanggilku. Langkah kakiku telah membawaku ke dapur. Disana ibu sedang menyiapkan sarapan pagi kami. Aku turut membantu ibu menyiapkan sarapan pagi kami di sebuah meja kayu kecil buatan tangan ayahku. Walau tidak sebagus meja yang dibuat atau dijual di toko-toko furnitur, tetapi meja itu cukup kuat dan rapi. Pikirku ayahku cukup mahir dalam hal ini. Tak perlu waktu lama, semua sudah tersaji di meja, masakan ibuku yang sederhana tertata rapi di setiap piring dan mangkoknya. Tapi aku tidak perlu meragukan lagi nikmatnya masakan ibuku. Suatu saat jika aku harus pergi jauh dari rumah untuk menyelesaikan studiku, mungkin masakan ibuku adalah salah satu bagian yang akan aku rindukan.
“Taraaaa…. Udah beres! Nara mandi dulu aja ya bu!” “Ga sarapan dulu aja Nar?” “Nara ga lama kok mandinya, bu. Biar seger aja, trus siap deh berantas abis masakan ibu”. Celotehku seraya menyunggingkan senyum termanis yang aku miliki untuk menggoda ibu kemudian segera menuju kamar mandi. Sementara itu, ibu ikut tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ibu kemudian memanggil ayahku untuk makan bersama. Usai mandi, aku segera bergabung bersama ayah dan juga ibu untuk makan bersama di sebuah meja makan yang penuh kehangatan. Suara burung-burung kecil di sekitar rumah menemani sela-sela canda gurau kami pagi itu.
“Nara pengen lulus sekolah dengan nilai terbaik dan mendapatkan beasiswa, yah” Kataku pada ayah. Ayah memandangku dengan tatapan penuh semangat. Tampak ia mempercepat mengunyah makanannya karena tidak sabar untuk segera menjawab pertanyaanku. “Ya, bagus itu Nar! Ayah mendukungmu. Ayah yakin kalau kamu pasti bisa, nak. Kegigihan dan konsistensi tinggi yang harus kamu miliki untuk ketercapaian tujuanmu itu, nak”. Kata ayah penuh semangat bahkan terdengar tidak ada keraguan sama sekali dari ucapan ayah tersebut. “Tapi, seandainya Nara berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke Yogyakarta, bagaimana dengan ibu nanti? Siapa yang membantu ibu berjualan?” Tanyaku dengan sedikit khawatir. Ibu langsung meraih tanganku dan menggenggamnya. Menatapku dengan tatapan yang begitu dalam sambil tersenyum mencoba menenangkanku. Aku memandangi wajah ibu. Wajah yang begitu teduhnya hingga bisa menenangkanku tatkala aku sedang terombang-ambing oleh badai kekhawatiran dalam hatiku. “Anakku, Nara yang cantik. Kamu tidak usah khawatirkan ibu. Ibu masih kuat untuk melakukan pekerjaan ibu. Bagi kami, kamu adalah harapan dan kebahagiaan kami satu-satunya. Apapun pilihan kamu, selama itu masih baik bagimu dan juga orang lain, kami sebagai orangtuamu hanya akan mendukung dan selalu mendoakanmu. Jadi, jangan pernah ragu melangkahkan kakimu untuk tujuan besar dalam hidupmu”. Lagi-lagi mama tersenyum. Senyuman yang membuatku semakin yakin untuk tujuanku. Aku ingin meraih mimpiku menjadi seorang dokter, cita-cita masa kecilku yang selalu memotivasi perjalananku hingga sekarang. Dimana aku juga berharap bisa menjadi kebanggaan bagi ayah dan ibu.
Pagi yang indah, pagi yang kunantikan. Untuk pagi inilah aku berjuang beberapa waktu yang lalu, untuk bisa melewatinya dengan harapan besarku ke depannya. Pagi inilah aku akan melewati mata kuliah pertamaku. Aku berhasil memperoleh targetku dengan mulus. Usaha yang aku lalui tidak mengecewakanku. Kini aku mengenyam pendidikan di sebuah universitas yang aku harapkan.
Aku terlahir di keluarga yang sederhana, tapi ku berharap mimpiku bukanlah mimpi yang sederhana. Aku ingin membahagiakan dan membanggakan kedua orangtuaku sebagai wujud rasa sayangku kepada mereka. Mereka tidak memaksaku, dan sebaliknya, tidak ada keterpaksaan dalam diriku untuk hal ini. Bagiku, senyum mereka adalah hal indah setiap harinya yang Tuhan berikan padaku. Aku merasa senyuman kebahagiaan orangtuaku sesuatu yang ajaib. Karena senyum bahagia mereka bagaikan kekuatan untukku dalam meraih semua mimpiku.
Mimpiku ini aku lukiskan pula di sebuah kamar dengan ukuran dua kali tiga meter, dimana kamar ini akan aku tempati selama studiku berlangsung. Dan Di kamar ini pula aku menyelesaikan setiap tugas mata kuliahku dengan ditemani suara tuts keyboard laptop usang milikku. Camilan ringan cukup menambah energiku saat ini. Secangkir mocca hangat mengalir dari kerongkonganku, menghangatkan tubuhku dari dinginnya malam. Detikan jarum jam semakin bergema di penghujung malam. Meramaikan suasana bersamaan dengan suara ketikan dari jari-jemariku.
Suatu ketika gawaiku tertinggal di salah satu kantin di kampusku. Beruntung ada seorang mahasiswa yang dengan jujur mengembalikannya padaku. Kebetulan ia duduk berseberangan denganku kala itu. Tubuh yang tinggi dan tegap, berambut sedikit ikal, berkulit cokelat, mengenakan tas selempang hitam dengan sopan menyerahkan gawai milikku. Aku berterimakasih padanya dan setelah itu segera menuju kelas untuk perkuliahan selanjutnya. Belakangan aku tau mahasiswa tersebut bernama Awan. Beberapa kali kami bertemu di kantin yang sama. Awan mendatangiku kali ini. Dan menawarkan secangkir minuman kesukaanku. Pembicaraan ringan di siang hari itu cukup berkesan bagiku. Tawaran secangkir minuman itu membuat kami memulai cerita baru di setiap hari kami.
Kami pun menjadi akrab. Kehadiran Awan membuatku bertambah semangat dalam menjalani setiap hariku. Awan anak yang cerdas, tidak jarang aku bertanya perihal tugas-tugasku padanya. Berbagi cerita, berbagi canda dan juga duka. Kami sama-sama anak yang terlahir dari keluarga sederhana dan memiliki mimpi yang sama. Dari sinilah kami sailing menyemangati dan saling mendukung.
“Nar, bagaimana kuliahmu hari ini, nak?” Suara ayah yang meneleponku malam ini menanyakan kegiatanku seperti biasanya. Ayah selalu menanyakan hari-hariku menghadapi perkuliahanku. Tidak hanya sekedar bertanya tentangku, tetapi ayah memberikan semangat dan juga memotivasiku agar aku tetap bisa berada di jalur rel yang sudah aku rancang sedari awal. “Seperti hari biasanya, yah. Tugas-tugas Nara selalu menunggu. Untung ada Awan yang siap bantu Nara.” Ucapku. “Nara jangan terus bergantung sama Awan. Awan kan juga punya tanggungjawab yang harus Awan kerjakan. Tugas-tugas Awan juga tidak kalah banyak dari Nara. Nara harus bisa mandiri dan berusaha lebih keras lagi untuk mencapai tujuan Nara. Nara mengerti kan maksud ayah?” Tanya ayah seraya memberikan nasihat padaku. “Iya, yah. Nara mengerti.” Aku hanya menjawab singkat. Tetapi nasihat ayah membuatku memikirkannya kembali. Aku memang tidak seharusnya bergantung pada Awan. Aku terlalu egois untuk mengandalkannya di setiap tugas-tugasku. Kali ini aku harus memperbaiki diri untuk berusaha lebih keras lagi.
Usahaku semakin keras ketika aku harus menghadapi tugas akhir di bangku perkuliahanku. Begitu pula halnya dengan Awan. Waktu kebersamaan kami pun menjadi berkurang. Kami sama-sama konsentrasi pada satu titik tahap pencapaian kami sebagai wujud dari keseriusan kami dalam menggapai apa yang kami sebut mimpi di awal kami menginjakkan kaki pada universitas ini. Sehingga totalitaslah yang harus kami lakukan. Hal ini tidak sama sekali mengganggu hubungan kami. Bahkan kami tetap saling mendukung serta menguatkan satu sama lainnya.
Tugas akhirku telah aku lalui. Aku dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan. Aku merasa bangga karena perjuanganku membuahkan hasil yang sesuai harapan. Begitu juga dengan Awan. Kami telah menyelesaikan tahap awal untuk mimpi kami. Acara wisuda sebantar lagi akan digelar. Aku berharap kedua orangtuaku dapat hadir untuk menyaksikan pencapaianku pada titik ini.
Pagi itu, di kantin seperti biasanya, aku ditemani Awan berbincang sambil menikmati camilan dan minuman favorit kami. Kami membicarakan persiapan wisuda kami beberapa hari mendatang. Bunyi gawaiku mengalihkan perhatianku. Ibu? Tumben pagi begini ibu menghubungiku. Aku kemudian menjawab panggilan ibu. “Nar, ayahmu dirawat di rumah sakit.” Nada suara ibu sangat khawatir. “Ayah kenapa bu?” Tanyaku panik. Awan terdiam melihatku. Sepertinya ia tau bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. “Ayahmu baru saja terkena serangan jantung, Nar. Dan sekarang masih belum sadarkan diri.” Suara ibu semakin lirih terdengar. Seketika aku dipenuhi kebingungan dan rasa kekhawatiran yang amat sangat. Ayah…
Tidak menunggu lama. Aku segera pulang, Awan mengantarku hingga bandara. Setibanya aku di tanah kelahiranku, aku segera menuju rumah sakit tempat dimana ayahku dirawat. Kemudian aku menanyakan kamar dimana ayahku dirawat. Kulangkahkan kedua kakiku menuju salah satu pintu kamar di rumah sakit itu dan kubuka perlahan, kulihat ibuku berada di sana. Matanya sembab karena air mata. Ayahku terbaring di ranjang rumah sakit dalam keadaan koma. Aku tidak kuasa menahan diri, air mataku mengalir deras.
Keesokan harinya, ayah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Aku benar-benar hancur. Ibu memelukku dengan erat. Kami larut dalam kehilangan.
Aku duduk disini, menunggu namaku dipanggil sebagai salah satu mahasiswa yang telah lulus dalam menyelesaikan kesarjanaannya. Nara Halina Kamala. Samar-samar namaku dipanggil. Aku melangkah maju menuju podium untuk pemindahan tali atau kucir toga yang aku kenakan sebagai simbol kelulusan serta penerimaan ijazah. Air mataku menetes, toga dan ijazah yang telah kuperjuangkan ini kupersembahkan bagi almarhum ayahanda tercinta. Meski ayah tidak turut hadir di sini, aku yakin ayah bangga atas pencapaianku pada tahap ini dan ayah akan selalu hadir dalam setiap hariku di hatiku.
Pagi ini begitu cerahnya, aku menaburkan bunga di makam ayah. Toga yang aku kenakan, aku letakkan di atas pusara ayah. Toga ini kupersembahkan kepada ayah, karena sesungguhnya perjuanganku dalam meraih mimpiku tidaklah terlepas dari pengorbanan dan kepercayaanmu padaku selama ini ayah. Semoga ayah tenang di sana. Di surga yang abadi. Tuhan boleh mengambilmu, Ayah. Aku ikhlas atas kepergianmu, atas kehilanganmu. Tapi semua semangat dan nasihat yang ayah berikan, akan aku tanam dalam hati dan ingatanku sebagai pedoman dalam menjalani hari-hariku ke depan.
Cerpen Karangan: Jum’at Tuniah Blog / Facebook: Jum’at Tuniah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com