Bukan sebuah hal yang aneh bila jalanan di sekitar Tunjungan macet pada hari keenam dalam seminggu. Gemerlap lampu-lampu dengan beragam bentuk menghiasi tiap-tiap sudut jalanan. Bahkan lampu “tumbler” yang seperti Boyer jual di tokonya juga sempat terlihat.
“Duh, kenapa macet yaa, yang?” Byla menanyai Boyer sambil mendekat ke salah satu sisi telinganya. “Biasalah. Para jomblo kan juga tidak mau melewatkan akhir pekan! Hehehe!” ucap Boyer dengan penuh canda tawa.
Byla, gadis yang duduk di jok belakang Boyer, masih setia menemaninya meski ayahnya membenci Boyer karena dia tak kunjung memperistrinya. Ayah Byla malu dengan apa kata-kata pedas dari tetangga samping kanan kiri. Boyer selalu beralasan soal finansial yang receh itu. Receh untuk dipermasalahkan karena kenyataannya Boyer sudah punya pekerjaan tetap sebagai staff gudang pada salah satu pergudangan di Surabaya.
“Byl, bapak ada di rumah gak?” “Gak tau. Kalau jam segini bapak belum pulang kayaknya. Kenapa emang yang?” “Pengen ketemu aku, ada yang perlu aku bicarain.”
Kata-kata Boyer amat serius seperti seorang murid yang memiliki masalah di sekolah lantas curhat kepada guru BK. Sayangnya, tatapan keseriusannya tak mampu dilihat oleh mata indah Byla. Wajah Boyer tertutup helm dan masker. Pria berusia 28 tahun itu juga tidak henti-hentinya mengingatkan sang kekasih agar tidak lupa pakai masker. Mengingat koloni virus gak jelas itu memperluas wilayah jajahannya dan memunculkan generasi baru. Sialan!
Seorang pria berpenampilan modis ala orang kantoran namun terlihat kelelahan yang sedang duduk di halte mengingatkan Byla akan masa muda sang ayah. Dia mengingat kisah kelam yang dialami beliau saat itu. Beliau bilang meski kerjaannya dulu kantoran dan penghasilan pas-pasan karena tidak punya ijazah sarjana, namun tetap berani untuk menaklukkan dan meyakinkan hati seorang gadis idaman yang kini telah menjadi ibunya.
Keheranan muncul di benak Byla. Pemikirannya tiba-tiba sejalan dengan sang ayah. Apalagi yang kurang dari Boyer? Dia merasa perlu membicarakan itu nanti di rumah bersamanya. Lumayan lah, Boyer bisa berkunjung sambil menghabiskan makanan-makanan enak yang baru saja mereka berdua beli di Tunjungan. Oleh-oleh malam ini tidak hanya makanan, namun juga ada yang tak berwujud. Yakni foto serta kasih sayang. Eaaa. Mereka tadinya juga sempat difoto oleh seorang fotografer amatiran namun mahir. Byla kemudian menyuruh sang fotografer itu memotret dirinya bersama Boyer dengan pose yang unik-unik, bahkan sampai mampu membuat dirinya senam jantung.
“Waduh, haha, haha. Kok posenya gitu, mbak?” “Gapapa. Mendekati halal kok, dek!” “Ayo mas agih ndang difoto, selak pegel sampean!” (Ayo mas buruan difoto, keburu capek anda!) “Hahaha. Oke, mas! 1, 2, 3…” “Sip!”
Byla tertawa sendiri mengingat percakapan mereka tadi bersama si kang potret yang sendiri di malam minggu. Malam yang tiada taburan bintang, namun tiada pula terguyur air langit. Perempuan itu bersyukur tidak terjadi sesuatu yang mengganggu salah satu hari kebahagiaan kecil mereka. Tapi tiba-tiba senyumnya memudar akibat angin yang berhembus sangat kencang. Laju motor Boyer hendak menyerupai laju cahaya.
“Yang, pelan dong! Kita belum ni…” “Pegangan ya. Bodo amat aku gaspol aja. Keburu hujan. Soalnya tadi aku terasa ada setitik air jatuh di jariku.”
Motor gagah Boyer keluaran 2019 hasil jerih payahnya telah tiba di muka rumah Byla. Sejauh ini masih belum terlihat keberadaan sang camer. Byla lantas menarik tangan Boyer dan mengajaknya berbicara di ruang tamu. Sang ibunda menyambut muda mudi itu dengan penuh keceriaan di antara hidangan dan minuman yang masih hangat tersaji di atas meja.
“Lho, Ma. Ngapain nyiapin makan? Aku juga bawa makanan nih!” “Oalah, ya gapapa lho kak. Itu taruh aja di kulkas. Sekarang makan ini aja. Mas Boyer makan juga ya.” “Waduh, ngerepoti mawon bu…”
Boyer sebenarnya bisa saja mengutarakan isi hatinya bersama ibu Byla, namun dirinya masih agak canggung dan kurang nyaman. Dia lebih srek berbicara dengan ayah Byla karena sesama laki-laki lantas lebih bisa memahami. Boyer sudah cukup akrab dengan ayah Byla seperti bapak bahkan teman sendiri. Namun karena benci dengan sikap Boyer dia lantas “didiemin”. Kalau bertemu mungkin hanya bertanya tentang hal-hal yang umum saja.
Maka dari itu, Boyer berniat melaksanakan apa yang diinginkan sang camer. Selain karena biar gak “didiemin” lagi, pria itu berniat melakukan hal itu karena sempat mendengar ceramah seorang kyai di pengajian minggu lalu. Kyai itu berceramah soal suka duka berumah tangga. Boyer mengingat, beliau mengatakan, “Soal harta bisa dicari sama-sama. Soal rumah numpang sementara sama orangtua itu boleh. Soal kerjaan kalau emang gak ada bisa belajar kemampuan baru. Yang penting kita tidak terjerumus ke jurang perzinahan.” Begitu ucap Sang Kyai.
“Malahan enak kan kalo udah halal. Gituan dapat pahala.” celetuk kembali Sang Kyai sambil diikuti oleh gelak tawa para jamaah.
Kemudian ada seorang pria membuka pagar rumah Byla. Suara motor dan pemiliknya tidak asing di telinga Boyer. Pria itu hadir di ruang tamu sambil memakai helmnya seraya mengejutkan isi penghuni ruangan.
“Lho! Mas Boy! Kapan datang?” kata si pria sebelum melepas helm dan maskernya. “Barusan pak. Gak lama kok. Pak, saya perlu bicara sesuatu.” ucap Boyer dengan nada merendah. “Muasok! Boleh sekali! Tapi nanti dulu ya. Saya tak mandi dulu. Pliket awak iki rasane (badan ini rasanya lengket sekali). Haduh.” Kata pria itu sambil melepaskan ransel yang menggantung di punggungnya.
Perlahan Boyer membuang napasnya. Lega sekali. Kebahagiaan tersurat melalui mimik muka Boyer kala melihat ayah Byla tidak manyun lagi kepadanya. Hatinya semakin mantap untuk menyampaikan unek-uneknya yang sejak kemarin sudah mengganjal. Baru saja Boyer melihat ayah Byla tersenyum, kini giliran sang anak yang hadir ke hadapannya dan memasang wajah manyun.
“Mas Boy, nanti dulu kan bisa! Ayah baru pulang. Nanti dimarahin lagi aku gak urusan lho ya…” “Heh, ayahmu tadi ceria gitu lho. Barusan tak ajak ngobrol jawabnya enak kok.” “Ehmmm, gitu ya. Mana hasil foto dari Mas Firdi tadi?” “Firdi? Fotografer yang tadi namanya Firdi toh? Kok kenal kamu?” “Dia yang memperkenalkan diri. Ini aku dikasih ig-nya. Lihat nih mas, foto-fotonya hasilnya bagus banget, tapi anaknya agak gak nyambung kalau diajak ngomong.” “Yawes-yawes, ayo kita ke ruang tamu. Ngancani ibuk. (Temenin ibu)”.
Boyer kemudian makan bersama Byla dan ibunya di meja. Mereka nampak lahap menyantap hidangan yang disajikan sang ibu sekaligus camer. Raut wajah Boyer kembali dibuat takjub dengan rasa hidangan tersebut. Serasa makan masakan mahal. Dia terus melahapnya secepat-cepatnya sampai disaat ayah Byla muncul ke hadapan mereka bertiga, makanan di piring Boyer sudah habis.
Pria yang kerap disapa Pak Simin itu duduk di hadapan mereka bertiga namun tidak lekas melahap hidangan yang ada. Dia beralih kepada Boyer yang sibuk mengotak-atik gawai sembari meminum air dari gelas.
“Ayo Nak Boy, monggo disampaikan. Katanya mau bicara sesuatu. Ada apa?” tanya Pak Simin dengan penuh kewibawaan. “Ehm, gini pak. Saya siap menghalalkan Nabilah dalam waktu dekat.” Boyer menjawab dengan penuh keseriusan. “Akhirnya, doa bapak terkabul!” ucap Bu Simin dengan kelegaan maksimal. “Nah ngono ta le ket biyen, kok mbulet ae, hehehe (gitu dong nak dari dulu, jangan ribet, hehehe).” balas Pak Simin dengan tertawa lebar. “Tapi ya gitu pak, saya belum bisa beli rum…” “Kok itu lagi! Saya gak masalah! Kamu emang kalau mau tinggal disini sementara boleh. Saya siap tidur di ruang tamu kok!” tegas Pak Simin sambil menatap tajam Boyer. “Kalau kamu memang mau kontrak ya gapapa kok mas. Aku ingat kata Kang Emil. Katanya hidup kayak gitu itu asik. Berpetualang bersama menghadapi kehidupan. Ehehe!” celetuk Byla.
Pak dan Bu Simin lantas sepakat merestui hubungan Byla dengan Boyer. Mereka malah langsung mengumumkan ke grup besar keluarga melalui sosial media masing-masing. Boyer kemudian mengusapkan dua telapak tangannya ke wajah. Sembari mengembangkan senyum keceriaan, sesekali dia memandang Byla dan mengatakan, “Syukur! Asik dik… Hehehe…”. Boyer lalu beranjak dari tempat duduknya untuk pergi ke kamar kecil. Byla pun mengikutinya dari belakang.
“Mas, mau ngapain?” “Ke kamar kecil sebentar…” “Hayo, mau ngapain? Sabar dikit toh mas. Sebentar lag…” “Ah kamu itu Byl. Pikiran jelek mulu. Aku mau selebrasi. Malu di depan situ ada orangtuamu.” “Hah? Kayak pemain bola aja. Eh tapi kok di kamar… Mas!”
Hilanglah Boyer dari hadapan Byla. Perempuan imut berkulit kuning langsat tersebut berbalik badan dan berjalan lambat menuju hadapan orangtuanya. Sang ayah dan ibu menanyakan apa yang dilakukan Boyer. Namun Byla tidak tahu apa maksud selebrasi yang diucapkan pacarnya tersebut. Tak lama kemudian mereka bertiga mendengar sorakan Boyer yang cukup keras dari ruang tamu.
“YESSSSS! SUKSESSSSS! PANGGAH SUKSES MASIO ORA MANGAN MI SUKSES!” (TETAP SUKSES WALAU TIDAK MAKAN MI SUKSES!) suara Boyer terdengar gaung karena dia berteriak di dalam kamar mandi. “Ngapain dia, Byl?” tanya Pak Simin kepada sang anak. “Hihihi. Biarin. Dia lagi bahagia, pak!” jawab Byla.
Sesaat kemudian Boyer kembali dan meraih tangan kedua sang camer untuk bersalaman. Kebahagiaan Boyer melimpah ruah ketika tahu makanan yang dihidangkan oleh ibu Byla dan dia habiskan tadi adalah buatan Byla sendiri. Namun makanan tadi masih harus dipanaskan karena Byla membuatnya sebelum dia pergi keluar bersama Boyer. Itu artinya Boyer akan punya istri yang jago masak. Anugerah Ilahi. Hehehe.
“Buat foto pre besok, kita sewa jasa Mas Firdi aja. Kasihan, dia gabut katanya. Lumayan kita bisa berbagi rejeki ke orang lain!” kata Byla yang tiba-tiba muncul dan menepuk bahu Boyer yang sedang meratapi kebahagiaan di teras. “Iya deh. Siapa tau dengan berbagi rejeki, rejeki kita bisa dilancarkan.” “Aamiin, mas!.” sahut Byla.
Cerpen Karangan: M. Falih Winardi Blog / Facebook: Falih Winardi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com