Suara panggilan sang ilahi telah berkumandang diiringi kokok ayam tetangga belakang rumahnya, yang selalu membangunkannya untuk menyambut fajar yang ditunggu. Sholat Subuh berjamaah bersama keluarga adalah suatu kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan.
Namun pagi itu terasa berbeda, tak ada dua rakaat yang dilakukan bersama. Tentu saja menjadi sebuah pertanyaan besar. Rumah mewah di pusat kota, fasilitas serba ada, keluarga yang hangat dan harmonis adalah suatu anugerah dan keberkahan, itulah yang dirasakan Nada. Setiap waktu, riuh kendaraan di sekitar rumahnya selalu menemani kehidupan Nada bersama kedua orangtuanya dan juga Caca adik perempuan satu-satunya. Empat belas tahun lebih Nada hidup bersama dengan kedua orangtuanya semuanya berjalan dengan normal, Nada merasa sangat bahagia berada dikelilingi orangtua yang selalu mencurahkan perhatian dan cinta kasih sepenuh hati kepadanya. Selain itu ia juga sangat bangga kepada Ayahnya yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dan juga adiknya, bagi Nada Ayahnya adalah sebuah panutan sekaligus Ayah yang baik sedunia, karena disisi kesibukannya menjadi seorang pengacara beliau tetap selalu meluangkan waktu untuk istri dan anak-anaknya.
Namun berbeda dengan pagi itu, pukul 06.00 aku melihat Ayah dengan pakaian jas dan dasi yang berantakan bergegas pergi bekerja dengan amat terburu-buru menuju mobil yang biasa dipakai saat ke kantor, ia sama sekali tidak memakan masakan yang telah disiapkan oleh Ibu, tidak menyambutku dengan Caca, dan bahkan tidak ada kecupan manis untuk ibu di pagi itu seperti hari-hari biasanya. Semua kejadian dipagi itu tentu saja membuatku semakin bertanya-tanya, “apa yang sebenarnya terjadi?”.
Ibu menyambutku dan Caca dengan senyuman, tentu saja kubalas senyuman itu semanis mungkin. Sembari menyiapkan makanan, aku melihat ada sesuatu yang berbeda pada raut wajah ibu, ia seperti menutup-nutupi sesuatu dariku dan Caca, meskipun ibu seberusaha mungkin untuk terlihat baik-baik saja, tapi tentu saja aku paham bahwa ada sesuatu yang berbeda pada dirinya.
“Makan yang banyak ya sayang, yang semangat sekolahnya” Ucap ibu, dengan senyumannya yang manis. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya.
Setelah selesai makan kami berdua berpamitan pada ibu untuk berangkat ke sekolah, kami selalu diantar oleh sopir kami yaitu Pak Diman, apabila Ayah sedang berangkat bekerja. Karena jalur sekolah yang searah, sehingga sopir mengantar Caca terlebih dahulu karena sekolah Caca lebih dekat, Caca berada di bangku kelas 3 SD, sedangkan aku di bangku kelas VIII SMP.
Setelah ekstrakurikuler selesai, dan senja di sore hari telah menyambutku itu tandanya aku akan segera pulang ke rumah, bertemu dengan kedua orangtuaku. Aku sangat berharap keaadan di rumah baik-baik saja.
Sesampainya di rumah, ku berdiri di depan pintu, menyaksikan kejadian yang tak pernah kulihat sebelumnya, pertengkaran hebat yang tak pernah terbayangkan sama sekali semasa hidupku, Ayahku mulai main tangan sekaligus melontarkan kata-kata kasar pada Ibu, aku tak tau sama sekali apa yang terjadi sebenarnya. Ku tertegun hatiku teriris tanpa terasa air matapun menetes begitu derasnya, bayang-bayang kehancuran mulai muncul dalam pikiranku, kehangatan dan keharmonisan mulai pudar seiring waktu. Pada saat itu yang kulakukan hanya berdoa dan berharap semua akan berjalan dengan baik-baik saja.
Setelah pertengkaran itu selesai, Ayah pergi meninggalkan ibu di ruang tamu seorang diri, dengan langkah yang terbata-bata ku berusaha mendekatkan diri pada Ibu. Ibu terlihat sangat kaget ketika melihatku melangkah kearahnya, ia sama sekali tidak menyangka bahwa aku menyaksikan semua yang terjadi.
“Apakah Ibu baik-baik saja?, apa yang sebenarnya terjadi Bu?” “Sejak kapan kamu berdiri disitu nak?, Maafkan ibu tidak menyambutmu saat pulang” “Sejak tadi pukul 15.30 Bu” “Ya sudah cepat ganti baju, setelah itu makan ya nak” Ibu seberusaha mungkin mengalihkan pertanyaanku.
Semenjak kejadian itu, hari demi hari keharmonisan Ayah dan Ibu mulai memudar, yang ku rasa saat di rumah bukan lagi tentang kebersamaan dan kasih sayang, melainkan pertikaian yang tak ada henti-hentinya. Meskipun orangtuaku sedang melewati kerikil kehidupan rumah tangganya, tugasku sebagai anak hanya bisa berdoa dan belajar dengan sungguh-sungguh untuk mempertahankan prestasiku, semua yang kulakukan tentu saja hanya untuk kebahagiaan Ibu dan Ayah, agar ia bangga padaku jika kelak aku bisa menjadi pengacara hebat seperti Ayah.
Waktu demi waktu, bagiku rumah hanya untuk tempat singgah bagi Ayah, ia sama sekali tidak pernah meluangkan waktu untuk Ibu, aku dan juga Caca. Sekalipun untuk berjamaah bersamapun tak pernah, semua sirna begitu saja. Yang kulihat setiap hari hanya ibu yang selalu menangis secara sembunyi-sembunyi dan selalu menutupi kesedihannya, anak mana yang tega melihat sesosok wanita yang melahirkannya selalu larut dalam kesedihan.
Di hari Minggu, yang seharusnya menemani Ibu dan Caca di rumah, mengharuskanku untuk pergi keluar bersama Resa, ia adalah teman sebangkuku. Dengan berat hati aku meninggalkan mereka, karena untuk mencari buku yang aku butuhkan dalam tugas akhir yang diberikan Guru Bahasa Indonesiaku. Sesampainya di toko buku, aku melihat laki-laki yang berperawakan seperti Ayah, “tetapi mengapa ia berjalan bersama dengan wanita berkulit putih dan rambut panjang?” tanyaku dalam hati. Karna tak kuat menahan rasa penasaran ini, akupun sontak memangiilnya dengan nada yang cukup keras. “Ayaaahhhhhhhhhhh!!” Betapa sakitnya, ia seolah-olah seperti tak mengenaliku, ia hanya menoleh sekejap tanpa melontarkan kata-kata kemudian pergi menjauh dariku. Aku berusaha menahan air mataku yang akan menetes, karena tentu saja aku tidak mau, Resa mengetahui permasalahan apa yang sedang aku alami.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke dalam kamar, berbaring dan menangis sepuas mungkin, kututupi mukaku dengan bantal kesayangan. Tanpa kusadari ada yang mengusap rambutku dengan amat halus, akupun secepat mungkin menoleh dan mencari tau siapa itu. “Ibuuuuu!!!” aku memeluk dan menangis padanya “Apa yang sebenarnya terjadi Nada?, ceritakan pada Ibu, itu akan lebih membuatmu tenang” ucap ibu sembari tersenyum padaku, senyum tulus yang tak pernah kudapat dari siapapun saat ini. Akupun segera menceritakan semuanya begitu juga dengan ibu.
Suara langkah kaki mengarah ke kamarku perlahan terdengar, hatiku semakin teriris tak karuan ketika melihat bahwa ternyata Caca yang menghampiriku dan Ibu. Aku tak tega harus membayangkan anak sekecil Caca yang belum tau apa-apa harus merasakan perpecahan pada kedua orangtuanya.
“Kaka… ibu, mengapa kalian menangis?” “Kaka dan ibu sedang menangis bahagia, karena Kaka telah menang lomba” terpaksa ibu harus berbohong padanya. “Yeeaaaaaaaayyyy berarti setelah ini kita akan pergi jalan-jalan kan bersama Ayah?, aku rindu jalan-jalan, makan di luar bareng Ayah, Ibu dan Kaka” ucap Caca dengan sangat riangnya. Aku dan ibu saling tatap, tanpa terasa air matapun mengalir kembali, mendengar ucapan Caca membuat kami rindu dengan suasana rumah yang sebelumnya sama sekali tak ada masalah.
Hingga pada akhirnya apa yang kutakutkan semakin menjadi-jadi, pertengkaran yang lebih hebat dari hari-hari biasanya benar-benar terjadi, Ayah semakin kasar, hingga melukai secara fisik yang membuat Ibu terluka, hingga pada akhirnya kesabaranku telah habis dengan perlakuan yang dilakukan Ayah, membuatku memilih untuk maju dan membela Ibu yang terus-terusan disakiti dan dikhianati oleh Ayah. Ibu memutuskan untuk pergi ke kampung halamannya dengan niat menenangkan dirinya. Akupun mengizinkannya asal Ibu bisa tenang untuk sementara waktu, akupun berjanji akan menjaga Caca sebaik mungkin untuk beberapa waktu kedepan.
Keesokan harinya setelah Ibu Pergi, Caca mulai merasa kehilangan sosok Ibu, ia mulai mencari dan bertanya-tanya, sesekali ia menangis karena ingin bersama Ibu. “Kakaa… izinkan aku menemui Ibu, Aku tidak bisa tanpa Ibu” Mendengar kalimat itu sungguh membuatku tidak tega, sehingga kuizinkan dia untuk menyusul Ibu ke kampung halamannya diantar oleh Pak Diman.
Hari-hariku seperti kehilangan arah, hidup tanpa ibu dan caca adalah mimpi buruk bagiku, setiap pulang sekolah semenjak Ibu pergi ke kampung, pemandangan yang kulihat adalah Ayah bersama wanita yang pada saat itu kutemui di Toko Buku. Ayah mulai terang-terangan membawa perempuan itu dihadapanku.
Pada kali ini keluarga yang bagiku rumah, ternyata bukan lagi rumah, aku lebih nyaman berada diluar bersama teman-temanku, aku merasa lebih bebas dan bahagia. Semangatku hilang untuk segalanya, cita-citaku yang selama ini kuimpikan telah kuhapus dalam diriku, Ayah yang kukira panutan adalah sesosok yang membuatku hancur dan trauma, aku membenci mimpiku, karena ketika berusaha menggapainya tentu saja aku akan teringat pada Ayah, dan aku tidak mau itu.
Aku tidak mengerti apakah gelas yang pecah bisa kembali seperti sedia kala atau tidak, yang kutau keluargaku telah hancur, terlagi ketika bel rumah berbunyi yang mengharuskanku untuk melangkah membuka pintu betapa hancurnya hatiku, ketika ku tau itu adalah surat gugatan cerai dari sang Ibu, akupun menangis tersedu-sedu.
“Kringg… kring…” Bunyi telephon rumah “Hallo Nada, maafkan ibu jarang mengabarimu, bagaimana keadaanmu?, besok Ibu akan datang ke rumah bersama Caca” “Kabarku Baik ibu, iya tidak apa-apa, Nada harap Ibu juga baik-baik saja, Sampai jumpa besok Ibu”
Keesokan harinya ibu dan Caca datang ke rumah, betapa rindunya aku pada Ibu dan adiku selama hampir dua minggu lebih tidak bertemu. Aku tidak mengerti apa yang akan dibicarakan pada hari ini, yang kutau kami semua berkumpul di ruang tamu, pada saat itu aku hanya berharap keluargaku bisa utuh lagi seperti dulu.
“Gugatanmu sudah saya tanda tangani, yang berarti setelah ini kita tidak ada status apa-apa lagi!” Ibu hanya tersenyum antara sakit dan ikhlas yang bercampur menjadi satu.
“Nada.. kau mau ikut siapa, Ayah atau Ibu?” Tanya Ayah “Andaikan kau tau Ayah itu bukanlah sebuah pilihan yang harus kupilih, aku tak mau memilihnya, semua itu bagaikan mimpi buruk”
Setelah itu aku tak mengucapkan sepatah katapun pada Ayah, aku tak bisa memilih jika harus berpisah dengan salah satu diantara kedua orangtuaku, yang ku bisa pada saat itu hanya menangis dan menangis. “Tuhan Apa yang harus kulakukan?, aku telah kehilangan Rumahku.. Aku rindu!!!”
Cerpen Karangan: Ananda Fitria Ramadhanti Instagram : @ananda.afr Ananda Fitria Ramadhanti, mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Lahir di Banyumas, 18 Desember 2001. Agama Islam. Hobi menulis, dan menyanyi. Berdomisili di Desa Tambak Sari Kidul Rt 07/03, Kembaran, Banyumas (53182). anandafitriaramadhanti101[-at-]gmail.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com