Perkenalkan namaku Hasna bisa panggil aku Nana, ini nama panggilan yang aku dapatkan sewaktu aku masih kecil. Aku lahir di salah satu kota yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Sekarang usiaku dua puluh dua tahun dan aku sedang menempuh pendidikan semester akhir, jenjang Perguruan Tinggi di Bandung. Aku anak tunggal, ibu dan bapak sudah berpisah sejak aku bayi berusia lima bulan. Tahun dua ribu empat adalah tahun pertama kali di usiaku lima tahun, aku bertemu dengan bapak beliau seperti sosok yang sangat asing bagiku, bertemu dengannya seperti hal yang paling aku takutkan, aku menangis melihat wajah laki-laki yang meninggalkanku dan ibu begitu saja. Beliau sosok laki-laki yang memberiku patah hati yang begitu dalam, luka dan trauma seketika ada di benak anak perempuan tunggal berusia lima tahun.
Aku menjalani hidupku sama seperti dengan anak anak yang lain, aku belajar, bermain tetapi aku tidak merasakan keluargaku lengkap seperti teman-temanku. Aku bersyukur Tuhan sudah memberikan sosok ibu wanita yang paling aku cintai, berhati seperti bidadari, beliau sudah cukup mempunyai dua peran sebagai ibu dan sebagai bapak. Ibuku bekerja keras banting tulang mencari nafkah untukku dari pagi hingga sore. Aku pernah merasakan iri, sedih, disaat aku melihat teman-teman sebayaku begitu bahagia bersama keluarga lengkapnya.
Aku sering bertanya pada ibuku, “Mengapa bapak meninggalkan kita?”, “Mengapa bapak sangat jahat?” “Mengapa aku tidak seperti anak-anak yang lainnya?” “Mengapa aku harus belajar menjadi dewasa sebelum waktunya?” Pertanyaan pertanyaan setiap sebelum tidur dan ibuku menangis dan memelukku, ibuku selalu ucapkan, “Neng anak kuat, kita pasti bisa kok neng melalui ini”, “Neng bisa membuktikan kalau neng pasti bisa membahagiakan dan membanggakan ibu kelak”. Ucapan ini yang selalu aku tancapkan dalam diriku bahwa aku harus bisa membuktikannya. Ibuku memanggil diriku dengan panggilan Neng.
Di Taman Kanak-Kanak aku selalu mengikuti lomba-lomba seperti mewarnai, paduan suara dan mojang jajaka cilik ini lomba yang aku ikuti pertama kali se-Jawa Barat. Aku juga sering ikut bertamasya dari sekolahku seperti menaiki kuda, dan bermain bersama teman-teman sebayaku lainnya, aku sangat bahagia bisa bersama dengan teman-temanku dan meluapkan semua kesedihan dengan kebahagiaan. Sewaktu aku lulus Taman Kanak-Kanak, aku melanjutkan ke Sekolah Dasar, waktu aku kelas IV SD ibu dan bapak mulai ingin rujuk, rasanya campur aduk, ibu rujuk hanya demi aku, bertahan hanya tiga bulan, ibuku dikhianati oleh bapakku, rasanya begitu sakit bapakku tidak berubah, dan menyakiti untuk kesekian kalinya, hatiku rasanya hancur aku sudah memaafkan bapak, tapi bapak mengingkari janjinya dan dari sini aku sudah pernah tidak mau mengenali laki-laki yang memberikan sakit kembali, dan bapak juga tidak meminta maaf, aku melihat ibuku menangis dan ibu yang diremehkan dan diinjak injak oleh bapak dan keluarga bapak, bapak yang sudah mengkhianati mempunyai perempuan lain dan diam-diam sudah menikah dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan aku dan ibu, dari kejadian ini aku dan ibu membuka lembaran baru, ibuku meminta maaf ke kakekku karena sudah memaksakan diri untuk kembali rujuk dan ingin memberikan aku kembali kebahagiaan tapi ternyata membuat luka dan trauma semakin besar walaupun begitu aku tetap menjadi hidup aku perlahan membuat diriku untuk bisa sembuh walaupun trauma tidak pernah pulih dan akan terus membekas.
Setelah aku lulus Sekolah Dasar, aku menjalani hari hariku di Sekolah Menengah Pertama, waktu aku kelas VIII SMP ibuku mulai sakit dan ibu terdiagnosis penyakit kanker, aku nangis dan entah apalagi yang harus kuhadapi, ujian datang silih berganti hingga ibu dioperasi, kemoterapi, dan berobat lainnya, aku berusaha untuk bisa membantu pekerjaan ibu yang di rumah dan beberapa tugas pekerjaan lain dari sekolah ibu dan ibu dinyatakan sembuh.
Lulus dari Sekolah Menengah Atas, umurku semakin bertambah dan aku terus bersemangat untuk menggapai cita-citaku, aku mengikuti berbagai lomba di SMA aku mengikuti lomba puisi, lomba olimpiade biologi, dan lomba cepat tepat biologi di tingkat Nasional, aku mulai fokus untuk meraih cita-citaku menjadi dokter tapi ternyata itu bukan rezeki aku mengikuti berbagai ujian untuk ke Perguruan Tinggi untuk jurusan Kedokteran ternyata aku tidak lulus, akhirnya aku mengikuti salah satu ujian lain untuk ke jurusan Pendidikan Biologi dan alhamdulillah aku lulus.
Sebenarnya aku sudah keterima lewat jalur undangan di Perguruan Tinggi Swasta tapi aku tidak ambil karena ibu tidak memperbolehkan, aku bersyukur akhirnya aku bisa lulus di jurusan yang aku inginkan walaupun cita citaku tak terlaksana tapi aku sudah bahagia.
Tahun dua ribu tujuh belas, hari demi hari kulalui, sudah menjadi mahasiswa baru bertemu dengan teman-teman se Indonesia di Perguruan Tinggi, mengenali sifat dan adat yang beragam, mengenal tentang kampus, organisasi dan lainnya.
Di Tahun dua ribu delapan belas akhir, penyakit ibu mulai kambuh dan meradang kembali, kanker yang dinyatakan hilang dan sembuh ternyata ada kembali, sudah menjalar hampir ke seluruh dan di tahun dua ribu sembilan belas, ibu didiagnosis kanker metastasis stadium akhir, setiap hari ke rumah sakit untuk konsultasi ke dokter dan menjalani kemoterapi kembali dengan pengobatan hingga belasan kali, meminum obat, mengikuti pengobatan radioterapi, aku pulang pergi kampus dan rumah sakit karena rumah sakit dan kampusku yang terbilang cukup dekat, aku berlari menemui dokter, menangis supaya ibu bisa sembuh kembali seperti dahulu aku tidak peduli dengan kesehatanku walaupun bagi orang lain itu lelah tapi bagiku ibuku adalah segalanya aku tidak mengenal lelah dan tidak mau putus asa.
Hingga di akhir tahun dua ribu sembilan belas, disaat aku sedang melaksanakan kuliah lapangan di luar kota aku ditelepon oleh keluarga ibu, ibu sudah masuk ke rumah sakit keadaannya sudah kritis, dua hari sebelumnya aku masih berbincang dengannya melalui telepon walaupun suaranya sedang menahan sakit dan aku selalu mengucapkan, “Ibu pasti sehat, ibu pasti sembuh lagi, neng gak sanggup dan neng gak kuat kalau ibu enggak disamping neng, bertahan ya bu”.
Selama di perjalanan untuk ke rumah aku tidak bisa menahan air mataku untuk jatuh, badanku terasa sakit, kepalaku pusing, hatiku hancur, dan aku selalu berdoa di perjalanan supaya ibuku bisa sadar, setiap di perjalanan aku telepon bersama keluarga ibu, aku selalu mengucapkan, “Ibu ayo bangun, ibu ini neng sebentar lagi neng datang ke rumah sakit, neng gak sanggup bu kalau neng hidup tanpa ibu, malaikatku ayo bangun buka matanya”.
Keluarga ibu bilang, dokter ingin menemuiku dan harus siap jikalau memang sudah tidak ada karena organ luar dan dalam sudah rusak karena kanker ganas tumbuh tidak terkendali di dalam badan ibuku. Sesampainya di rumah sakit, ibuku sudah menggunakan berbagai alat aku tidak tau harus berkata apa lagi, kakikku lemas, aku sudah di rumah sakit, aku berdoa meminta supaya ibu bisa sadar aku pun berbicara di telinga kanannya,
“Neng ada disini bu, jangan ninggalin neng, neng belum bisa membahagiakan dan membanggakan ibu, ayo bangun lawan penyakitnya biar kita kemana mana bisa bareng lagi” setelah itu reaksi ibu air matanya jatuh dan setelah beberapa jam, detak jantungnya mulai turun dan beberapa anggota keluarga sudah ada di rumah sakit untuk berdoa, aku ditutupi matanya lalu aku menutup telingaku dengan kedua tanganku aku dipeluk sangat erat oleh keluarga ibu, aku berteriak supaya ibu bisa bangun nyatanya ibuku tidak terbangun.
Duniaku runtuh, hatiku remuk berkeping keping, ibu sudah meninggal dunia, sebelum dimakamkan aku sempat mencium keningnya untuk terakhir kalinya dan aku mengucapkan “neng selalu mendoakan ibu, ibu juga doain neng ya jangan khawatir, terima kasih banyak belaham jiwaku, pahlawanku”. Aku melihat wajah ibu bersih dan bersinar lalu tersenyum dan tidak merasakan sakit lagi.
Tiba di pemakaman, saat melangkah kakiku sangat berat, mataku tak berhenti keluar air mata, pandanganku kosong, hatiku hampa dan akupun terjatuh disaat tiba di rumah sesudah dari makam aku tidak bisa kuat dan tidak sanggup menghadapi ini semua dan disaat aku terbangun aku bertanya-tanya dalam diriku, “Apakah aku hanya bermimpi?” “Ibu hanya sedang bertugas di luar kota kan?” “Apa aku bisa bertahan tanpa ibu disaat dia tidak ada disisiku lagi” “Bagaimana hari-hariku nanti disaat sosok penyemangat telah tidak ada dihidupku?”
Hari terus berlalu, rasanya sepi tidak ada yang memanggil namaku, tidak ada yang masak untukku, tidak ada yang tertawa denganku. Selama 1 tahun aku tidak bisa tidur di kamar ibu, aku selalu menangis dan mengingat semua memori bersama bahkan rasanya seperti masih ada di dekatku, dan aku sering bertemu di dalam mimpi. Aku tetap melanjutkan kuliahku, walaupun rasa semangat terkadang hilang tapi aku mencoba untuk melawannya aku ingin membuatnya bahagia dan bangga.
Disaat ibu didiagnosis kanker ibu juga tidak nafsu makan melakukan pengobatan kemoterapi sulit untuk nafsu makan, tapi aku selalu menyemangatinya dan selalu bertanya “mau dibeliin apa bu? ibu mau apa nanti neng beliin ya biar perut ibu gak kosong ya“ disaat ibu sedang melawan penyakitnya ibu tetap peduli ke lingkungan sekitar terutama keluarga, ibu suka membelikan makanan juga untuk beberapa pihak keluarga dan rajin bersedekah. Disaat ibu meninggal dunia, duniaku berubah 180 derajat, trauma terus melekat dan membekas di dalam diri seolah aku memang tidak pernah siap untuk ditinggalkan, trauma disaat aku di jalan dan melihat rumah sakit aku menangis rasanya seperti aku mengingat masa masa itu hingga sekarang, disaat harus dihadapkan dengan semua dengan kehidupan yang kini menjadi perempuan anak satu-satunya tanpa kedua orangtua.
Perjalanan hidup yang harus aku jalani dengan berbagai rintangan dan ujian yang terus datang menjadikan aku lebih dewasa, mandiri bahwa aku sebagai anak tunggal aku tidak dimanjakan aku belajar untuk bisa lebih bertanggung jawab, disiplin pada waktu dan menjadi anak yang berbakti dengan keadaan keluarga yang tidak lengkap tapi aku harus bersyukur masih diberi kesehatan, diberi makan, diberi nafas oleh Tuhan, sayang kita kepada orangtua ternyata Tuhan yang lebih sangat menyayangi supaya ibu tidak kesakitan lagi, dan bahagia selamanya di surga walaupun sekarang aku berjuang sendiri aku tidak boleh pantang menyerah.
Cukup banyak rahasia yang ibu sembunyikan dan pada akhirnya terbuka setelah ibu tidak ada, trauma, luka, ketakutan dan kecemasan akan selalu ada disaat aku bertanya pada diriku “apakah aku mampu, apakah aku bisa?” tapi hidup ini terus berjalan, rindu yang menyesakan disaat rindu orang yang sudah tidak ada. Kehilangannya seperti mimpi buruk yang nyata dan terjadi dalam hidupku, karena setiap yang bernyawa akan kembali pada Sang Maha Pencipta.
Aku berterima kasih banyak kepada ibu yang sudah melahirkanku membawa aku disaat kandungannya sudah membesarpun disaat sedang bekerja dan berjuang menafkahiku menjadi malaikat tanpa sayapku, cinta pertama dan belahan jiwaku selamanya. Akupun belajar bahwa semesta mengajarkan untuk bisa menghargai orangtua selagi masih ada karena kita tidak tahu perpisahan itu kapan datangnya.
Cerpen Karangan: Hasna Ainaya Blog: hasnaainayaf.blogspot.com Halo, salam kenal semuanya, teman-teman bisa panggil aku Nana, semoga cerita ini bisa tersampaikan, sehat selalu ya 🙂 terima kasih banyak..
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com