Hari ini aku akan mengunjungi oma di Banten. Aku pergi menggunakan travel yang bertujuan ke sana. Tak banyak yang kubawa hanya beberapa bungkus makanan ringan dan beberapa botol minuman segar favoritku, tak lupa buah titipan bunda.
Sambil menikmati perjalanan aku menikmati makanan ringan yang kubawa, tak lupa aku memasang earphone untuk mendengarkan lagu favoritku. Namun saat aku akan memutarkan lagu, tiba-tiba terdengar suara asing yang berhasil membuatku terkejut.
“Hay masih ingat aku tidak?” Aku yang tak mengenalnya, hanya diam sambil mencoba mengingat siapa dia. Hingga tak berapa lama, akhirnya aku ingat siapa. Ya, dia adalah Edward mantan pacarku saat aku SMA. “Hmm, ka.-ka-mu Edward, kan?” “Ha..Ha.. syukurlah, kamu masih mengingatku, senang deh, akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi.” Akhirnya aku dan Edward larut dalam obrolan yang sangat menarik, hingga tercipta canda tawa diantara kami.
Dua jam kemudian… Akhirnya aku tiba di tempat tujuan. Aku pun harus berpisah dengan Edward yang memang berbeda arah denganku. Setapak demi setapak jalan kususuri sambil menikmati indahnya suasana kota Banten. Hingga tak berapa lama tampak Mang Asep sopir pribadi oma yang sudah menunggu di halte. Dia datang bersama anak tunggalnya, yang biasa kupanggil Mbak Intan. Dia juga memang ditugaskan oma untuk membantu ayahnya jika ada yang berpergian. Intinya Mbak Intan adalah asisten oma, di luar rumah.
Saat sampai di rumah oma. Beliau menyambutku dengan hangat, telihat rona bahagia di wajah keriputnya. Hingga tak lama setelah itu, oma mengajakku untuk berbincang di ruang keluarga. “Jen, apa kabar? Oma rindu sekali, Padamu” “Hmm, aku baik, kok Oma, aku juga rindu pada Oma. Maaf, waktu Opa berpulang. Aku tidak hadir, karna aku, terlanjur membuat janji dengan teman” “Oh, begitu ya. Tak apa kok, yang terpenting sekarang. Kau sehat.” “Jen. Ada yang ingin Oma katakan padamu” “Hmm apa Oma? katakan saja” “Sebenarnya, kembaranmu masih hidup, Nak, bahkan bundamu belum mengetahui masalah ini, karna ayahmu menyuruh oma tuk merahasiakannya.” “Ma…maksud, Oma apa?” Bisa tolong jelaskan, padaku.” “Ayahmu memisahkan kalian sejak lahir, karna beliau tak ingin memiliki keturunan seperti Jiny, Nak” “Tapi, kenapa Oma, apa yang terjadi pada Jiny, hingga ayah tega memisahkan kami?” “Saat dilahirkan Jiny tidak menangis, dokter hingga perawat yang membantu persalinan bundamu, melakukan berbagai cara agar Jiny dapat menangis, namun semua sia-sia, hampir dua jam penanganan Jiny tak jua menangis, sehingga dokter memastikan Jiny anak yang tuna rungu” “Astagfirullah, kok ayah tega ya, Oma. Apapun alasannya Jiny kan anak ayah juga, harusnya tidak seperti itu, dong Oma!” “Lalu, bagaimana Oma mengurus Jiny?” “Hmm, saat bayi Oma titipkan Jiny pada pak Jaka, Nak. Dan pada saat pak Jaka menysul istrinya ke pangkuan ilahi, dua belas tahun yang lalu, Oma membawa Jiny ke rumah ini.” “Aku ingin bertemu, dengannya, Oma”
Tak lama setelah itu, oma memerintahkan Mbak Clara agar membawa Jiny ke ruang tamu. Hingga tak lama kemudian, Jiny yang sebelum kedatanganku sudah mengetahui asal-usulnya. Berjalan perlahan menghampiriku, hingga terjadilah keharuan diantara kami.
Sejak mengetahui hal itu, aku yang awalnya akan menginap beberapa hari, mengurungkan niatku, aku pun memutuskan tuk pulang sore hari, aku hendak menanyakan maksud yang sebenarnya pada ayah.
Sehabis makan siang kami menghabiskan waktu bersama, tak lupa oma memberiku buku panduan untuk memudahkan aku berkomunikasi dengan Jiny. Tak lama kemudian Jiny mengajakku ke sebuah ruangan, yang terdapat kanvas dan alat lukis lainnya. Bahkan Jiny tiba-tiba saja menunjukan sesuatu yang setelah kulihat, itu adalah sebuah gambar yang sangat cantik. Hingga tiba dia menggerakan jari-jemarinya, seolah berucap “Gambarku, bagus tidak?” menggunakan bagasa isyarat. “Subhanallah, itu gambar buatanmu, Jin?” “iya, itu buatanku, Jen, kamu mau aku buatkan?” sambil menggerakan jemari lentiknya. “wahh, aku mau, dong.”
Akhirnya Jiny memainkan kanvasnya, di atas kertas putih yang tersedia. Tangan mulusnya sangat lincah menggoreskan berbagai warna tinta membentuk sketsa wajahku yang putih, namun tak seputih dirinya. Dan dalam waktu sepuluh menit saja, Jiny berhasil membuat sketsa wajahmya, dengan warna, bentuk dan hiasan yang begitu cantik. Aku pun terpukau melihatnya. Setelah melukis Jiny mengajakku mengelilingi taman yang tak jauh dari rumah oma. Di sana terdapat bunga-bunga yang cantik, dihinggapi kupu-kupu berterbangan. Bahkan terdapat kumbang-kumbang yang lucu berjalan di atas rumput hijau yang begitu asri. Hingga kami pun berfoto di sana, sambil menikmati es krim yang dibeli olehku di area pintu masuk. Keseruan kembali terjadi saat kami menikmatinya. Aku pun lagi-lagi mengabadikan momen tersebut di ponselku.
Tidak terasa hari sudah sore, kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah oma. Saat tiba di rumah aku segera berkutat di dapur membuatkan makanan untuk Jiny. Kuharap Jiny menyukai makanan buatanku, bahan yang sudah kupesan pada Mbak Clara sebelum aku pergi, sudah tersedia di sana. Seperti makaroni, cabai, pedas bubuk serta bawang daun. Perlahan-lahan aku sulap makaroni itu menjadi Sup Pedas Makaroni kuah. Resep makanan yang bunda ajarkan padaku, saat aku pertama kali mengenal dapur. Tak perlu banyak waktu, kini Sup Makaroni buatanku siap untuk dicoba. Aku yang awalnya, ingin pulang cepat, sampai lupa waktu, saking asyiknya bermain dengan Jiny. Lagi pula kasihan Jiny jika aku cepat pulang, karna belum tentu juga kan ayah mau bawa Jiny pulang cepat, apalagi bunda belum tahu hal ini.
“Jin, kamu cobain ya, makanan buatanku.” “Iya, Jen” “Gimana, kamu suka?” Ia menangkat jempolnya tanda suka.
Hari sudah hampir malam. Aku memutuskan tuk pulang. “Oma. Aku pulang dulu, ya. Aku janji akan kembali dan menjemput Jiny.”
Saat aku sampai di rumah. Aku lihat ayah dan bunda sedang bercengkrama di balkon, ayah terlihat heran, karna kepulanganku. “Loh, Jen, kok kamu sudah pulang, Nak. Bukankah kamu akan menginap?” “Tidak jadi, Ayah” “Loh, kenapa, apa kamu tidak ada teman di sana?” “Hahh, teman. Coba bunda tanyakan pada ayah, aku ada teman tidak di sana!” “Maksud Jeny apa, Yah?” Ayah tersentak mengetahui apa yang dimaksud Jeny. “Hmm, baiklah sekarang ayah akan mengatakan pada Bunda, yang sebenarnya.” “Cepat katakan, Yah!” desak Jeny.
“Sebenarnya, kembaran Jeny, masih hidup, Bun” raut wajah ayah penuh penyesalan. “Maafkan ayah, Bun, Jen. Ayah terpaksa melakukan ini” ujar Ayah seraya menitikkan air mata. Tatapan menahan marah sekaligus sedih dan terkejut Ibu tidak bisa disembunyikan. “kenapa Mas?” “A-aku-aku” ucap Ayah terbata, sambil memandang ikan di kolam tatapannya kosong. “Aku, aku apa mas, jawab!” ujar bunda seraya memegang kerah baju ayah, dengan tatapan mata penuh arti, sehingga ayah membalikan badannya dan mereka pun bersitatap. “Kata Oma, ayah sengaja memisahkan aku dan Jiny, karna Jiny terlahir sebagai anak yang tuna rungu. Hingga ia dititip pada Oma sejak lahir” “Tapi, sayang. Oma dan Opa kan, sudah tua. Kamu sungguh tega, Mas. Bagaimanapun Jiny anak kita, darah daging kita!”. Amarah Ibu meluap. “Ya, Oma dan Opa, menitipkan Jiny, pada pak Jaka, Bun”. Beri tahu Jeny pada Ibunya. “Memangnya, pak Jaka itu, siapa Nak?”, Ibu terheran. “Pegawai yang bekerja di kebun Opa, Bun. Beliau sudah lama menginginkan kehadiran seorang anak, jadi ketika Oma dan Opa menitipkan Jiny, beliau sangat senang, meski Jiny anak yang spesial, menurut penuturan Oma, pak Jaka dan Bu Jaka sangat menyayangi Jiny, mereka telaten dan sabar mendidik Jiny sepenuh hati.” Jeny bercerita. “Kamu, jahat, Mas, kenapa kamu membohongiku, Mas!” Ibu tak bisa lagi menahan amarahnya. Plak! Bunda melayangkan tangan kanannya ke wajah mulus ayah, yang sedang tergugu, di dekat kolam, disertai mata nyalang bunda yang tak lepas menatap ayah.
Dua jam kemudian… Suasana membaik. Saat itulah aku menayakan kembali, perihal Jiny pada ayah yang sedang melihat ikan-ikan peliharaan kami di kolam. “Yah, boleh aku bicara sekarang, kenapa ayah tega memisahkan Jiny denganku, Yah. Lalu kenapa ayah bilang pada bunda, jika kembaranku sudah tiada? Bisa ayah tolong, jelaskan padaku, Yah.” “Ayah melakukan itu demi kebaikan bundamu juga, Nak. Saat kamu lahir, bunda sempat tak ingin mendekapmu, bahkan dia selalu ingin melepaskan infusannya, sesudah kamu dilahirkan. Hingga tak lama kemudian, bundamu kembali mengalami kontraksi, bahkan lebih hebat dari sebelumnya, hingga tak lama setelah itu lahirlah seorang bayi, yang sayangnya bayi itu tidak menangis sama sekali. Ayah hanya tak ingin bundamu semakin syok, bahkan dokter juga ikut menyarankan agar jangan dulu memberitahukan prihal bayi itu. Karna menurutnya hal itu bisa menganggu psikis bundamu, apalagi, bundamu belum mau mendekapmu, saat itu.”
“Jen. Kamu mau kan memaafkan ayah, bukan maksud ayah untuk membohongi kalian, tapi ayah. Ah, sudahlah.” “Hmm, iya, Ayah. Aku sudah mengerti sekarang, dan aku juga sudah memaafkan ayah. Tapi janji ya, jangan ada lagi kebohongan diantara keluarga kita, dan aku janji akan membantu ayah dan ibu menjaga Jiny, selagi aku mampu” ujarku seraya tersenyum.
Saat kami sedang berbincang. Tiba-tiba bunda muncul dengan mata yang masih sembab, dia berjalan menghampiriku dan ayah. Tiba, bunda berkata “jadi itu alasanmu Mas”, ujar Bunda yang kembali menitikkan air mata. “Ya, sayang, maafkan aku ya. Aku janji pas hari libur kita jemput Jiny, ya”. Ucap Ayah sambil memeluk bunda. Hingga aku pun ikut memeluk mereka, sehingga kehangatan kembali terasa. Tak lama bunda menyuruhku, untuk menghubungi oma dan mengatakan kami akan berkunjung sekaligus menjemput Jiny, di hari libur.
Kini hari yang di tunggu tiba, kami berangkat seusai salat subuh. Tak lupa kami membawakan buah tangan untuk oma. Perjalanan kali ini sangatlah menyenangkan, terlebih mulai saat ini tidak akan ada lagi kebohongan diantara kami, ditambah esok dan seterusnya aku dan Jiny akan terus menghabiskan waktu bersama.
Tidak terasa kini kami sudah tiba di rumah oma. Sama seperti kedatanganku sebelumnya. Oma sudah menyambut kedatangan kami dengan ramah. Saat kami masih ada di teras. Tiba-tiba Jiny datang menemui kami. Sehingga bunda kembali menitikkan air matanya, begitu pula dengan ayah. Bahkan dia langsung menghampiri Jiny dan bersimpuh di kakinya. Jiny yang tak mengerti hanya diam dengan bola matanya yang menatap oma, bahasa tubunya seakan menanyakan apa yang sedang terjadi. Hingga oma menjelaskan, dengan mulut yang mengucap, diikuti tangan kanannya, yang menunjuk ayah yang sedang berlutut di hadapannya, dan bunda yang masih mematung di dekat mobil, dengan air matanya yang berlinang.
Tak berapa lama, akhirnya Jiny mengerti. Ia lalu membantu ayah berdiri dan langsung memeluknya, kemudian bunda berjalan perlahan menghampiri Jiny dan ayah. Mereka pun berpelukan, kembali menciptakan rasa haru. Oma yang melihat itu mengedipkan matanya, seakan mengisyaratkan padaku untuk ikut berpelukan. Dan tanpa sepengetahuan kami, ternyata Mbak Intan dan Mbak Clara mengabadikan momen tersebut pada ponsel mereka. Tak lama setelah itu oma mempersilakan kami masuk, dan mengajak kami mencicipi makanan serta minuman yang sudah terhidang.
Dua jam kemudian… Kini tiba saatnya kami untuk pulang. Kami pun berpamitan pada oma, telebih Jiny. “Oma, terima kasih banyak ya, karnamu aku bisa seperti ini, aku sayang oma” gerakan tangannya terpatah-patah sambil sesenggukan. “Sama-sama, Nak. Sering main ke sini ya, Oma juga sayang kamu. I Love You” ujar Oma sambil menggenggam tangan kanan Jiny, dan memberinya senyuman, serta kedua tangannya membentuk hati. “Bu, terima kasih ya. Ibu sudah merawat Jiny, maafkan aku, Bu. Aku benar-benar tidak tahuuu..” ucapannya terhenti, lalu berderai air mata. “Ya, tak apa, Nak. Yang penting sekarang, kamu rawat Jiny dengan baik, ya, kamu harus lebih sabar merawatnya, karna dia itu, spesial, Nak” ujar Oma dengan senyuman tulus. “Pasti, Bu” ujar Bunda membalas senyuman Oma, seraya mencium tangan Oma, dengan takzim.
Terima kasih, Ya Allah. Aku senang akhirnya, Jiny bisa ikut bersama kami. Bayak yang kami lakukan di mobil, aku yang jadi penerjemah atas apa yang Jiny ucapkan pada ayah dan bunda. Tetapi saat kami sedang menikmati perjalanan. Tiba-tiba ada sepeda motor, yang melintas begitu cepat, hampir menabrak bagian belakang mobil yang kami tumpangi. Dan… ahh… ayah yang berusaha menghindar saking paniknya banting stir berlawanan arah sehingga mobil menabrak pohon besar. Dan. Duar! Mobil yang kami tumpangi hancur terbakar. Menewaskan Ayah, Bunda serta Jiny. Hatiku hancur, tanpa luka. Sedetik yang lalu baru aku bayangkan kehidupan kami yang baru, yang lebih lengkap dengan kehadiran Jiny. Baru saja kulihat senyum ayah dan bunda memeluk kami berdua.
Selamat jalan Bunda, selamat jalan ayah dan selanat jalan Jiny. Semoga kalian tenag di sana. Tunggu aku, ya.
Cerpen Karangan: Dinbel Pertiwi Facebook: Dinbellap7165[-at-]facebooks.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 4 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com