Sesampainya di rumah aku meminta maaf pada ibu, “Maaf yah bu, Jinan udah buat ibu khawatir, dan pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasan ibu dan om Surya,” aku memeluk ibu sambil menangis. “Iya nak, maafin ibu juga yah, ibu udah bohongin kamu karena gak mau kamu kecewa walaupun akhirnya kamu tetap merasa kecewa,” “Makasih yah om, walaupun bukan ayah kandungku tapi beberapa hari ini aku sudah merasakan kehadiran sosok ayah karena om Surya, dan maaf tadi aku udah buat kalian khawatir,” “Iya nak, om senang bisa bantu kamu sama ibu kamu, dan sekarang om harus pergi kamu jaga ibu kamu yah,” jawab om Surya. “Loh om mau kemana?” “Om Surya mau pergi ke Surabaya untuk ziarah ke makam istrinya setelah 19 tahun pergi merantau,” “Iya nak, om pulang ke sini untuk ziarah ke makam tante kamu sekalian mengunjungi kalian,” “Hmm ya udah gimana kalau kuta antar om ke stasiun mumpung Raihan ada di sini,” “Setuju,” jawab Raihan. “Gak usah repot-repot nak, om sudah pesan taksi online dan sebentar lagi datang. Kalau kalian antar om ke stasiun nanti ibu kamu akan nangis sepanjang jalan, hehe,” kata om Surya membuat kami semua tertawa.
Sejak saat itu hubunganku dengan Raihan semakin dekat hingga kami lulus SMA, Raihan juga mulai membicarakan pernikahan denganku. Namun kami berdua juga harus mewujudkan impian dan membuat keluarga kami bangga, Raihan memutuskan kuliah di luar negeri karena dorongan kedua orangtuanya sementara aku lanjut kuliah di Universitas terbaik di Indonesia dan mengambil jurusan kedokteran, karena beasiswa.
Sebelum berpisah kami berdua membuat sebuah janji untuk tidak saling melupakan dan selalu memberi kabar. Aku yang kuliah di Jakarta akan setia menunggu kepulangan Raihan, begitupun sebaliknya Raihan juga akan selalu setia dan sabar hingga akhirnya dia kembali pulang ke Indonesia. Dia juga berjanji setelah aku lulus dan menjadi dokter dia akan menikahiku. Awalnya berat, kami hanya bisa melepas rindu lewat video call atau telponan tapi perlahan kami mulai terbiasa, dan selalu memberi kabar di sela kesibukan kami masing-masing.
4 tahun kemudian… Awalnya semua berjalan sesuai dengan yang aku harapkan, hingga pada akhirnya perlahan semuanya berubah. Sudah 1 tahun Raihan tak pernah memberiku kabar dan nomornya tak pernah aktif. Hingga hari yang kutunggu selama 4 tahun telah tiba, Raihan sudah lulus dan mendapat gelar S1. Seperti yang dia ucapkan sebelum pergi bahwa dia akan menemuiku dan menepati janjinya.
Tiba-tiba Smartphoneku berdenting, ternyata itu pesan dari Raihan. Aku bergegas membacanya dengan perasaan bahagia dan terharu. Dia ingin menemuiku di taman, dengan hati yang bebunga-bunga aku meminta izin ke ibu untuk pergi ke taman.
Setelah 10 menit menunggu akhirnya Raihan datang, “Jinan, maaf yah kamu jadi nunggu lama,” sapa Raihan. Ketika mendengar suara Raihan aku berbalik dan langsung memeluknya, aku tak bisa berkata apa-apa. Namun, Raihan melepaskan pelukanku, aku heran dengan sikap Raihan yang dingin dan biasa-biasa saja ketika bertemu denganku. Seakan tak merasakan rindu seperti yang kurasakan.
“Maaf Jinan, aku gak bisa tepatin janji aku 4 tahun lalu, semuanya telah berubah dan aku ke sini mau kenalin kamu sama seseorang,” kata Raihan. “Maksud kamu Rai?” aku menatapnya seakan tak percaya kalau Raihan yang kukenal selama ini sudah berubah.
Tak lama kemudian seorang wanita menghampiri kami, “Dia siapa?” tanyaku tak kuasa menahan bulir-bulir air mata yang mengalir di pipiku. “Dia Anya istriku,” jawab Raihan dengan rasa bersalah. Bagai diiris-iris, rasanya sangat sakit ketika mendengar ucapan Raihan yang mengatakan kalau wanita itu adalah istrinya. “Raihan, kamu bercanda kan?” “Maaf, tapi aku serius. Kita memang ditakdirkan hanya saling mengenal bukan saling memiliki, aku dan Anya sudah menikah selama 1 tahun. Kami berdua dijodohkan tapi kami bahagia, dan sebentar lagi kami akan menjadi orangtua,” Aku hanya diam membisu mendengar ucapan Raihan.
“Jinan aku mau ngomong sesuatu sama kamu, mungkin kamu gak akan percaya tapi ini faktanya. Asal kamu tahu ternyata papa aku adalah ayah kamu yang selama ini kamu rindukan, selama di Amerika papa menceritakan semua masa lalunya dan menyesal karena sudah menyakiti perasaan ibu kamu. Papa gak pernah datang menemui kamu sama ibu kamu karena malu dan gak mau kalau kamu membencinya. Ternyata karena itulah papa gak mau kembali ke Indonesia dan memilih menetap di Amerika hingga dia menikah dengan mamaku, karena itulah dia menyuruhku kuliah di sana dan tinggal bersama mereka. Papa udah meninggal sehari setelah aku dan Anya menikah, sebelum dia meninggal dia ingin aku menepati permintaan terakhirnya, yaitu menyampaikan permintaan maafnya ke kamu dan ibu kamu,” lanjut Raihan meneteskan air mata.
“Jinan aku harap kamu gak akan benci sama ayah kamu, dia ayah yang baik. Meskipun aku bukan saudara kandung kamu tapi aku udah anggap kamu seperti adik aku, seperti ayah kamu yang memperlakukanku selayaknya anak kandung. Aku tahu kamu pasti kaget mendengar semua ini, aku juga sama karena itulah aku menerima perjodohanku dengan Anya dan tidak menepati janjiku ke kamu karena aku merasa kita memang ditakdirkan bukan untuk bersama, aku harap kamu akan menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dari aku, semoga kamu bahagia,” kata Raihan bergegas pergi bersama Anya meninggalkanku sendiri di sini menanggung semua luka yang kurasakan.
Kesal, kecewa, dan menyesali semuanya, inilah yang kurasakan sekarang ini, penantian selama 4 tahun kini telah sia-sia, semua harapan dipatahkan oleh kenyataan. Kehadiran sosok ayah tak akan pernah aku rasakan setelah mendengar perkataan Raihan bahwa ayahku telah tiada. Sosok lelaki yang kuimpikan akan menjadi imamku ternyata adalah kakak tiriku.
Aku terus berjalan tanpa menghiraukan sekelilingku, dengan perasaan kacau kata-kata Raihan selalu terbayang, air mata terus saja tumpah membasahi pipiku. Hingga terdengar suara klakson mobil yang berhenti di hadapanku. Pipipippppp Braaakkkk
Aku tak ingat apa-apa saat sadar aku sudah terbaring lemah di atas kasur rumah sakit dengan alat-alat yang menempel di tubuhku, entah apa yang terjadi pada diriku yang sekarang aku rasakan hanyalah tubuh tanpa jiwa. Aku mendengar dokter mengatakan bahwa waktuku sudah tidak lama lagi, hingga aku memanggil ibuku dan dia menghampiriku.
“Ayah, tunggu aku di surga,” kataku dalam hati dengan meneteskan air mata. “Ii-b-bu, Jinan minta maaf, Jinan harus pergi. Jinan gagal menjadi anak yang bisa membanggakan ibu, aku harus mundur menghadapi semesta yang tak pernah berpihak padaku. Ibu harus tahu aku, ibu, dan ayah akan bertemu di surga, I love you malaikatku,” kata-kata terakhir yang terucap dari bibirku sebelum jantungku berhenti berdetak.
Aku pergi tanpa merasakan gelarku sebagai dokter, impian dan harapanku telah sirna. Aku telah mengecewakan ibuku, aku telah membuatnya menangisi kepergianku, aku gagal menjadi dokter yang bisa mengobati semua orang namun apalah daya bahkan lukaku sendiri tak bisa aku obati.
Kata orang ayah adalah cinta pertama untuk anak perempuannya, bagiku itu tidak ada artinya seumur hidup aku tidak akan pernah merasakan cinta pertamaku. Bahkan cinta seorang lelaki yang selama ini kunantikan selama bertahun-tahun berakhir sia-sia yang tersisa hanyalah Aksara Cinta Tanpa Tinta.
Cerpen Karangan: Ulva Mega Puspita Assalamualaikum, nama saya Ulva Mega Puspita, umur 17 tahun.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com