Aku seringkali menertawakan dunia dan segala isinya. Tentang drama disekelilingku, tentang kurang dan lebihnya hari-hariku, bahkan tentang kesialanku tentang keluarga. Apa sebenarnya bukan kutertawakan ya? Mungkin lebih tepat jika kusebut ‘coba menertawakan’. Iya, aku kerap kali coba menertawakan keadaanku sekencang-kencangnya. Hahahahahaha…
Sebut saja namaku Senja. Kenala Senja. Begitu Ibu menamaiku 18 tahun silam. Terlahir dengan paras yang tak terlalu cantik, membuatku mengalami sedikit kesulitan untuk percaya diri, apalagi di negaraku, negara yang mengutamakan wajah dibanding otak. Baiklah, baik. Aku sedang tidak ingin cari gaduh. Kulanjutkan saja perkenalanku. Aku lumayan tinggi untuk perempuan seusiaku, 165 cm. Selain rambutku yang lurus, kurasa tak ada yang bisa kubanggakan dari diriku. Bahkan kesan banyak orang ketika pertama bertemu denganku adalah: sombong dan jutek. Well, who’s care?
Aku anak tunggal. Lahir dari pasangan yang terlalu sibuk hingga bahkan tak sadar bahwa mereka punya seorang anak di rumah untuk diperhatikan atau sekedar ditanya ‘sudah makan?’ atau ‘ada cerita apa hari ini?’. Aku menghabiskan waktu sesukaku, makan sesukaku, hidup di rumah ini sesukaku. Pasti ini tidak menyenangkan bagimu. Sama. awalnya aku juga begitu.
Aku ingat ketika suatu hari ketika aku masih sangat kecil, aku merusak semua mainanku, menghancurkan kamarku, agar aku diperhatikan oleh ayah dan Ibuku. Alih-alih diperhatikan, ‘mbak, tolong beresin mainannya ya..’ itu adalah kata pertama yang kudengar dari mulut ibu hari itu. Just that. Bahkan Ibu tak menatap mataku.
Tetapi waktu 18 tahun sepertinya sudah cukup membuatku acuh tak acuh. Masa bodoh dengan Ibu dan Ayah. Aku malah sudah menganggap aku yatim dan piatu. Bedanya, aku tak kekurangan uang sama sekali, dan ada tempat untuk pulang dan tinggal. Walaupun rumahku tak layak disebut rumah, but yaa, aku punya rumah untuk tidur.
Hari ini tanggal duapuluh. Aku berulangtahun untuk yang 19 kalinya. Tak ada perasaan berbeda dibanding hari-hari sebelumnya. Karena aku tahu hari ini akan tetap sama, malah mungkin lebih sedikit menyedihkan. Tak ada satupun foto ulangtahun tersimpan di rumah ini, pun di galeri ponselku. Apa yang harus diabadikan, ketika setiap tahun aku bahkan tak potong kue dan tiup lilin? Benar-benar sudah mati rasa, aku bahkan tak meneteskan airmata lagi.
Teman? Tentu saja aku punya. Banyak. Aku punya banyak teman. Karena aku punya banyak uang. Mereka menganggapku,-ah tepatnya bukan aku, tapi uangku-, teman. Aku menganggap mereka manusia bermuka dua. Mereka pikir aku tak tahu jika mereka membicarakanku dan seluruh kesedihan hidupku dibelakangku? Apa mereka menamainya? Kasihan? Cuiiih, tak berguna. Aku tak butuh rasa kasihan itu. Aku tak pernah menyimpan kenangan apapun tentang mereka di ponselku, apalagi di otak kecilku. Ibarat memory card, mungkin otakku punya banyak free space jika diperiksa. Satu-satunya kenangan yang banyak tersimpan disana hanyalah waktu-waktu sendiriku dan waktuku bersama Mbak Putri, pengasuh terbaik sejak aku kecil. Bahkan, bila bisa, ingin dia kusebut Ibu. Tapi dia selalu menolak sebutan itu.
Ketidakberuntunganku yang lain dalam hidup, selain keluargaku, kujumpai hari ini. Setelah dengan enggan aku menuruti nasihat Mbak Putri untuk check-up ke dokter karena akhir-akhir ini aku suka sekali mimisan, cepat lelah, tak nafsu makan, mual dan muntah, hasil pemeriksaan dokter kutertawakan dan ditangisi oleh Mbakku. Apa sebutannya? Leukimia. Dokter bilang aku menderita Leukimia atau kanker darah. Waaah, bagus sekali perjalanan hidupku. Di usiaku yang baru 19 tahun sebulan lalu, aku divonis menderita Leukimia.
Aku memeluk Mbakku yang menangis terisak-isak disebelahku. Harusnya dia yang memelukku, tetapi ternyata aku lebih kuat darinya ketika mendengar kabar ini. Aku menatap mata dokter dengan tajam, tidak ada maksud apa-apa. Dokter membalas tatapanku dengan, ahh lagi-lagi tatapan kasihan itu. Aku membenci tatapan itu. Sungguh.
Hari itu aku memilih duduk di taman untuk waktu yang lama. Dikelilingi manusia-manusia dengan beragam tingkah. Disudut sana ada pasangan paruh baya sedang menertawakan sesuatu di ponselnya. Tak jauh dari tempat mereka duduk, kulihat seorang kakek yang sudah berusia, wait let me guess, mungkin hampir 60-an, sedang berjalan santai. Lalu ada anak-anak kecil yang sedang berlari-larian mengejar gelembung-gelembung balon yang ditiup ayahnya. Ahhh, menyenangkan rasanya melihat pemandangan ini. Aku menengadah. Kulihat langit yang begitu biru dengan awan putih disekitarnya. Angin pun bekerjasama dengan baik, bertiup sepoi-sepoi. Menenangkan dan menyejukkan.
Apa sebenarnya yang lalu lalang di pikiranku sedari tadi? Entah. Aku hanya teringat banyak hal. bersyukur untuk sesuatu hal, lalu mengutuki hal lain yang tak sempat kunikmati. Apakah aku sedih dengan penyakitku? Ya dan tidak. Entah, aku sulit mendeskripsikan apa-apa. Aku bahkan tak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya kupikirkan. Kuakui, ada sedikit rasa takut menelusup masuk. Apa rasanya mati? Bagaimana rasanya mati? Apakah setelah itu semua akan baik-baik saja? Ah, apakah Ibu dan Ayah akan sedih? Hahahaha, Kekanak-kanakan sekali aku.
Ketika aku kembali ke rumah, kulihat Mbakku di dapur. Sedang memasak semur ayam pedas kesukaanku. Tak seperti biasanya, dia tampak murung. Kuhampiri dia dari belakang dan memeluknya. Alasanku sedih dengan penyakitku adalah ini: Mbak Putri. Aku tahu setelah ini aku tak akan bisa memeluknya lagi. Dia tak bisa melihatku lagi, aku tak bisa melihatnya lagi. Menyedihkan bukan? Mbakku menangis dalam pelukanku. Lagi. 19 tahun bersama, dianggap anak sendiri, disayangi sepenuh hati, dimanjakan seperti anak kandung sendiri, lumrah bila Mbak Putri kudapati bersedih hati seperti saat ini. Not just her. Aku juga merasakan hal yang sama. Kehilangan bahkan ketika waktunya belum tiba. So sad.
Sore itu kututup dengan membantu Mbak Putri memasak. Kuceritakan banyak cerita lucu, membadut di depannya, seperti yang biasa aku lakukan. Kuajak dia melupakan sejenak kenyataan yang sedang dan akan kami hadapi ke depannya. Bukan sok kuat. Hanya untuk apa menangisi sesuatu yang pasti akan terjadi? Apakah akan mengubah sesuatu? Tidak, bukan? Jadi aku memilih berpartisipasi dengan baik pada scenario yang Pencipta sedang kerjakan. Bagaimana akhirnya, let’s see…
Esok paginya aku terbangun dengan mendapati Ibu disebelahku. Aku mengernyit heran. Aku sudah lupa kapan tepatnya Ibu tidur disampingku dengan melingkarkan tangan di perutku seperti pagi ini. Aku menggeliat, sengaja membangunkan Ibu, dan ya, Ibu terbangun. Ibu mengerti tatapan heran di mataku. Ibu balas menatapku dan… mulai menangis. Ada apa ini? Pagi hariku diawali dengan pemandangan yang menyayat hati begini. Pertanyaan ‘Ibu kenapa’ yang terlontar dari mulutku dibalas Ibu dengan pelukan dan isak tangis yang semakin menjadi. Sempat kudengar kata ‘maaf’ yang terucap berulangkali disela isaknya yang membuatku kembali bersedih hati. Kutebak, Mbak Putri pasti sudah bercerita pada Ibu tentang penyakit mematikanku ini.
Reaksi ayahku berbeda lagi. Tak kudapati Ayah menangis atau memelukku seperti yang Ibu lakukan. Hanya kulihat Ayah semakin sering di rumah. Mengajakku bercerita, berolahraga, hal hal yang dulu bahkan tak pernah Ayah lakukan untukku. Lalu aku, Ayah dan Ibu selalu makan bersama. Sesuatu yang sesungguhnya menyenangkan. Tapi aneh, aku membenci Ayah dan Ibu melakukan itu. Aku membenci perubahan mereka. Aku tak suka diperhatikan hanya karena aku lagi sakit begini. Aku tak butuh dikasihani. Bahkan oleh Ayah dan Ibuku sendiri. Mereka seharusnya bersikap biasa saja. Kenapa berlagak sebagai keluarga? Kenapa baru sekarang? Kenapa ketika aku tak punya banyak waktu lagi? Kenapa ketika aku sudah terbiasa tanpa mereka? Kenapa?
Aku terus mempertanyakan hal yang sama. Aku terus menjaga jarak. Entah hati siapa sebenarnya yang ingin kulukai. Nyatanya, hatiku sendiri yang semakin terluka terlalu dalam akibat tingkahku sendiri. Aku terlalu keras kepala untuk menerima perlakuan manis mereka hanya karena aku tak punya banyak waktu untuk menikmati perlakuan manis ini untuk waktu yang lama.
Lalu pelan-pelan penyakit ini mulai membunuhku. Kulihat badanku semakin kurus, aku sering jatuh dan tak sadarkan diri, sering sekali berkunjung dan menginap di rumah sakit, hingga aku hampir mengenal setengah wajah dan nama perawat-perawat disini. Masa yang berat. Bahkan mungkin terlalu berat. Seringkali kudapati diriku sendiri melamun hingga menangis diam-diam. Rasa sakit yang kualami tak sebanding dengan rasa ikhlasku akan perpisahan yang kutahu akan segera kuhadapi. Walau seringkali meminta hal yang sama sebelumnya, ternyata cukup berat untuk mengucapkan ‘selamat tinggal’ pada dunia dan segala isinya ini.
Aku ingat hari itu sedang hujan. Sedari pagi aku memandangi percikan air hujan dari balik jendela tempatku berbaring. Saat ini hanya ada aku. Entah hanya perasaanku saja, kurasakan waktuku semakin dekat. Ada sedih yang teramat dalam hadir dalam hatiku. Rasa lelah membuatku ingin beristirahat sejenak. Aku memejamkan mataku. Beberapa detik kemudian kulihat dokter dan perawat berlomba-lomba menggapaiku. Aku terdiam di atas ranjang rumah sakit itu. Aneh, aku sama sekali tak bergerak.
Tak lama kulihat Ibu dan ayah disana. Disusul dengan Mbakku yang datang tak lama setelahnya. Mereka menangis histeris memandangi tubuhku. Ibu memelukku. Ayah memalingkan wajah tak sanggup melihat tubuhku yang terbujur kaku. Mbakku? Mbakku mengguncang-guncangkan aku dengan kuat. Kurasakan dingin yang mencekam disekelilingku. Aku tahu kemudian. Waktuku sudah habis.
Tanpa pamit, kisahku selesai.
Cerpen Karangan: Tanty Angelina Blog / Facebook: Tanty Angelina IG : @tanty_angelina / @setengah_cerita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com