Aku menyukai senja, namun juga membencinya.
Langit diwaktu senja memang indah, namun keindahan itu tak didukung dengan sebuah kenangan yang indah pula. Setiap senja datang, aku selalu berseru, “Kenapa waktu itu, bertepatan dengan datangnya senja kau mengambil orang yang aku sayangi?!” seolah menutut kejelasan dari sang pencipta senja. Benar kata orang. Takdir memang tak adil. Sekeras apapun kita menuntut takdir, semuanya tak akan ada yang berubah, seperti sebuah skenario drama yang hanya pembuatnya saja yang tahu dan dapat mengubahnya.
2 tahun yang lalu… Sudah seperti menjadi sebuah tradisi di keluargaku. Setiap senja datang, kami bertiga, sekeluarga akan berkumpul bersama di teras rumah dengan segelas teh hangat dan sepiring cemilan sebagai pelengkap sembari memandangi keindahan langit senja yang Tuhan buat. Namun tidak untuk hari ini. Seolah menjadi hari yang spesial, Ayahku mengajakku serta Bunda untuk berjalan-jalan sembari menikmati indahnya senja dari jalanan. Aku menyetujuinnya dan berangkatlah kami bertiga menggunakan mobil milik Ayah.
Di dalam mobil kami saling bercengekrama dan Ayah melontarkan beberapa lelucon yang sukses membuat kami berdua tertawa sampai sakit perut. Jalanan tak pernah sepi ya di waktu senja. Suara klakson terdengar bersahut-sahutan ketika mobil kami telah sampai di jalan raya. Suasana jalan raya di senja hari yang padat. Itu semua didominasi oleh pengendara yang sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Rasa penat serta jalanan yang padat dan banyak polusi mungkin telah menaikkan suhu darah seorang pengendara mobil sampai-sampai dia memarahi seseorang yang tak sengaja menyeggol mobilnya dan membuat mombilnya lecet sedikit. Namun itu semua tak sebanding dengan si pengendara motor yang jatuh dari motornya.
“Padahal cuman disenggol dikit doang, segitu gak terimanya. Heran deh,” Gumamku seraya memperhatikan kedua pengendara itu beradu mulut di pinggir jalan. Terdengar suara kekehan dari arah depan. “Besok kalau kamu udah kerja, pas pulang kerja kamu jangan kayak gitu ya,” sebuah nasihat terlontar dari mulut Ayah. “Iya yah, lagian apa untungnya aku marah-marah sama orang yang gak kukenal.” “Iya dong, anak bunda ga mungkin kayak gitu.” “Bunda boleh minta satu permintaan gak sama Lily?” “Apa itu bun?” “Kalau Lily udah mulai meniti karier tapi ayah sama bunda ga ada ataupun ga bisa ngedampingi kamu, bunda minta maaf ya,” “Dan bunda harap Lily gak akan putus semangat, ya?” Permintaan macam apa itu?! Permintaan yang Bunda berikan seperti terdapat pesan tersirat di dalamnya. “Bunda ngomong apa sih, kok ngomongnya kayak Bunda sama Ayah mau ninggalin Lily aja.” Terlihat oleh pandanganku dari arah kaca yang tergantung di tengah, sebuah senyum yang mungkin mempunyai makna tersirat terukir di wajah Bunda. Dan mendadak pembicaraan kami berubah jadi serius. “Ga usah terlalu dipikirin omongan bundamu itu Li, sekarang kita nikmati waktu terakhir senja ini.”
“Waktu terakhir senja ya,” aku bergumam pelan dan tak ada yang mendengarnya saking pelannya. “Eh Ayah awas yah!” suara teriakan Bunda berhasil membuat lamunanku buyar. Saat pandangan mataku mengarah ke kaca depan, aku tak bisa melihat apapun kecuali sebuah cahaya yang sangat terang dan cahaya itu seperti bergerak kedepan, ke arah mobil yang sedang kami naiki. Karena panik Ayah langsung membanting kemudi ke arah kanan. Padahal di sebelah kanan kami ada pembatas atau pagar sebuah jembatan. Ya, kami saat ini sedang berkendara di sebuah jembatan yang tak begitu panjang, namun dengan tiba-tiba sebuah mobil yang salah jalur berada di depan mobil kami.
CIIITT, BRAK! Sebuah decitan dari rem mobil yang kami tunggangi disusul dengan suara hantaman keras. Badan mobil depan kami penyok, kaca depan pecah dan menancap pada tubuh Ayah dan Bunda. Aku yang duduk dibelakang hanya terkena sedikit pecahan kaca dan terbentur kursi yang ada di depanku. “Bunda, Ayah?” aku mencoba merangkak kedepan untuk melihat keadaan Ayah dan Bunda. Terkejutlah diriku mendapati keduanya sudah tak sadarkan diri dengan darah yang mengucur deras dari dahi. “Ayah! Bunda!” kucoba menggoyang-goyangkan tubuh mereka berdua, namun tak ada respon dari keduanya. “Bangun yah, bun.” Terus saja kupanggil-panggil mereka. Namun masih saja mereka tak mau merespon ataupun membuka matanya.
Terdengar suara pintu mobil yang diketuk dan orang-orang yang nampak berkerumun di sekitar mobil kami. Mereka semua berteriak. Entah meneriaki apa, karena aku hanya mendengar secara samar-samar. Setelahnya aku mendengar bunyi sirine yang berhenti di sekitar mobil dan kerumunan orang-orang tadi. Pintu mobil tempatku berada dibuka, begitupun dengan pintu tempat Ayah dan Bunda. Petugas ambulan itu segera mengevakuasi keluargaku.
Saat ini, tepat pukul 17.30 WIB. Aku terduduk lemas di ruang tunggu dan disebelahku terdapat pintu besar dengan tulisan UGD diatasnya. Seusai dokter mengobati lukaku tadi, aku langsung berlari ke arah UGD untuk melihat keadaan Ayah dan Bundaku. Aku tak henti-hentinya menangis sembari bibirku berkomat-kamit memanjatkan doa untuk kedua orangtuaku.
30 menit kemudian, barulah dokter yang menangani mereka berdua keluar. Nampak dari wajah sang dokter bahwa dia telah bekerja keras menyelamatkan pasiennya. “Lily?” panggil dokter itu. Aku lantas berdiri dan menyeka air mata yang sudah keluar banyak. “Ya dok, saya sendiri. Bagaimana keadaan orangtua saya dok?” tanpa babibu lagi, langsung kuberikan pertanyaan ke dokter itu. “Huhh,” terdengar jelas olehku helaan napas pasrah dari dokter itu. Disaat-saat seperti ini, pikiranku kalut. Aku sudah tidak bisa lagi berpikir positif. “Katakan dok, gimana keadaan Ayah dan Bundaku?!” dengan tidak sabarnya aku menuntut kejelasan dari dokter itu. Kemudian dokter itu menjawab, “Maaf Li, kami sudah mengusahakan penanganan maksimal untuk kedua orangtua kamu, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain.” Sekujur tubuhku langsung melemas seolah belum siap untuk menerima kabar ini.
Setelah mendengar kabar duka itu, adzan magrib berkumandang. Aku tak langsung memasuki ruangan orangtuaku, aku memilih untuk mengerjakan kewajibanku dulu sebagai hamba, baru setelahnya kutengok orangtuaku. Dengan langkah gontai, aku melangkah keluar rumah sakit untuk menuju masjid. Air mata tak henti-hentinya menetes disetiap langkahku menuju ke masjid. Kudongakan kepalaku, memandang langit senja yang perlahan hilang keindahannya. Gumpalan awan gelap bergerak membentuk suatu koloni yang menututpi langit. Tetesan air dari atas membasahi rambutku yang sudah basah akibat air wudhu. Seketika itu aku membenci senja. Senja hari ini menyimpan sebuah trauma di benakku.
“Rupanya permintaan Bunda tadi merupakan sebuah ucapan pamit untuk diriku.”
Cerpen Karangan: Dinda Dewi Ig: @anggra_0597 Seorang penulis amatir yang masih mengenyam pendidikan dibangku SMA. selamat membaca semoga suka :))
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com