Anindira Angelina Entah kenapa sejak pagi perasaanku tidak enak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Aku berusaha mengingat-ingat, namun tak kutemukan akar penyebabnya. Pekerjaanku tak tertata dengan baik jadinya. Bahkan sarapanku tadi tak kuhabiskan, benar-benar tak berselera. Disela waktu luangku, aku menyempatkan menghubungi Ayah. Sedari tadi wajah ayah suka tiba-tiba melintas dalam pikiranku. Sudah tiga kali kuhubungi, dan ayah belum menjawab. Ayah dan aku terpisah kota. Sejak tamat kuliah 4 tahun lalu, aku memutuskan berangkat merantau untuk mendewasakan diri sendiri. Sedang ayah dan my stepmother tinggal di kota asalku. Jarang berkunjung karena sibuk yang kebanyakan kujadikan alasan. Dan beberapa hari belakangan ini, aku sering rindu ayah.
“Halo Yah?” Aku segera mengangkat ponselku yang berdering di detik pertama tanpa sempat melihat siapa yang menghubungiku barusan. “Gueee Nin, Tara. bukan Ayah… Lo lagi nungguin telpon ayah?” Ternyata Tara. Aku tanpa sadar menghembuskan nafas, sedikit kecewa. “Iya, Ta. Gue nungguin ayah nelpon. Dari tadi gue nelpon ga diangkat masiiih… eh wait Ta, ada telpon masuk nih. Ntar gue callback lo yaa…” Aku menutup percakapanku dengan Tara secara sepihak sebelum Tara sempat menjawabku.
“Halo? Iya, Saya Anindira. Ini dengan siapa? Oh iya… iya benar, beliau Ayah saya… hah? Gimana?” Aku tidak tahu lagi apa yang orang ini bicarakan di ujung sana. Aku terpaku dengan seluruh tubuh bergetar. Bingung dan panik, benar-benar tidak tahu harus bersikap apa. Wait, apa yang dikatakan orang barusan? Dia bilang dia dari pihak rumah sakit. Ayah dibawa ke rumah sakit setelah mengalami kecelakaan tunggal. Kondisi ayah cukup parah dan karena di list panggilan missed call ayah ada nomorku, maka pihak rumah sakit memutuskan untuk menghubungiku untuk menginformasikan kondisi ayah. Apa yang harus kulakukan sekarang? Pikiranku kacau. Kurasakan airmata mulai mengalir di pipiku. Ilona, teman kerjaku menghampiriku. Dia sepertinya tahu ada yang tak beres denganku. Dengan terbata-bata aku menjelaskan apa yang baru saja kudengar.
Ilona membantuku menghubungi kembali nomor tadi. Dan setelah yakin bahwa memang informasi itu benar, ayah di rumah sakit dengan kondisi parah, Ilona kembali membantuku mengurus ijin dan cutiku kepada atasanku. Aku harus pulang. Aku harus pulang menemui ayah. Aku harus pulang. Aku bergegas pulang ke apartment. Kukemas bajuku seadanya dengan terburu-buru. Mengecek tiket pesawat dan langsung booking flight paling cepat hari itu juga. Tanganku bergetar saat kuraih ponselku dan mencoba menghubungi Tara. Hanya Tara yang terlintas dipikiranku saat ini. Hanya Tara…
Awan Dirgantara Two missed calls dari Nin. Aku baru saja kelar meeting ketika kudapati dua panggilan tak terjawab dari Nin. Aku menghubungi Nin lagi. Perasaanku mendadak agak gelisah. Benar saja, sapaan ‘Halo’ku dijawab Nin dengan tangis. “Nin, lo dimana? Tenang dulu… cerita pelan-pelan…” Kudengar Nin bercerita dengan terbata-bata. Inti yang kudengar adalah dia sedang dalam perjalanan menuju airport. Dia harus pulang karena ayahnya mengalami kecelakaan dan kondisinya mengkhawatirkan. Aku menarik napas dengan panjang dan berat. Aku memegangi kepalaku yang kupaksa berpikir saat ini. “Nin, lo tenang dulu. Tarik napas. Jangan nangis lagi, everything will be OK. Ayah bakalan baik-baik aja…” Well, aku tahu semua kata-kataku barusan hanya berusaha menghibur Nin dan aku. Yaaa to be honest, aku juga ikutan khawatir. I don’t know what to say. Aku tahu Nin gampang panik. And for God’s sake, aku pengen banget ada disamping Nin sekarang ini. Aku kembali menarik napas dan melirik ruangan managerku. “Is it OK for me now untuk mengajukan cuti dan ikut Nin pulang?” Aku menimbang-nimbang dalam hati. Dan Jawaban dari keraguanku langsung ada, managerku, -dengan isyarat tangan dan bibirnya,- menyuruhku naik ke lantai dua untuk meeting lagi. Well, sepertinya aku tidak bisa bergegas menemui Nin saat ini. “Nin, kabarin gue… Lo harus tetap kabarin gue.. Hati-hati ya, Nin…” Aku tidak tahu lagi harus berkata apa pada Nin. Suaranya masih terdengar begitu sedih, sesekali masih kudengar isakannya. Aku menutup ponselku setelah kudengar Nin menjawabku dengan lemah diujung sana. Sedang aku kembali menata hati dan pikiranku yang sudah mulai kacau dan amburadul. Aku tahu sisa hari ini pasti akan kulalui dengan gelisah.
“Wan, lo ga ikut meeting? Yuk, udah ditungguin tuh…” Kevin, kolega kantorku mengejutkanku. “Hah? Oh… iya Vin, lo duluan deh, gue nyusul ntar lagi…” Belum apa-apa aku sudah hilang fokus. Setelah memantapkan hati, aku bergegas naik ke ruang meeting. Everybody is waiting for me. Yup, ini termasuk project yang bagus and I will be a very dumb person kalau screw up meeting kali ini. Aku menarik napas dengan panjang entah untuk keberapa kalinya hari ini. Memfokuskan pikiranku dan memulai presentasi. Thank God, everything is running well. Project berhasil, we got the agreement. One problem solved. Now, how about Nin?
Aku bergegas keluar dari ruang meeting dan mengecek ponselku. Tidak ada kabar dari Nin disana. Sudah petang hari. Seharusnya Nin sudah tiba. Is she Okay? Banyak pertanyaan dan kekuatiran yang tak kusuarakan pada sesiapa saat ini. Aku memutuskan sambungan telpon ketika kudengar operator menjawab dan mengatakan bahwa ponsel Nin sedang tak aktif. Oh, come on Nin, you should call me…
Anindira Angelina Mendadak pandanganku gelap saat aku tiba di rumah sakit dan orang-orang sudah berkerumun didepan ruang inap ayah. Aku menguatkan diriku sendiri dan melangkah masuk. Beberapa orang yang kukenali mulai menatapku dengan pandangan kasihan. Oooh come on, don’t look at me like that…
15 menit yang lalu, kabar tentang ayah membuatku frustasi. Ayah sudah pergi. Bahkan tak sempat menungguku untuk berpamitan. Pendarahan organ dalam kata dokter. Dan mereka sudah berupaya semampunya. Aku ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya. Hatiku sakit sekali. Tetapi yang kulakukan adalah membekap mulutku dengan tanganku sendiri dan terisak. Sakit. Sakit sekali rasanya.
Aku berjalan menghampiri ayah yang sudah diam dengan wajah tenang dan teduhnya. Airmataku tumpah dan mengalir dengan deras. “maafin Nin, yah… maafin Nin…” Tak hentinya aku menyuarakan permintaan maaf pada Ayah yang sudah tak bisa mendengarku lagi. Aku meminta maaf karena sudah terlalu lama tak pulang, meminta maaf karena menyibukkan diri, meminta maaf karena jarang bercerita, meminta maaf untuk segala hal baik dan menyenangkan yang belum sempat kulakukan berdua dengan ayah.
Aku menangkup wajah ayah di kedua telapak tangan kecilku. Terbayang begitu banyak kenangan indahku dengan ayah sejak aku kecil. Ayah yang menggantikan Ibu untukku. Ayah yang tak pernah mengeluh didepanku, ayah yang selalu tersenyum ketika melihatku, ayah yang kusayangi, yang kubanggakan, yang begitu kucintai. But I lost him today. Aku tak punya ayah lagi. Aku anak yatim piatu mulai hari ini. Aku memegangi dadaku yang terasa sangat sakit. Badanku bergetar dengan hebat. Tak sanggup aku menghadapi perpisahan ini. Tak sanggup aku kehilangan ayah seperti ini.
Lalu silih berganti keluarga datang dan menangis histeris sama sepertiku. Mereka mendekapku. Menguatkanku, menghiburku. Aku berterimakasih dengan sungguh-sungguh. Namun rasa sakitnya masih sama. Masih sangat sakit sekali.
“Ndira…” Aku menatap Om ku yang barusan memanggilku. Om ku satu-satunya. Adik ayah. Melihat wajah Om, aku menangis lagi. Aku didekap Om ku dengan kuat. Mengelus pundakku. “Yang kuat ya sayang,.. Ayahmu sudah tenang… let him go…” Aku masih tak menjawab Om. Tak bisa kukeluarkan suara lain selain isakan ini. Aku balik memeluk Om ku dengan erat. Tanpa suara, Om ku hanya memelukku dengan erat untuk beberapa saat. Kami sama-sama tahu sakitnya kehilangan ini.
Setelah 17 tahun, kehilanganku terulang. Apakah aku sudah cukup dewasa kali ini untuk segera berdamai dengan perpisahan ini? Atau masihkah aku seperti aku yang dulu, yang butuh waktu terlalu lama untuk bisa mengatasi rasa kehilangan ini?…
Awan Dirgantara Touchdown. Akhirnya pesawat yang kutumpangi landing juga. Aku dengan tidak sabar bergegas bangkit dan berjalan keluar terburu-buru. Mengalahkan langkah kaki manusia lain yang kurasakan sangat lambat, aku mendahului mereka semua dengan langkah cepat dan panjangku. Hati dan pikiranku sedang rumit, banyak kemelut. Gelisah, kuatir, takut, sedih, semuanya bercampur jadi satu.
Tepat tengah malam tadi, Nin baru menghubungiku. Aku yang memang tak bisa tertidur pulas segera menarik napas lega melihat namanya muncul di ponselku. Seharian mencoba menghubunginya dan tak pernah ada jawaban. Namun ternyata aku belum bisa bernapas lega. Suaraku tertahan dan nafasku tercekat ketika Nin bercerita dengan suara terbata-bata akibat menangis yang berkepanjangan. “Ta… Ayah udah ga ada. He is gone…” Aku terdiam dan terpaku untuk waktu yang lama. Mendengarkan suara tangisan Nin di telingaku. Ada yang sakit di hatiku. Mendengar Nin menangis begini, aku pun terluka dan sedih sekali. Sial, ingin sekali kudekap Nin dalam pelukanku saat ini. Entah kata-kata apa yang kemudian kuucapkan untuk menghibur dan menenangkan Nin. Ketika dia memintaku menemaninya hingga dia tertidur, dengan cepat ku jawab ‘ya’ tanpa banyak berpikir. Kemudian aku mendengar suara napas Nin yang berat dan lemah. “Seberapa banyak lo nangis hari ini, Nin?” Aku bertanya-tanya dalam hati.
Keesokan paginya, tanpa banyak berpikir, aku segera menghubungi managerku dan minta cuti untuk 4 hari. Time to go to Nin. She needs me. Dan karena memang jatah cutiku masih banyak tersisa, approval cuti kuterima dalam waktu singkat. And here I am. Dalam perjalanan menuju rumah Nin.
Bukan kali pertama berkunjung ke sini. Kunjungan pertama kira-kira 2 tahun lalu. Ketika itu aku, Nin dan beberapa teman yang lain memutuskan berlibur dan kampung halaman Nin adalah tujuan pertama yang terlintas di benak kami. Karenanya kunjunganku kali ini tak menemui banyak kesulitan. Sekalipun sudah dua tahun berlalu, namun ingatakanku akan tempat ini masih segar. Tak kutemui kesulitan untuk sampai di rumah Nin. Kulihat sudah banyak orang berkumpul disana. Selayaknya manusia dengan kehidupan sosial, mereka merayakan perpisahan dengan menghibur satu sama lain. Aku bersyukur dalam hati, Nin tak sendirian.
Segera kuhampiri Nin yang terduduk lemas di sebelah Ayahnya. Matanya sayu dan bengkak akibat terlalu banyak menangis. Wajahnya pucat. “Nin…” Aku memanggilnya dengan pelan. Dia terbangun dari lamunannya dan memandangku. Ahh, tatapan itu. Tatapan sedih itu. Dia memelukku dengan erat. Kurasakan badannya bergetar dalam pelukanku. Tersalurkan semua rasa sedihnya. Aku pun menangis sembari memeluknya. “Gadis hebat ini, Anindiraku tersayang, terimakasih sudah bertahan sejauh ini…” Aku mengucap syukur dalam hati. Aku menepuk pundaknya, “I’m here, Nin…”
Cerpen Karangan: Tanty Angelina Blog / Facebook: Tanty Angelina IG : @tanty_angelina / @setengah_cerita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com