Adakah penyesalan tanpa didahului kekhilafan? Tak bisakah sebuah maaf selalu tiba di saat yang tepat?
Frizka berdiri di balkon rumah kontrakannya, menatap kemilau bintang bertabur di atas langit. Embusan angin kencang menerpa wajahnya. Sebutir kristal jatuh dari mata coklat remaja 17 tahun tersebut. Ia menghela napas panjang. Matanya nanar menatap sehelai kertas di tangannya. Lembaran kumal itu adalah surat terakhir dari sang Mamak lebih dari setahun silam.
Selamanya kau adalah malaikat kecil Mamak. Demikian kalimat penghujung surat itu. Perlahan, semua kenangan itu menembus relung hati Sang Gadis. Sejuta pilu itu kembali bermunculan.
Di suatu siang nan indah, Frizka pulang dengan wajah sumringah. Suasana hatinya bak langit biru. Ia berlari cepat menuju ladang tempat Sang Mamak bekerja. Dihampirinya mamak yang tampak lelah, dengan keringat mengucur deras membanjiri tubuh kurus rentanya. Raut wajah Mamak berubah tatkala gadis itu menyodorkan map warna merah bertuliskan Frizka Anindhita. Penasaran, mamak membukanya.
“Kau lulusan terbaik. Mamak bangga sekali,” ucap mamak sembari memeluk erat tubuh mungil Frizka. Derai air mata pecah seketika di ladang itu. Usaha mamak menyekolahkan Frizka tidak sia-sia. Ia telah lulus sekolah dasar dengan nilai yang sangat memuaskan. Jarang sekali anak seusianya di kampung itu yang masih bisa lanjut sekolah hingga lulus walau Cuma di tingkat SD. Lazimnya mereka berhenti di tengah jalan demi membantu orangtua berladang untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.
Frizka senang sekali memandang Mamak dipenuhi sejuta kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Namun, ia teringat akan perkataan Pak Tigor, bapak kepala sekolah, pagi tadi. “Frizka! Nama yang tak biasa kutemui di kampung-kampung. Kau lulus dengan nilai fantastis. Di kampung ini, belum pernah ada murid yang secerdas kau. Saya sarankan, kau melanjutkan SMP di ibukota provinsi saja. Di sana, kau akan memperoleh pendidikan yang jauh lebih baik.” Kini, Frizka berada di ambang kebingungan. Di satu sisi, ia ingin pergi menjemput mimpi. Namun, melihat kondisi mamak, ia tak tega.
“Ada apa?” Tanya mamak, menyadari putrinya tampak bingung. “Tidak apa-apa, Mak. Ayo, kita pulang saja,” jawab Frizka. Ia tak mau memberitahu mamak sekarang. Ini bukanlah waktu yang tepat.
Frizka meletakkan alat berladang mamak di dapur. Gubuk tua sederhana ini adalah tempat terciptanya ukiran kisah Frizka dan Sang Mamak serta almarhum bapak. Bapak meninggal saat Frizka berusia dua tahun akibat penyakit TBC. Sejak itulah Mamak bekerja sendirian menafkahi keluarga kecil mereka.
“Ini, Mak. Nasinya sudah matang.” Frizka meletakkan piring berisi santap siang di atas tikar. Bagi Frizka dan mamak, makan nasi dengan lauk kerupuk dan sambal sudah lebih baik ketimbang tidak ada hidangan sama sekali. Tak jarang, mereka tidur dengan perut kosong. “Kamu saja yang makan. Mamak sudah makan di ladang. Kenyang sekali, Nak,” ucapnya begitu melihat nasi di piring hanya cukup untuk mengisi perut satu orang. Terlebih, anaknya sudah tidak makan dari semalam. “Tidak, Mak. Kita makan sama-sama saja. Sedari tadi Mamak terlihat lelah sekali.” “Sudah! Tidak usah mencemaskan Mamak. Mungkin Mamak kecapekan saja.” Frizka diam saja. Ia sama sekali tidak menyentuh makanan itu. Hatinya sakit menyaksikan kondisi sang Mamak. Melihat itu, mamak menyuapkan sesendok nasi ke mulut Frizka. Yang disuapi menurut saja. Tak ingin mengecewakan mamaknya.
“Kau ingin melanjutkan sekolahmu di mana?” Tanya mamak. “Aku tidak tahu. Apa aku tidak usah lanjut sekolah saja ya, Mak? Biar bisa bantu Mamak bekerja di ladang.” “Tidak!” ujar Mamak tegas. “Mamak tidak izinkan. Kau harus tetap bersekolah. Kau harus jadi orang sukses.” “Tapi, Mak, kalau lanjut sekolah, harus ke kota dan tidak sedikit biayanya. Bukan Cuma uang sekolah, kamar tempat tinggal juga perlu disewa, kan, Mak? Jadi, izinkan aku di sini saja, membantu dan merawat Mamak.” “Mamak akan bekerja lebih keras supaya bisa membiayai semua keperluanmu di kota, Nak. Kau harus tetap mengejar impianmu. Kau satu-satunya harapan Mamak. Apa kau tidak ingin melihat Mamakmu bangga dan bahagia?” Kali ini ucapan Mamak diiringi derai air mata. “Bukan begitu, Mak. Aku tidak ingin menyusahkan Mamak. Sudah cukup Mamak bekerja keras mengasuh juga membiayaiku sedari kecil. Kini saatnya aku membalas pengorbanan Mamak,” Frizka pun berlinang air mata. “Kau harus tetap sekolah! Soal biaya urusan Mamak,” ucapnya. Ia hanya bisa menurut. Berharap yang terbaik untuk hidupnya dan Mamak.
Tiga minggu telah berlalu. Frizka sudah melakukan persiapan yang matang untuk berangkat ke ibu kota provinsi. Atas bantuan Pak Tigor, ia diterima di SMP unggulan. Meski telah memikirkan dan mempersiapkan segalanya, hatinya teramat luka. Ingin sekali ia mengurungkan niat pergi. Akan tetapi, ia tak ingin mengecewakan harapan Mamak. Mamak telah menjual perhiasan terakhirnya demi membiayai pendidikannya.
“Ayo, kita berangkat,” ajak Pak Tigor. Beruntunglah, pak Tigor mau berbaik hati mengantarkan Frizka ke ibu kota. “Aku janji akan menjadi kebanggaan Mamak dan almarhum Bapak.” Ia memeluk erat tubuh kurus mamak. “Jangan kau jadi orang sombong saat sukses nanti,” pesan Sang mamak. Lambaian Frizka mengakhiri percakapan mengharukan itu.
Hati mamak teramat sakit melepas putri semata wayangnya seorang diri. Pikirannya terus saja melayang pada putrinya, tentang bagaimana malaikat kecilnya akan hidup seorang diri di kota baru tanpa pengalaman, tanpa kenalan, apalagi saudara.
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa setahun sudah kepergian Frizka ke kota. Ia mulai rindu dengan kampung kelahirannya, pada Sang Mamak. Namun, rindu itu harus dipendam sejenak karena perjuangannya di kota baru akan dimulai.
Di kamar sewa berukuran tak kurang dari 2 meter persegi, Frizka berusaha berkonsentrasi menyelesaikan satu cerpennya. Nyaris sebulan tulisan itu belum juga siap. Padahal siang nanti harus dikumpulkan ke sekolah untuk diikutkan seleksi kompetisi menulis internasional. Frizka menyemangati diri sendiri sambil menulis lagi. Cerpennya harus bisa ikut seleksi. Ini adalah langkah awal menuju kesuksesan itu.
Sementara itu, di kampung, Mamak yang mulai renta telah menunggu kepulangan putri kesayangannya. Pagi-pagi sekali, ia telah menyiapkan masakan kesukaan Frizka. Daun ubi dan sambal sudah tertata rapi diatas tikar pandan. Semua harapan Sang Mamak sia-sia tatkala seorang tukang pos membawa sebuah surat untuknya. Kini, kerinduannya selama setahun terakhir ini tidak terbalaskan. Tubuh mamak terasa lemas. Apalagi sudah hampir tiga hari perutnya tidak terisi. Uang hasil kerjanya ditabung untuk membeli bahan makanan yang akan diolah menjadi masakan kesukaan putrinya. Namun, ada selarik kalimat di surat itu yang tetap bisa menyemangatinya agar kembali tersenyum. Dengan derai air mata, mamak membacanya sambil terbatuk-batuk berat.
“Mak, aku akan mewakili sekolah dalam lomba menulis internasional. Doakan aku, ya.” Air mata mulai berjatuhan di pipi keriputnya. Syukur tiada henti terucap dari bibirnya.
Sebulan kemudian, cerpen Frizka yang berjudul “Kasih Untuk Malaikat kecilku” sukses membawanya menjadi juara dalam kompetisi menulis internasional. Sejak saat itu, karier Frizka maju pesat. Berbagai proyek pembuatan buku dijalaninya, baik buku yang ditulisnya sendiri maupun bersama kawan-kawannya. Di usia yang masih sangat belia, ia sudah bisa menghasilkan uang sendiri, tidak lagi meminta dari mamak. Saat ini Frizka mulai bekerja sebagai motivator cilik di salah satu stasiun radio swasta. Uang yang ia peroleh digunakan dengan bijak. Frizka membelanjakan sebagian untuk membeli perlengkapan kepenulisan, sebagian lagi untuk sewa kamar. Kesibukan dan segala yang telah diperoleh menjadikannya lupa akan Sang Mamak. Berita kesuksesannya pun tak sampai di telinga mamak di kampung. Kerinduannya pada mamak sudah tak ada lagi. Kini, Frizka telah berhasil mencapai cita-citanya sebagai seorang penulis. Usaha toko buku daringnya pun berkembang pesat. Ketika baru masuk SMA, Frizka tidak lagi tinggal di kamar sewaannya. Ia memutuskan untuk mengontrak satu rumah yang sedikit lebih lega.
Di suatu sore nan cerah, Frizka mengayuh sepedanya pulang. Rumah kontrakannya memang hanya lima ratus meter dari sekolah. Ada yang terasa beda kali ini. Entah mengapa ia ingin cepat-cepat sampai. Setiba di depan rumah, Frizka terkejut. Pak Tigor sudah berada di teras dengan raut wajah tegang. “Darimana saja kau ini? Sudah 3 hari tidak bisa dihubungi,” ucapnya dengan suara meninggi. “Mohon maaf, Pak. Akhir-akhir ini saya sibuk. Ponsel saya juga sempat rusak. Memangnya ada apa ya, Pak?” Tanya Frizka bingung. “Kau telah berubah. Dulu kau amat menyayangi Mamak, tapi kini, kau tak lagi sama. Sesibuk apa sih kau ini sampai tidak bisa pulang menjenguk Mamakmu disaat-saat terakhirnya?”
Kalimat-kalimat itu seketika menikam hati Frizka. Baru saja ia hendak membuka mulut, Pak Tigor telah mendahuluinya. “Saya menyesal pernah menyarankan kau bersekolah di kota. Kau ternyata telah melupakan Mamakmu yang telah melahirkan, merawat, dan menjagamu. Kau tahu, setiap hari Mamakmu bekerja tanpa memedulikan derita yang dialaminya. Yang dia pikirkan hanya kau dan bagaimana mencukupi biaya hidupmu. Tapi kau telah melupakannya. Hingga Mamakmu tiada, kau tak ada di sampingnya. Anak macam apa kau ini!”
“Ma…maksud Bapak, M…ma…mak saya sudah m…m…meninggal?” Ia jatuh tersungkur. Hati Frizka teramat sakit. Pipinya basah oleh air mata. Sekarang, ia tidak bisa bertemu lagi dengan Sang Mamak. Frizka hanya bisa menangis, menyesali semua yang telah ia lakukan pada Sang Mamak tercinta.
Suatu keberhasilan akan kaudapatkan ketika kau menghormati ibumu. Hargailah dan jangan sekali-kali kau lupakan itu. Ketahuilah, penyesalan selalu datang setelah berlangsungnya suatu kejadian menyakitkan. Demikian beberapa kalimat yang diucapkan Frizka sambil berlinang air mata pada sambutan yang diberikannya beberapa jam yang lalu. Ia baru saja menerima penghargaan sebagai penulis terbaik kategori remaja tahun ini versi Lintasmedia, sebuah lembaga internasional di bidang literasi. Kalimat-kalimat itu pulalah yang ditulisnya di sampul belakang buku berjudul “Maafkan Malaikat Kecilmu”, bukunya yang masuk kategori sepuluh buku terlaris di Indonesia saat itu. Untuk apa aku berdiri saja di balkon ini? Aku harus segera ke sana.
“Mak, ini aku.” Frizka berlutut di sisi pusara Mamak. Sebuah piala penghargaan tergeletak di sisinya. “Untuk keberkian kalinya, aku mau minta maaf sama Mamak. Maafkan malaikat kecilmu ini, Mak. Semua keberhasilanku adalah karena Mamak, oleh Mamak, dan untuk Mamak juga. Aku menyayangi Mamak selamanya.”
Cerpen Karangan: Aydha Zukhrufa Aydha Zukhrufa, adalah seorang wanita asal Magelang yang kini telah berdomisili di Sleman DI Yogyakarta.. Ia adalah anak kedua dari pasangan Musfiah dan Munasshor. Ia lahir di Magelang, 15 Juli 2003. Sejak kecil, ia gemar menulis dan berakting. menulis. Beberapa karyanya pernah diterbitkan di majalah Gema Braille. kini, ia masih berprovesi sebagai pelajar.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com