Risa mendekati Ibu yang sedang sibuk menata lontong yang baru saja matang ke dalam kotak besar. “Ibu … aku ikut, ya. Hari ini kan libur.” suaranya sedikit memaksa. Mau tak mau Ibu mengangguk, diusapnya puncak kepala Risa. Risa tersenyum. Bergegas membantu ibu menyiapkan barang yang hendak dibawa ke pasar. Semoga hari ini lontong buatan Ibu banyak yang beli. Risa berdoa dalam hati. Berharap jualan ibunya hari ini laris manis.
Sampai di pasar jalan setapak masih becek, sisa hujan semalam. Meskipun becek sudah banyak orang di sana. Padahal baru pukul empat pagi.
Di dalam pasar udara terasa sesak. Suara bising pedagang dan pembeli saling bersahutan. Sesekali Risa menghela nafas, menahan bau amis ikan milik pedagang sebelah tempat ibunya berjualan. Baunya lumayan menusuk hidung. Ibu tersenyum melihat kelakuan anak bungsunya itu.
Beberapa orang mulai menghampiri lapak lontong kari milik Ibu. Risa senang sekali. Mulai sibuk menyiapkan gelas untuk minum pembeli. Sesekali Ibu melirik Risa yang sedang mengelap gelas untuk minum pembeli.
Waktu mulai menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh menit. Pasar memang sangat ramai, tapi yang mampir membeli lontong kari milik Ibu masih bisa dihitung jari. Risa mulai bosan. Sedari tadi duduknya tidak tenang.
“Bu … kok enggak ada yang beli lagi, sih?” Risa terdengar kesal. Ibu meletakkan buku yang sedang dibacanya. Tersenyum geli melihat bibir Risa yang manyun, mirip ikan mas di lapak sebelah. “Belum Neng, belum ada yang beli lagi. Jangan bilang enggak ada yang beli lagi. Harus berpikiran yang baik. Mungkin sebentar lagi ada yang beli.” Ibu menjawab dengan lembut. “Tapi ini sudah siang loh, bu. Kita masih baru tujuh orang yang belinya. Padahal kita datang lebih duluan dari mereka. Enggak adil!” Risa masih manyun. Merasa Tidak puas mendengar jawaban sang Ibu. “Husssh … nggak boleh bilang begitu. Rezeki kita sudah diatur. Tidak mungkin tertukar atau keliru. Datang lebih pagi itu usaha kita menjemput rezeki. Selain itu kita tetap harus berdoa dan bersyukur. Mau berapa pun hari ini yang beli, itu semua sudah ada yang mengaturnya. Berprasangka baik biar dapat yang terbaik.” Risa terdiam. Menyesal sudah berkata demikian.
“Ibu marah?” tanya Risa takut-takut. “Risa sayang, siapa yang marah. Ibu enggak marah. Ibu ingin Risa tahu, bahwa rezeki setiap manusia itu Tuhan yang mengatur. Manusia wajib berusaha semaksimal mungkin, berdoa dan wajib mensyukuri rezeki yang sudah diberikan, baik itu sedikit atau banyak.” Ibu mengusap lembut pipi Risa. Risa tersenyum, lega mendengar ibu tidak marah.
“Maaf, Bu. Lontong kari nya masih ada berapa porsi lagi, ya?” suara seorang wanita muda menghentikan percakapan Ibu dan Risa. “Sekitar 20 porsi lagi.” Ibu mengira-mengira dengan cepat. “Kalau begitu, tolong dibungkus semua ya Bu. Ini uangnya, maaf saya tinggal sebentar untuk beli kue basah.” wanita muda itu menyerahkan dua lembar uang berwarna merah ke tangan Ibu. Ibu menerima uang tersebut. “Terima kasih. Mangga … silakan belanja kuenya. Saya siapkan pesanannya.”
Bola mata Risa berbinar. Dalam hatinya berucap syukur. Ibunya ternyata benar, rezeki itu sudah ada yang mengatur. Ibu tersenyum melihat Risa yang kembali bersemangat.
Cerpen Karangan: Yuna Izmaya Facebook: facebook.com/yunaa.izmaya Penulis adalah full time writer yang sudah sering menulis di beberapa aplikasi menulis on line. Beberapa hasil karyanya telah berhasil diterbitkan menjadi buku cetak. Selamat menikmati cerpen ‘Lontong kari Ibu’ semoga dapat menjadi sedikit inspirasi bagi para pembaca. Salam semangat dan salam berkarya. Terima kasih.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com