Aku terbangun tengah malam lagi. Seperti biasa, dalam sebulan ini. Aku melirik ke arah jam dinding yang ada di kamarku. Sudah kuduga, hari sudah menunjukkan pukul 00.00, tepat tengah malam. “Yaudah, kalau begitu kita pisah aja!!.” Suara ayah yang terdengar jelas, dan nyaring di telinga. Aku meremas selimutku, dan air mata langsung terjatuh tanpa bisa ditahan sedikit pun. Aku merasa kesal, sedih, takut, marah. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Terdengar suara ibu yang menangis tersedu-sedu, dilanjut dengan suara keras ayah yang membentak ibu. Aku menutup telinga dengan sekuat tenaga sambil menangis. Berharap, kalau suara-suara yang terdengar saat ini hanya-lah mimpi. Namun, tetap saja aku tidak bisa mengubah keadaan. Yang ada, tangisanku yang bertambah mengalir deras seperti air terjun yang terjatuh dari atas tebing yang tinggi. Hingga akhirnya, aku menangis sampai lelah dan tertidur dengan sendirinya.
Pagi hari yang cerah menyambut bangun tidurku. Namun, wajahku tidak secerah matahari pagi ini. Aku langsung bersiap untuk berangkat sekolah. Lalu, menuju ruang makan untuk sarapan. “Selamat pagi sayang.” Sapa Ibu seperti biasa. Aku menghampirinya lalu mencium pipinya. Melihat matanya yang sembab karena masalahnya dengan ayah yang aku sendiri pun tidak tahu, aku hanya diam dan sedih menatapi mata sembab ibu. Ibu hanya membuang wajahnya, dan membuat dirinya seakan akan sedang sibuk menyiapkan sarapanku. Ayah pun keluar dari kamar dengan pakaian rapi kantornya dan bergabung duduk di meja makan bersama kami. Kami pun memulai sarapan dengan penuh kebisuan. Bahkan, aku merasa tidak selera makan karena, hawa yang tidak enak ini. Tetapi, aku harus tetap makan, untuk menghargai masakan ibuku ini.
Di kelas, aku tetap memikirkan perkataan Ayah tadi malam. Hati bertanya-tanya, apakah semua ini benar? Jika iya, bagaimana aku nanti?. Apa Ibu dan Ayah tidak memikirkan aku?. Apakah Ibu dan Ayah tidak sayang lagi padaku?, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benakku. Sampai belajar pun, aku tidak fokus karena memikirkan hal itu. Sebenarnya ingin sekali bertanya pada Ibu, ada apa sebenarnya dengan Ibu dan Ayah?. Jawaban ibu pun akan tetap sama, “tidak apa-apa sayang.” Sambil menunjukkan senyum yang aku rasa pun itu hanya senyum palsu. Aku tidak mau memaksa bertanya terlalu lagi. Karena, setiap kutanya seperti itu, wajah Ibu selalu berubah menunjukkan kesedihan yang hanya ditutupi senyum palsu agar aku tidak merasa khawatir.
Sepulang sekolah, aku berjalan lemah ke arah pintu rumahku. Aku membuka pintu sambil mengucapkan salam. Terdengar suara Ibu yang menjawab salam dariku. Kulihat ia duduk sendirian di ruang tamu dengan raut wajah yang membuat aku bingung. Penglihatanku beralih pada beberapa tas yang ada di sebelah sofa di ruang tamu kami. Aku tidak tahu apa isinya. Aku langsung menghampiri Ibu, dan mencium punggung tangannya. “Kita akan tinggal di rumah Nenek mulai sekarang.” Ucap Ibu tiba-tiba. Belum selesai aku dengan keterkejutanku, Ibu langsung melanjutkan ucapannya. “Ibu tahu, kamu pasti mendengar percakapan Ibu dan Ayah tadi malam kan Rani?.” Tanya Ibu padaku. Belum sempat aku menjawab, ibu melanjutkan lagi ucapannya. “Benar Rani, Ayah dan Ibu akan berpisah.” Ucap Ibu membenarkan apa yang menjadi pikiranku saat ini.
Aku membeku, dan perasaan sedih, marah, menjadi satu. “Apa Ibu dan Ayah tidak pernah memikirkan perasaanku?, Apa Ibu dan Ayah tidak sayang lagi padaku?, Mengapa kalian harus berpisah?, mengapa setiap kali Rani bertanya masalah Ibu dan Ayah tidak satu pun Rani diberikan jawaban?.” Tanyaku sambil menahan air mata. “Ini urusan orang dewasa Rani. Apa pun pilihan kami saat ini, Ayah dan Ibu tetap menyayangimu. Bagaimana pun, menurut Ibu mau pun juga Ayah, ini jalan terbaik untuk keluarga kita dan juga untuk kamu Rani.” Jawab Ibu perlahan, tenang, tetapi tetap tidak bisa dibohongi kalau Ibu pun juga sedih.
Aku langsung keluar dari rumahku, tanpa peduli teriakan ibu yang terus memanggil namaku. Sedih dan juga marah bercampur aduk pada perasaanku. Apa yang Ibu katakan tadi? Ini yang terbaik katanya? Apakah dengan membuat aku sedih karena perpisahan mereka itu terbaik? Kalau begitu, Ibu dan Ayah tidak sayang padaku. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan ucapan Ibu tadi. Aku merasa Ibu dan Ayah sangat egois. Mereka hanya memikirkan perasaan mereka saja, tanpa memikirkan perasaan anaknya.
Aku pergi ke rumah temanku Disya. Disya terkejut melihatku dengan mata sembab. Dia memelukku lalu, menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Seperti biasa, rumah Disya sepi karena, ibunya sedang bekerja. Aku mulai menceritakan isi hatiku, aku ceritakan semua pada Disya apa yang aku alami akhir-akhir ini. “Orangtua ternyata egois ya, mereka tidak pernah memikirkan anaknya.” Ucapku di akhir cerita. Disya tersenyum, lalu mengelus tangan kananku. “Dulu, aku pernah berpikiran seperti kamu juga Rani.” Ucap Disya perlahan. Dia melanjutkan ceritanya.
“Dulu, ayah dan ibuku juga sering bertengkar, bahkan hampir setiap hari. Sampai-sampai aku harus menangis setiap hari dan tidak fokus belajar. Setiap kali aku tanya pada Ibu, kenapa ayah dan Ibu selalu bertengkar. Ibu selalu mengatakan bahwa aku tidak perlu tahu. Aku merasa kesal dan marah. Aku juga ingin tahu apa masalah kedua orangtuaku. Tapi, ibu selalu tidak mau memberitahuku.” Cerita Disya padaku. “Hingga pada akhirnya, mereka memutuskan untuk berpisah. Aku marah pada ayah maupun ibu. Di saat Ayah dan Ibu memutuskan untuk berpisah, Ibu langsung pindah ke rumah Nenek. Aku dipaksa ikut pada Ibuku. Dalam perjalanan ke rumah Nenek, Ibu menangis. Dengan masih perasaan marah dan kesal aku bertanya pada Ibu. Kalau Ibu bersedih saat Ibu berpisah dengan Ayah, lalu mengapa Ibu melakukan hal itu?” Disya bercerita sambil menatap kosong pada jendela kamarnya.
Aku hanya mendengarkan cerita Disya. Kami sudah berteman sejak lama, jadi Disya sudah pernah bercerita apa yang terjadi pada keluarganya. “Pada saat aku tanya seperti itu pada Ibu, Ibu hanya memelukku dan berkata bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuk keluarga kami.” Disya melanjutkan ceritanya. “Aku merasa tidak terima pada jawaban Ibu, dengan masih perasaan marah, aku bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Aku menatap Disya dan bertanya “Apa yang terjadi?” Memang, Disya sudah pernah bercerita tentang ini. Namun, ia tidak pernah memberitahu apa yang menjadi penyebab keluarganya jadi seperti ini.
“Aku diam-diam mengikuti Ayahku, kulihat ia bersama wanita yang umurnya tidak jauh berbeda dengan Ibu.” Jawab Disya perlahan. Aku langsung memeluknya sambil mengelus-ngelus punggungnya. “Aku mengatakan apa yang kulihat pada ibu dan ia hanya menangis. Sekarang aku mengerti masalahnya.” Disya menghentikan ceritanya sejenak. “Ibu berkata padaku. Jangan membenci ayahmu. Bagaimanapun dia, ia tetaplah ayahmu. Ibu dan Ayah minta maaf. Karena, kami belum bisa menjadi orangtua yang bisa membahagiakan kamu. Apa pun yang terjadi sekarang ini sudah menjadi jalannya. Ini adalah keputusan Ayah dan Ibu untuk kebaikan kita bersama.” Disya mengakhiri ceritanya.
“Perlahan-lahan senyum Ibu mulai muncul kembali. Ayah juga masih sering berkunjung ke rumah untuk menemuiku. Aku sangat senang Rani. Aku juga mulai memaafkan apa pun yang terjadi. Dan, seperti yang kita lihat saat ini, aku sudah bisa fokus belajar, tidak lagi menangis mendengarkan suara-suara gaduh akibat pertengkaran Ayah dan Ibu.” Ucap Disya sambil tersenyum. Disya menatap mataku, “Apa kamu mengerti maksud dari ceritaku tadi Rani?” Tanya Disya padaku. Aku hanya diam membisu mendengarkan pertanyaan yang dilontarkan Disya. Disya kembali mengelus punggung tanganku dengan bermaksud menguatkan.
“Yang kita kira selama ini orangtua itu egois, tapi nyatanya tidak. Jika memang mereka memutuskan untuk berpisah, bukan berarti mereka tidak sayang pada anaknya. Itu memang pilihan yang terbaik. Lihat saja diriku, perlahan-lahan aku bisa kembali tersenyum, tidak menangis setiap malam lagi, fokus belajarku sudah muncul kembali.” Disya menatap mataku. “Jika aku memaksakan kedua orangtuaku tetap bersama, aku juga tidak sanggup. Karena, aku tidak tega melihat Ibuku yang menangis setiap hari. Dan aku pun merasa gelisah, tidak tenang, tidak fokus belajar, menangis setiap hari, karena pertengkaran Ayah dan Ibuku.” Perkataan Disya yang lembut menenangkanku.
“Rani, bagaimana pun Ayah maupun Ibumu, mereka juga manusia. Mereka memiliki perasaan. Mereka bisa sedih, marah, kecewa, atau apa pun itu. Pernahkah kamu berpikir, bahwa kita sebagai anak juga egois?.” Tanya Disya padaku. Aku tidak menjawab dan hanya menatap matanya saja. “Karena, kita hanya memikirkan perasaan kita. Kita hanya menyalahkan kedua orangtua kita, mengatakan mereka tidak menyayangi kita, mengatakan mereka sangat egois. Padahal, mereka berpisah pun juga untuk kebaikan, kesehatan mental kita juga. Apa kamu mau setiap hari mendengar orangtuamu bertengkar terus? Apa kamu mau mendengar tangisan Ibumu terus? Apa kamu mau melihat Ayahmu marah, capek, karena masalahnya yang tidak pernah selesai itu?” Pertanyaan Disya membuatku membeku.
“Jika Ibumu tidak mau mengatakan masalah apa sebenarnya yang terjadi, menurutku, tidak usah dipaksakan Rani. Tidak semua yang terjadi di dunia ini kita harus tahu. Mungkin, ia tidak mau memberitahu karena, ia tidak mau anaknya membenci salah satu dari mereka. Mau itu Ayahmu ataupun Ibumu. Biarlah itu menjadi urusan mereka berdua. Yang kita lakukan hanya belajar memaafkan, mengikhlaskan, dan berdamai pada kenyataan. Mungkin, ini adalah jalan yang sudah diatur oleh Tuhan. Aku tahu ini sulit Rani. Tapi, aku yakin kamu pasti bisa melewati ini semua.” Ucap Disya tersenyum padaku. Aku mengerti semua yang dikatakan Disya. Aku memeluk Disya, dan ia pun membalas pelukanku.
Aku merasa lega telah bercerita pada Disya. Aku menginap satu malam di rumah Disya. Dan kembali pulang ke rumah Nenek keesokan paginya. Selama di rumah Disya, aku terus menerus memikirkan perkataan-perkataan Disya padaku. Memang benar, orangtua juga manusia yang punya perasaan. Ternyata selama ini aku juga egois yang selalu menyalahkan kedua orangtuaku, tanpa memikirkan perasaan mereka. Aku mencoba mengikhlaskan, memaafkan Ayah maupun Ibu, dan berdamai pada semua yang terjadi. Sulit bagiku, tapi aku yakin aku pasti bisa. Mungkin, tidak semua yang bersama itu indah. Terkadang, perpisahanlah jalan terbaiknya.
Cerpen Karangan: Rifqa Hasanah Shiddiq Halo nama saya Rifqa Hasanah, saya berumur 19 Tahun. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com