Virus Covid-19 yang terjadi kurang lebih di 2 tahun ini membuat seluruh aspek lumpuh total. Terutama dalam aspek ekonomi dan pendidikan.
Bukan hanya itu saja, imbas dari virus corona adalah dimana orang-orang tidak boleh keluar rumah kecuali ada hal mendesak dan tak bisa ditunda lagi. Itu pun tidak sebebas sebelum virus ini menyebar.
Semua orang di Indonesia, bahkan di dunia, harus terbiasa dengan masker dan juga hand sanitizer yang biasa orang pakai ke mana-mana untuk mencegah penyebaran virus corona ini. Belum lagi harga dari dua benda diatas sangat mahal dan sulit ditemukan. Langka.
Di sisi lain, imbas dari virus corona menyebabkan pemerintah menghimbau masyarakatnya untuk tidak pulang kampung sementara demi mencegah agar virus corona tidak menyebar ke sanak saudara.
Begitulah virus ini bekerja, hingga menyebabkan para perantau di sudut berbagai kota di Indonesia tidak bisa bertemu saudara mereka di kampung. Mereka terpaksa untuk menekan ego juga menahan rindu untuk tak bertemu keluarganya.
Meskipun ada berbagai cara untuk bertukar kabar dan menyalurkan rindu dengan cara telepon dan sms, namun rasanya bertemu langsung adalah jauh lebih mengesankan.
Namun, disisi kekhawatiran orang-orang mengenai corona begitu tinggi, beda halnya dengan orang tuaku. Mereka berbeda. Lebih tepatnya mereka menganggap virus corona adalah salah satu makhluk Allah SWT yang sama-sama hidup di lingkungan sekitar dan sama seperti penyakit lain. Mereka sama, namun efeknya terhadap usia tertentu bisa sangat mempengaruhi kesehatan.
Tentu mereka paham. Tapi, meminta doa dan menyerahkan semuanya terhadap sang Pencipta adalah yang terpenting. Mereka tidak takut karena hati mereka pasrah. Hidup dan mati mereka ada pada sang Penciptanya. Dengan atas izin Allah SWT, mereka masih tetap sehat seiring dengan menyebarnya virus itu.
Namun itu semua sudah lalu. 2 tahun yang lalu sejarah tercatat tentang ganasnya virus corona menyebar di Indonesia bahkan sampai dunia. Setelah masa itu berlalu, aturan pelarangan mudik sudah tidak ada. Di tahun ini para perantau melepaskan rindu mereka dengan bertemu langsung dengan keluarga.
Kendaraan mereka memenuhi jalan, saling membunyikan klakson di jalanan dengan sangat riang. Jauh-jauh mereka menempuh tempat lahir mereka setelah dua tahun lalu terkurung sendiri di negeri orang tiap kali Idul Fitri datang. Dan tahun ini saatnya pembalasan atas it semua, jalan ramai, penuh, massa yang melakukan mudik dua kali lipat lebih banyak dari pada biasanya.
Para Bus sibuk menampung muatan, kendaraan roda dua mengantre di SPBU untuk mengisi bahan bakar kendaraan mereka demi bekal menempuh kampung halaman yang jauh.
Kami riang gembira atas kondisi ini. Kami bahagia. Begitu pula denganku. Namaku Annisa Zahra. Perantau yang hidup di kota yang berjarak kurang lebih 93 km dari kampung halaman. Aku sudah menikah. Alhamdulillah.
Tahun ini aku dan suamiku, berencana untuk menikmati Idul Fitri di kampung halamanku. Begitu antusias karena selama dua tahun tertahan di kota dengan alasan corona itu sendiri.
—
“Jadi kita berangkat kapan Mas ke kampung?” tanyaku riang ketika suamiku tengah membereskan barang-barang elektroniknya di meja kerja. “Hari minggu, nanti pulang lagi kesini hari selasa.”
Rasa antusias dan perasaan bahagia membuncah tiba-tiba hilang tertiup angin entah ke mana. Aku membeku di tempat. Tak ada lagi senyuman di bibirku. Rasa kecewa jelas lebih mendominasi hatiku. Hanya dua hari disana? Kok hanya sebentar? Otakku berpikir keras memikirkan alasan suamiku yang hanya singgah sebentar di kampung halamanku padahal waktu libur kerjanya masih terhitung lama. Aku kecewa, tapi aku mencoba untuk bersikap biasa dan menerima. Sudah biasa kan kalau aku adalah si yang selalu mengalah? Aku menghela nafas berat namun akhirnya tersenyum.
“Nggak apa-apa, kan?” Tanya suamiku karena sedari tadi aku tak bersuara lagi. “Ok!”
Malam ini aku lalui dengan dingin. Sedingin hatiku yang dipatahkan secara langsung oleh laki-laki yang berstatus suamiku. Aku mencoba memejamkan mata, enggan memikirkan keputusan suamiku yang sebenarnya bisa dibantah namun aku tak seperti itu. Aku si penurut karena aku selalu lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri.
—
Dalam perjalanan menyusuri jalan yang auranya berbeda dari biasanya, karena aura mudik tercium tajam sekarang.
Kemarin, aku menguatkan hati dan menebalkan muka ketika mengabarkan kepada Ibu bahwa aku tak akan lama berlibur di rumah. Beliau mengiyakan meskipun terdengar nada kecewa di ujung telepon. Ya aku pun begitu, aku kecewa kepada suamiku karena keputusannya yang sangat membuatku ingin menangis meraung-raung. Tapi aku tak bisa membantah seenaknya. Lagi-lagi aku si penurut.
—
Kami sampai di kampung halaman 3 jam kemudian. Mudik dalam keadaan puasa begitu sangat menyiksa. Ketika haus tidak bisa minum, ketika mengantuk tak bisa meneguk kopi demi menyegarkan pandangan. Alhasil di perjalanan tadi kami banyak berhenti untuk meregangkan otot-otot kaku selama beberapa jam duduk di jok motor.
Ibu dan Ayah menyambut dengan hangat. Juga adik-adik yang sudah datang lebih awal. Kami bersalaman dan saling melepaskan rindu, meskipun suamiku masih terlihat kaku meskipun sudah 3 tahun menikah tapi canggung itu masih ada.
Setelah perjalanan panjang tadi aku tak langsung istirahat, tapi aku malah asik merecoki adik-adikku yang sudah lama tak bertemu. Aku sibuk bercanda dengan mereka dan langsung menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan menu berbuka.
Lagi-lagi aku merasa tak enak karena lebaran hari ke dua aku sudah harus bertolak lagi ke kota. Melanjutkan silaturahmi di keluarga suami. Meskipun ibu mengizinkan tapi aku yakin di hati kecilnya, beliau sangat kecewa karena sedikitnya waktu pertemuan di antara kami.
Beliau selalu bilang, “kamu sudah bukan tanggung jawab Ibu lagi, suamimu lebih berhak atas kamu.” Sepenggal kalimat jika aku selalu terburu-buru untuk pulang ke kota. Intinya Ibu tidak bisa apa-apa. Selain meridhoi setiap langkah anaknya selama itu tak menentang-Nya.
“Masak apa, Bu?” Tanyaku kepada Ibu yang tengah asyik di dapur. “Masak buat buka. Ada kurma, ada sayuran tuh bisa buat gorengan, terus mau apa lagi, Mbak? Nanti Ibu cari lagi di warung kurangnya. Mau bikin es buah?”
Aku mengibaskan tangan ke udara yang artinya cukup. Dari rentetan penjelasan Ibu barusan tentang makanan sudah cukup untuk dijadikan menu buka puasa. Hanya tinggal ditambah air hangat saja pasti nikmat.
“Udah Bu, cukup ini. Nanti kalau kebanyakan sayang, mubadzir, takut gak habis.” Ibu tersenyum sambil mengangguk. Kami berdua disibukkan dengan memotong sayuran dan menghaluskan bumbu untuk membuat opor.
—
Suara gema takbir di seluruh sudut masjid tempat tinggalku begitu terdengar nyaring memenuhi semesta. Malam ini seluruh dunia tengah menangis sekaligus terharu. Menangis karena mereka harus berpisah dengan bulan penuh berkah dan penuh ampunan yaitu Bulan Ramadhan. Terharu, karena di momen ini mereka akan berkumpul bersama keluarga terdekat hingga terjauh untuk saling melepaskan rindu.
Derai air mata membanjiri pipi setiap anggota keluarga meskipun tidak semua. Aku menangis tersedu ketika tangan keriput Ibu dan Ayah ku kecup dalam waktu yang lama dalam lafadz ‘Taqobbalalloohu minnaa wa minkum, shiyaamanaa wa shiyaamakum. Minal ‘aaidzin wal faizin’. Ampuni semua dosa-dosa yang pernah terucap dan tak terucap dari mulut ini Yaa Rabbii. Terutama kepada kedua makhluk mulia di depanku.
Aku memeluk mereka sangat erat. Menumpahkan segala emosi yang terpendam lama dalam hati. Segala rasa yang tersimpan rapat dalam dada dan hanya bisa terucapkan lewat air mata dan isakkan tangis. Bergantian dengan kakak dan adikku, dan juga suamiku aku meminta maaf. Saling melemparkan belas kasih dan pengharapan agar di waktu yang datang masih berjumpa dengan Ramadhan selanjutnya.
—
Kakak perempuanku, dan Ibu saling melempar tatap ketika aku mengatakan kalau besok aku akan bertolak ke kota. Sama halnya dengan Ibu, perasaanku mengatakan kalau kakakku merasa keberatan.
Hanya 2 hari tapi terasa seperti 2 jam. Sekejap. Ah.. aku lelah selalu mengalah. Tapi aku mencoba agar suasana tak menjadi canggung. Aku mencari alasan agar mereka menerima niatku.
Menyelamatkan harga diri suami adalah nomor satu. Ya. Karena ini adalah kemauan suami, libur lebaran hanya dua hari. Dan sisanya ia habiskan dengan pekerjaan dan silaturahmi dengan keluarga pihak suami.
“Hati-hati di jalan. Jangan lupa berdoa!” Aku menahan diri untuk tak menangis meskipun ingin rasanya menumpahkan air mata ini yang nyaris berebut berlarin terjun bebas ke pipi.
Aku tersenyum getir melihat wajah sendu Ibu dan Ayah melepas kepergianku. Aku menghela nafas berat. Wajahku memanas, lidahku kelu dan tenggorokanku tercekat. Aku tak mampu berkata-kata lagi.
Aku mencium lengan keduanya bergantian, disertai pelukan rindu masih merajai. Giliran suamiku melakukan hal yang sama.
Hingga setelah naik motor dan meninggalkan halaman rumah diiringi lambaian tangan kedua orangtuaku, aku pergi meninggalkan mereka. Disinilah aku berani menumpahkan segala perasaan sakit lewat hujan air mata karena harus berpisah secepat ini dengan mereka. Aku tergugu. Sekuat tenaga tak mengeluarkan isakkan padahal dada ini begitu sesak.
Selamat berjumpa kembali Ayah, Ibu, Adik dan Kakak. Maafkan aku karena masih rindu sudah berani pergi.
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah Instagram: ipeeh.h
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 10 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com