Postur tubuhnya tinggi, rambutnya sedikit berwarna kecoklatan karena sengatan matahari sedari kecil, kulitnya sawo matang, tangannya kekar karena terbiasa melakukan pekerjaan berat, wajahnya garang namun jelas hatinya terkenal sangat lembut.
Muhammad Rendi Anggara. Seorang lelaki berumur 22 tahun tumbuh dalam didikan orangtua yang Ibunya sedikit keras, namun Ayahnya sangat lembut.
Pada masa kecil, Rendi bermain layaknya seperti anak kecil pada umumnya. Bermain kelereng, menerbangkan layangan, main di kali, hujan-hujanan, panas-panasan. Maka tidak heran jika dia sangat berbeda dengan anggota keluarga lainnya yang berkulit putih sangat kontras dengan Rendi.
Dulunya, dia adalah seorang anak lelaki, seorang adik yang tidak suka diatur, jika dimarahi dia akan berontak dan balik marah, memiliki sifat mudah terpancing emosi. Namun ada satu sifat di dalam dirinya yang membuat orang lain nyaman. Teman-teman masa kecilnya begitu nempel hingga ia memiliki banyak teman mulai dari teman di bawahnya, juga di atasnya.
Dia seorang anak yang ceria. Setiap hari ada saja hal yang selalu dia coba demi menuntaskan rasa penasarannya. Membuat kandang ayam, memelihara ikan cupang, mengoleksi layangan, menyimpan sekaleng kelereng dan hal-hal lain yang kadang membuat Ibu jengkel karena terlalu banyak mainannya di rumah. Ibu sampai pusing untuk membereskannya.
Pendidikan 6 tahun di bangku sekolah dasar, ditambah pendidikan sekolah menengah pertama 3 tahun membuat ia selalu ada di rumah. Tapi dari sanalah Ibu merasa bosan dengan sikap anaknya yang setiap hari hanya membuat wanita paruh baya itu jengkel dan uring-uringan. Berangkat sekolah pagi, pulang sekitar jam 13.00 WIB, dilanjut pergi bermain dan kembali ke rumah menjelang maghrib. Kadang adzan telah usai, lelaki itu baru menampakkan diri di hadapan anggota rumah.
Jelas ibu marah, karena didikan beliau adalah bisa membuat anak-anaknya tak abai akan kewajibannya terhadap Sang Pencipta. Namun, Rendi berbeda. Ia lebih menantang dan lebih urakan daripada anggota lainnya.
Tak jarang, Ibu selalu marah-marah dan membanding-bandingkan anaknya dengan anak-anak lain yang lebih baik daripada Rendi. Itu juga hal yang membuat Rendi kadang merasa jengah karena sang Ibu yang selalu membandingkan dirinya denga orang lain.
Menjelang akhir kelas kelas IX, Rendi disibukkan dengan persiapan melanjutkan sekolahnya. Karena kondisi Ibu yang tidak mampu membiayai sekolah, maka kakak-kakak Rendi yang lain membantunya untuk mendaftarkan Rendi ke sekolah yang menyediakan beasiswa. Tentu dengan beberapa persayaratan akhirnya Ibu lega karena anaknya yang begitu berbeda akhirnya bisa masuk di SMA yang berbasis pesantren. Rasa senang bukan main, karena itu artinya Rendi tak akan kelayapan kesana-kemari tak jelas. Itu menyelamatkan diri ibu dari segala ketakutan terhadap anak remaja mulai dewasa yang hanya menghabiskan waktunya dengan bermain.
Hingga pada suatu hari, Ibu, Ayah, dan Kakak Ipar mengantar Rendi ke pesantren. memang darah lebih kental daripada air. Sejengkel-jengkelnya ibu kepada Rendi, namun mereka akan merasa kehilangan juga ketika dalam waktu tiga tahun bahkan lebih mereka tak akan bertemu seperti dulu.
Tangis haru tercipta diantara mereka, Rendi memeluk ibunya seperti tengah mengungkapkan segala rasa penyesalannya karena selama ini sifat pembangkang lebih mendominasinya, tak jarang sang ibu menjadi korban kemarahannya. Juga Ayah yang mengusap lembut pucuk kepala anaknya yang masih sesenggukkan.
Hingga sampai di rumah, Ibu mendapatkan notifikasi pesan di ponselnya yang jadul. Sebuah ponsel non querty seukuran remot TV tapi lebih kecil di bawahnya. “Ibu, maafin Rendi selama ini udah bikin ibu sakit hati. Maafin Rendi karena Rendi selalu membangkang sama Ibu dan Ayah. Rendi janji, Rendi akan betah disini. Rendi akan jadi anak yang baik. Semoga Ayah dan Ibu selalu sehat di rumah.” Ibu menangis terharu di dalam sujudnya. Anaknya mungkin menyesal karena sedari kecil bersama, namun tak sempat banyak meminta maaf karena harus terpisah jarak dan waktu.
Selama tiga tahun ini, Rendi menekuri diri tentang bagaimana ia dulu. Menetap di pesantren membuat dia sadar dan perlahan hatinya melembut. Bayang-bayang Ibu yang selalu jengkel dan uring-uringan karena ulahnya membuat Rendi selalu menangis dan bertekad bahwa ia akan berubah lebih baik.
Setiap kali jadwal pulang ke rumah hingga pulang lagi ke pondok, lelaki manis itu selalu mengirim pesan permintaan maaf kepada Ibu khususnya. Mungkin selama di rumah Rendi terlalu malu untuk berbicara langsung. Ada haru dan kegelian dari mata Ibu. Anaknya yang dulu selalu membuatnya jengkel kini perlahan selalu membuatnya terharu dan menghangat hatinya.
Tiga tahun itu berlalu, ditambah satu tahun masa pengabdian benar-benar membuat seorang Rendi menjadi pribadi yang lebih peka, lembut, dan lebih perasa. Hatinya lebih peka terhadap hal-hal yang sensitif yang bisa memancing air matanya keluar. Kini, Rendi sudah dikontrak untuk menjadi karyawan di sekolahnya dulu. Jauh dari rumah, namun restu Ayah dan Ibu selalu mengiringinya.
Sosok Rendi Anggara, yang dahulu selalu meyuarakan mimpi-mimpinya untuk menjadi keluarganya sejahtera. Dimulai dari ingin merenovasi rumah, membiayai adik bungsunya sekolah, dan segala hal untuk meringankan beban Ibu dan Ayah. Jujur begitu bahagia dengan perubahannya sekarang. Yang mereka kenal, Rendi dengan penampilannya yang garang namun hatinya begitu lembut. Dia dewasa dan selalu mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingannya sendiri.
Waktu bergulir begitu cepat tak terasa, Rendi si perasa yang dari dulu selalu membuat orang-orang sekitar nyaman tak jarang selalu membawa teman-temannya ke kampung halamnnya sambil menginap. Tidak sampai situ, rasa bahagia kembali muncul tatkala Ibu dikabari anaknya kalau ia menjadi guru privat di sekitar sekolahnya. Lumayan, menambah penghasilan. Meskipun pada semua itu ada resiko masing-masing yang harus ditanggung namun Rendi tetap menjalaninya.
“Berat banget ninggalin Ibu.” curhat Rendi pada suatu hari setelah libur lebaran usai, di chatroom. Begitulah dia. Merasa tak tega meninggalkan Ibu dan Ayah yang hanya tinggal berdua lagi jika libur usai. Otomatis semua anaknya harus kembali ke kota untuk melanjutkan pekerjaannya. “Doain aja, mudah-mudahan Ibu selalu sehat.” Sebagai kakak perempuan, Husna harus bisa menenangkan dan memberi aura positif kepada adiknya yang kini sedang dalam mode sedih setiap kali ia pulang lagi ke kota. Meskipun dalam hati ikut tersayat, tapi Husna harus lebih kuat. Tak lama ada emoticon menangis dari sebrang seolah tengah menunjukkan bahwa dia benar-benar menangis. Kan? Begitulah Rendi Anggara sekarang.
“Jangan lupa jaga kesehatan ya, Dek! Doain Ayah dan Ibu sehat. Mudah-mudahan suatu hari nanti kita berkumpul lagi.” Akhirnya luruh juga air mata Husna di pipinya. Sekuat tenaga menahan laju air mata agar tak luruh, tapi tetap saja tak berhasil setiap kondisi ini terjadi.
Curhatan Rendi yang hanya berani ia ungkapkan kepada Husna selalu membuat Husna tak bisa mengendalikan hati dan air matanya. Rendi selalu berhasil membuat orang menangis berjamaah. Dalam chat merasa kuat, namun dibalik layar? Sebaliknya.
“Iya, Mbak. Makasih ya. Mbak sama Mas Azam sehat-sehat juga. Nanti kita kumpul lagi (emoticon peluk).” Oh manisnya..
Rendi. Sayangnya love language yang dia punya hanya bisa dia ungkapkan di chat. Tak bisa langsung. Mungkin dia akan malu, tapi Husna selalu bahagia meskipun caranya seperti itu.
Husna tersenyum dalam tangis. Ketika Mas Azam datang, dengan refleks ia menghambur ke pelukan suaminya yang langsung membelainya lembut. Mas Azam sudah biasa, jika istrinya tengah curhat dengan sang adik ipar akan ada drama seperti ini. Menangis meraung-raung dan akan berhenti dengan dengkuran halus. Tertidur.
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ig: @ipeeh.h
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com