Pagi, sekitar pukul delapan. Kesibukan sudah bangun di mana-mana. Orang-orang desa sudah banyak berlalu-lalang dengan urusannya masing-masing. Lalu, di sebuah jalan kecil di desa, dari sebuah muka rumah yang menghadap ke jalan, sebuah keributan timbul dari sana. Keributan itu memecah suasana tenang pada pagi itu, dan mengganggu perhatian para warga yang berlalu lalang. Seorang anak dan bapak adalah asal keributan itu. Mereka beradu perkataan, saling berteriak, saling membentak. Terdengar sebuah benda pecah belah dilempar ke lantai. Lalu, sang anak lelaki keluar dari rumah ke halaman, “Terus saja jadi dukun, membodoh-bodohi orang-orang kampungan yang masih percaya takhayul. Gara-gara itu, saat dulu ibu sakit bapak sama sekali tak peduli dengan ibu. Bapak malah sibuk bertapa ke dalam hutan sana. Harusnya bapak di hutan saja selamanya, tak perlu kembali lagi ke rumah. Lagi pula untuk apa, toh, Ibu sudah tak ada.” Telunjuknya menunjuk sang bapak dengan kemarahan.
Andri—sang anak—memang sudah memendam kebencian terhadap ayahnya atau lebih tepatnya ia membenci profesi ayahnya sebagai “orang pintar” di desa itu. Kebenciannya bermula semenjak sang ibu meninggalkan dunia. Saat itu, sang ayah tak mengetahui sama sekali, sebab ia sedang pergi melaksanakan suatu ritual di hutan barat, bapaknya pergi untuk bertapa tiga hari dan tiga malam, walaupun saat itu sang Ibu sedang sakit. Sejak saat itu Andri memendam sakit hati. Ditambah dengan pola pemikiran yang dianut oleh anak muda saat itu, yang ramai-ramai mempertanyakan segala yang ghaib di masyarakat, bahkan puncaknya, mereka juga mempertanyakan keberadaan tuhan. Andri pun ikut terpengaruh oleh pola-pola pemikiran yang seperti itu. Ia mempertanyakan tentang apa yang sebenarnya ayahnya selama ini lakukan, dan hal-hal ghaib yang masih kental di masyarakat sekitarnya, hal itu adalah awal keraguannya pada keberadaan tuhan.
Hal-hal tadilah yang menjadi awal mula keributan dari rumah itu. Pagi itu, saat sang ayah kembali dari ritualnya di hutan barat—ritual yang sama saat dahulu ibunya sakit keras— ia melontarkan berbagai perkataan yang selama ini dipendam di kepalanya kepada ayahnya itu. Dan mereka berdua lalu terus bertukar kata, bentak-membentak satu sama lain, hingga sang ayah membanting sebuah piring pajangan ke lantai.
“Jangan sok tau kamu!! Memangnya anak muda tahu apa!!!” Pak Ansa—Sang Bapak—tak kalah kencang membalas perkataan anaknya. Dan begitulah, mereka terus berseteru, dan suasana pagi di jalanan kecil itu semakin riuh. Kepala orang-orang sekitar sibuk melongok, begitu juga orang yang melewati rumah itu juga ikut menoleh, tak kalah sibuk memerhatikan. “Sudahlah. Tak sudi aku satu rumah dengan penipu yang mengandalkan takhayul sampai lupa dengan istri dan anaknya sendiri.” Kericuhan itu berakhir dengan sang anak yang angkat kaki dari rumah itu.
Tapi, kericuhan pagi itu dan kemarahan keduanya adalah hal yang sudah berlalu. Kini, setelah dua tahun, akhirnya amarah mereka mereda. Sang anak memaafkan sang ayah, begitu juga sang ayah sudah memaafkan sang anak. Mereka kini bertemu, pada hari raya sang anak menyambangi ayahnya. Dengan penuh haru mereka berpelukan. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, melainkan sangat lama. Dua cangkir kopi ikut menemani, mereka berdua duduk di depan teras rumah, berbincang-bincang tentang apa saja yang terjadi antara dua tahun ini, itu bukan waktu yang sebentar.
“Nak, Bapak mengaku salah… Maafkan bapak. Dahulu, saat bapak kembali dari bertapa, lalu menemukan ibumu sudah tak ada, bapak juga ikut sedih, ikut kehilangan, sampai saat kamu keluar dari rumah ini, bapak masih kehilangan ibumu. Bapak jujur juga menyesalinya.” Air mata berlinang dari kedua mata Bapak Ansa. Maaf itu diterima oleh anaknya.
Dalam dua tahun ini, Bapak Ansa dilanda kerisauan. Hatinya berkecamuk tiada berhenti, ia merasa sendiri. Kian kesini, orang-orang mulai meninggalkan takhayul-takhayul, hal-hal semacam itu kian luntur di masyarakat, begitu juga dirinya mulai tak relevan lagi. Gerakan anak-anak muda itu menang, dan sebenarnya perkataan anaknya 2 tahun kemarin ada benarnya, ia pun bukannya benar-benar “orang pintar” melihat jin saja sebenarnya ia tak pernah. Melihat dirinya yang begini ia teringat perkataan istrinya dahulu, saat ia masih ada. “Tinggalkanlah pak kegiatan yang begitu, tak ada manfaatnya.”
Sang anak yang mendengar permintaan maaf sang bapak ikut terharu. Kini gilirannya yang meminta maaf. “Iya, Bapak, maafkan Andri juga. Andri pun ada salahnya, sudah membentak bapak dan kabur dari rumah. Di kota juga, tak punya sesiapa, sendirian, kesepian.”
Selama dua tahun sejak ia pergi dari rumah, ia pun sama nasibnya dengan ayahnya, hatinya tak tenang. Ia sendirian, dalam dua tahun gerakan “revolusi” anak muda itu menjamur di mana-mana. Takhayul-takhayul luntur di masyarakat. Termasuk salah satunya adat-adat untuk menghormati hutan atau mengeramatkan tempat-tempat alam yang dianggap mistis, akibatnya tempat-tempat itu kini rusak, sebab adat-adat atau takhayul yang melindungi tempat itu sudah tak ada. Orang-orang mulai membuka hutan-hutan yang awalnya dikeramatkan menjadi lahan, hutan menjadi kian gundul dimana-mana dan bencana mulai melanda. Andri terlambat menyadari hal itu, takhayul itu ada untuk mencegah hal seperti itu terjadi. Ia menyesal sudah membantah ayahnya. Dalam kesendirian, hati kecilnya berbisik, mungkin ayahnya benar, ia dan anak-anak muda itu tahu apa makna sebenarnya dari takhayul yang ada ini.
Hidup Andri juga terasa kosong, kian tak berarti. Semenjak ia keluar dari rumah, ia tak mempercayai tuhan lagi. Tapi, entah kenapa hidupnya semakin tak tahu ingin dibawa menjadi bagaimana. Saat-saat seperti itu, ia kembali mengingat ibunya. Saat-saat dahulu ibunya mengajarkannya salat dan mengaji, ia kembali mengingat-ingat hal itu.
“Pak… Apa sejatinya tuhan itu benar ada?” “Tentu.. tentu saja ada. Tuhan bukanlah takhayul-takhayul yang dibuat-buat oleh masyarakat. Segala sesuatu pasti ada penciptanya, Nak.” Pak Ansa hanya dapat menjawab sampai situ, sisanya ia hanya dapat terdiam. Memangnya dia siapa, bukannya selama ini ia juga melakukan tindakan tercela di mata tuhan, secara tak langsung menduakannya. Kalau soal agama, Istrinya tentu lebih paham tentang itu…
Ya.. istrinya. Sejatinya, tanpa mereka berdua sadari, pertemuan mereka hari itu disebabkan oleh sosok yang sama. Sosok yang dahulu melahirkan, membuat anak dan bapak itu bertemu dan hidup dalam rumah yang sama, sang Ibu dan istri bagi sang anak dan bapak.
Selesai bertukar kata, melepas beban di hati mereka. Mereka berdua menuju sebuah makam. Sri, nama sosok itu tertulis di batu nisan. Mereka merendah, berjongkok di hadapan makam itu. Sang bapak mengangkat tangannya, seperti orang berdoa, tetapi ia tak tahu bagaimana caranya berdoa, saat itulah hatinya pilu, ia tak tahu doa apa yang akan dikirimkan kepada istrinya, ia hanya mengucap-ucap harapan agar istrinya diletakkan di tempat yang benar, sebab istrinya juga orang yang benar. Anaknya juga mengikuti di sampingnya.
Di hadapan makam itu, mereka mengaku salah, mereka berdua. Sebab perseteruan mereka mungkin tak akan terjadi jika saja sejak awal mereka berdua mendengarkan satu sosok sejak awal.
Di hadapan makam itu, mereka juga kebingungan, sebab sosok yang sejak awal mengingatkan mereka akan kebenaran tak dapat mereka doakan. Mereka hanya dapat mengucap harap dengan tangan yang terangkat. Toh, tuhan tak seperti mereka, ia Maha Mendengar.
Cerpen Karangan: Kian
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com