Hari sudah malam; bapak belum juga pulang. Aku khawatir jika bapak tidak akan bisa menempati janjinya. Aku sendiri menunggu beliau di pelabuhan seorang diri; ibu masih bertugas untuk mengantar orderan dari pembeli online, dan itu bukan pekerjaan wanita. Aku tidak diperbolehkan untuk melakukan karena aku masih berstatus siswa, jadi atasan tidak mengizinkan aku untuk kerja. Pekerjaan paling mudah diraih untuk sebagai pekerjaan sampingan yaitu karyawan fast food, cafe, dan mini market.
Masa depan masih belum kurancang dari sekarang, menunggu berharap ada keajaiban secara tiba-tiba muncul dihadapanku seperti cerita populer belakangan ini: isekai. Aku ingin hidup dalam fantasi, sering kali aku kepergok oleh kawan-kawanku mengejek keinginan tak tersalurkan ke dalam sebuah buku cerita kukarang secara diam-diam. Aku malu, mencoba cari hobi baru bisa menutupi derita hidupku, meperluas ruang lingkup, dan memperlebar lingkaran sosial.
Kalau ada yang kuinginkan untuk saat ini, mungkin aku mau jadi orang kaya. Orang kaya itu sok berpikir, ironisnya orang kaya tidak akan pernah berhasil dengan cara melamun di tempat; mereka harus berkerja untuk berhasil.
Keberhasilan selalu tidak diberkahi oleh keberuntungan, dan itu pemikiran awam yang salah apabila itu murni 100 %. Bagaimana bisa itu mutlak untuk mereka, coba mereka pikir kembali dari mana dasar keberhasilan, bukankah berusaha kan. Dan bapak mulai mengerjakan sesuai apa yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Sayangnya kata-katanya ia sering katakan sebelum ia berlayar adalah “mencoba.” Beliau tidak yakin dan tidak berpikir jika ia akan lakukan waktu itu akan berfaedah untuk dirinya dan keluarga, namun ia percaya satu-satunya cara adalah bertaruh, maka ia maju tanpa pikir panjang.
“Bapak bukankah bertaruh itu salah,” kataku yang naif “Taruhan demi apa dulu, kesejahteraan atau pengorbanan,” katanya terdengar bijak. “Aku takut, apa yang kau pertaruhkan itu adalah yang lain.” Kataku setengah menuduh. Bapak terdiam, apakah dia bingung atau tahu apa yang barusan kumaksudkan. DIa tidak suka teka-teki kembali bertanya. Tidak usah berpura-pura bodoh deh, dalam benakku sedikit kesal dengan aktingnya yang jelek itu.
Beberapa hari sudah diputuskan bapak akan pergi dalam waktu sebulan untuk persiapan, bapak mendapat bantuan dari salah satu kenalannya yang meperkenalkan orang yang akan membantunya untuk membiayai ongkos tiket ke luar negeri. Bagaimana bisa bapak begitu mudah untuk percaya orang belum dikenal melalui kenalannya. Memang ini setengah pertaruhan, ia menjual dirinya sebagai jaminannya. Aku takut apabila ia hanya dijadikan sebagai perdagangan manusia nanti, atau hal buruk lainnya sulit kubayangkan betapa ngerinya akan terjadi padanya. Keputusan adalah keputusan dan itu tidak bisa diganggu gugat.
Ibu tampak cemas, namun itu memang kemauannya untuk kepentingan bersama. Aku ingin menitikkan air mataku dihadapan beliau sebelum ia angkat kaki ke atas kapal. Aku malah justru bertingkah tegar agar bapak tak cemas, mempermudah perjalanan beliau ke tujuan. Mereka mengobrol, sesekali berbicara kepada aku dan adikku. Tubuh besarnya mungkin terlihat menjanjikkan pada orang itu karena belaiu pasti bisa diandalkan dalam pekerjaannya sebagai TKW.
Kapal pun tiba, konsentrasiku buyar sedang melatih pidatoku kepada bapak, kemudian bapak terlebih dahulu mengucapkan pidato sampai jumpa untuk kami atau mungkin selamat tinggal. “Nah, kalau begitu bapak berangkat dulu,” kata bapak. “bapak, tolong jaga diri baik-baik selama bapak berada di sana.” Kata ibu “Justru bapak yang terlebih khawatir akan nasib kalian nanti saat bapak tidak ada di sini,” timpalnya seraya mengelus pipi ibu sedang menerjunkan lirih air mata.
“Kapan kembali nanti.” “Itu belum tahu ibu. Tapi bapak berjanji ketika ada waktu untuk pulang, bapak akan menghubungi kalian, lewat telpon atau lewat kabar dengan surat atau teman nanti”. “Sungguh bapak akan kembalikan?” “Bapak janji, itu akan pegangan bapak untuk kembali, tidak hanya kabar tapi juga bapak dan uang nanti, biar kita bebas dari kemiskinan,” ia tergelak keras yang mengundang perhatian beberapa pengunjung.
Mereka berpelukan, dan kami pun sama, dia pergi ke dalam kapal tanpa menoleh karena banyak orang untuk bermusafir selain dia sedang terburu-buru masuk.
Theeettt! Theeeettt! Sura pekik kapal menulikan pendengaran kami. Ibu dan kami masih berada di tempat berharap kami bisa melihat bapak lagi sebelum ia sungguh pergi dari ingatan kami. Di atas geladak kulihat para penumpang menikmati sejuknya angin laut, dan sementara laut sedang asyik menampar-nampar pinggiran beton pelabuhan.
Mencoba pintar malah menjadi gila, IQ tergolong rendah, tidak perlu mencoba seperti cerita drama mainstream memaksa kita harus menjadi anak yang rajin bisa kuliah dan menjadi orang kaya. Pil pahit terakhir kutelan lebih pelan dari semua obat pernah kukuyah. Nilai raporku tergolong buruk, dan sikapku sehari-hari mengundang beribu pertanyaan tertuju pada ibuku. Aku kerap kena hajar dari ibuku yang tercinta, tahu bahwa pecut ia lakukan itu bentuk cinta terdalam sebenarnya dia sayang padaku.
Aku meringkuk, tidak mau memperlihatkan wajahku pada ibu, takut jika itu akan menyinggungnya. Ibu maafkan aku anakmu ini, biarkan aku menjadi seperti bapak, tak perlu pintar Cuma bertaruh saja.
Awal berubah menjadi sesuatu perjalanan, semua terlihat datar, dan ibu sering mengelak pertanyaanku soal bapak. Dia bilang, “jangan seperti bapakmu, jadi orang berpendidikan, lihat orang berakal pendek tak berpendidikan seperti dia, menghilang tanpa jejak.” Sedari itu aku paham kata bapak adalah terlarang untuk digunakan di dalam rumah.
Adikku masih SD sama bodonya dengan aku. Kebodohan kami menjadi beban untuk ibu. DIa mengutuk bapak atas kebodohan kami telah ia turunkan kepada kami berdua. Tubuh kami tidak mulus, namun lebih halus dari amplas. Ketika aku sedang asyik bercermin, aku sadar, bahwa aku sudah bertambah tinggi, tubuh kurang gizi dianggap mempunyai tubuh ideal untuk bekerja.
Diam-diam aku bekerja pada malam hari tanpa sepengetahuan ibu, di restoran sebagai pencuci piring yang bayaran bisa menanggulangi biaya jajan kami bedua. Aku tidak ingin mengecewakan ibu, jadi aku tetap berusaha untuk terbaik, namun bukan jadi yang terdepan. Lulus sekolah itu sudah cukup modal untuk bekerja, aku pikir. Saat aku sedang ngumpul dengan teman, ada kabar gembira sudah kunanti, sebuah surat bapak lengkap dengan tanda tangan dibubuhi di surat. Ini memang bapak kupikir ini akan menjadi kegembiraan kami nanti. Namun aku sadar apabila ibu bertentangan apa aku harapkan, jadi kusimpan seorang diri dari ibu bahkan adikku.
Di rel kereta api aku membaca surat itu di bawah cahaya lampu yang remang, aku merasa seperti pria kesepian dalam cerita buku, dan film, sembari membaca surat dari bapak. Kubuka segelnya, lalu surat aku tarik keluar.
Kepada Keluarga tercinta Halo sudah sekian lama tidak berjumpa, sekitar tiga tahun lamanya bapak pergi sejak hari itu. Bagaimana keadaan kalian? Apakah kalian semua baik-baik saja? Bapak mencemaskan keadaan keluarga bapak. Namun tak bisa menelepon kalian melalu lewat telepon internasional yang sangat mahal. Bapak masih belum bisa mengumpulkan uang sesuai harapan kalian, mohon bersabar.
Ibu tolong jangan putus harapan kepada bapak yang bodoh ini, saya tahu ibu pasti marah pada bapak. Dan anak-anak mohon kalian jangan membuat masalah pada ibu kalian saat ini menjadi orangtua tunggal sementara. Bapak berjanji akan kembali pada akhir tahun. Nanti kalian akan bapak manjakan dengan uang bapak kumpulkan. Semoga kalian sehat selalu. Tolong maafkan bapak kalian ini.
Dari bapak Fahril Aggaru
Semenjak itu aku berharap bapak akan segera kembali nanti sesuai janji bapak pada tahun baru. Dan berharap ada sebuah telepon berdering, surat atau dari sahabat-sahabatnya. Beberapa teman bapak kudengar tidak bisa lagi menghubungi bapak, mungkin karena masalah nomor, biaya telepon, atau lainnya. Aku semakin besar dan semakin bodoh. Bodoh untuk satu alasan: berharap apabila aku bisa berjumpa lagi dengan bapak. Dan ini tahun baru lagi sudah melewati 5 tahun lamanya yang dia janjikan. Surat kupegang bergoyang-goyang, seolah ingin bebas untuk ikut terbang bersama angin laut. Surat terus memberontak lalu lepas dari pegangan bergabung dengan angin, dan angin mengkhiatinya, menjatuhkan surat ke dalam lautan terdalam.
Tamat
Cerpen Karangan: Lim Teng
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 20 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com