Plak! Sebuah tamparan tangan mendarat ke pipi kanan seorang remaja laki-laki berambut hitam panjang. Di depannya, sang ayah menatap anaknya dengan penuh kemarahan. Tangan lelaki paruh baya itu menarik kerah pakaian sang anak dengan kasar.
“Kamu mau jadi apa, hah? Kerjaannya main game, streaming, dan main gitar tanpa menghasilkan uang!” bentak lelaki paruh baya tepat di depan laki-laki muda itu yang hanya menunduk ke arah lantai kamarnya yang sudah penuh dengan pecahan piring hitam.
“Zello, kamu sudah dewasa! Kerja, cari uang dan uang. Kamu hidup tanpa uang memang bisa, hah?!” Jari telunjuk lelaki paruh baya itu menunjuk rambut panjang Zello. “Ini juga, kamu perempuan? Rambut panjang dengan syal di leher, banci?! Jawab ayah, Zello?!”
Zello yang tak senang jika rambutnya diungkit-ungkit membuat rasa ingin memprotes bangkit. Tatapan datarnya mengarah ke wajah sang ayah yang berdekatan dengannya. Senyum kecewa terbit dari wajah tirusnya. “Kenapa ayah peduli? Yang ayah pikirkan sejak dulu hanyalah uang, ibu saja tidak dianggap ada. Ayah kehabisan uang ya? Jadi, mendatangiku untuk dijadikan mesin penghasil uang? Benar?” ucap Zello di akhiri seringai.
Lagi dan lagi. Sang ayah menampar Zello lebih kuat dari sebelumnya. Zello hanya bisa menampilkan seringai dan tatapan mata penuh kekecewaan dan kelelahan akan dunia kejam ini. Sampai kapanpun juga, sang ayah tak bisa mengerti perasaan dan impiannya. Tak pernah mendukung keinginan bahkan menyemangatinya untuk meraih asa. Ia sudah lelah akan semua kehidupan di dunia penuh kesengsaraan ini.
Sebenarnya ia memiliki pemasukkan yang lumayan, tetapi sang ayah selalu mengambilnya dengan paksa untuk kebutuhan sendiri. Zello hanya bisa bermain game tiap hari, live streaming di platform online sembari bermain gitar. Itupun ia hanya bisa menikmatinya sebentar saja. Seperti kali ini, ketika ia live streaming bermain gitar dengan semangat, sang ayah mendobrak pintu kamar Zello yang otomatis menekan perbuatan sang ayah hingga berakhir terkena tamparan dan umpatan. Ia sudah tak peduli lagi dengan obrolan di live streamingnya hari itu.
Ia merasa sudah gila hidup di dunia ini. Ia pusing dengan semua hal di hidupnya yang selalu tanda tanya. Ia kesal dan marah kepada sang ayah dan juga dirinya yang sejak dulu tak bisa membuat orangtuanya bangga. Rasa ingin mengakhiri hidup selalu ada di benak ketika melihat dirinya sendiri dalam keadaan kacau. Karena rasa itu, ia seringkali merusak alat musiknya sendiri, seperti saat ini.
Zello mematahkan gitar pemberian sang ayah sewaktu ia kecil. Rasa amarah dan kecewa membuatnya tak tentu arah. Ia tak ingin lagi hidup di dunia ini. Bunuh diri adalah jalan satu-satunya menuju kedamaian hidup baginya.
—
Di sinilah Zello. Mobil hitam penuh debu yang ia dapat dari tabungannya akan menemani Zello menuju kedamaian hidup. Zello membawa mobil hitam itu ke bukit dekat rumahnya, ia memberhentikan mobil di ujung tebing. Berjam-jam Zello merutuki nasib sialnya di dunia kejam ini. Berkali-kali Zello memukuli stir mobil bersamaan sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Tangis penuh rasa lelah membuatnya semakin menambah tekad untuk mengakhiri hidup.
Zello melangkah keluar dari mobil untuk meminum beberapa minuman keras sembari mengisap beberapa batang serutu yang ia beli di supermarket tadi. Asap serutu mengepul di depan wajah letih Zello. Semua memori-memori buruk di hidup Zello muncul ketika ia melihat ke arah langit.
“Sial!”
Ia masuk kembali ke mobil dengan langkah sempoyongan. Entah kenapa beban hidupnya seakan hilang setelah meminum beberapa minuman keras. senyum lega akan hilangnya beban hidup membuat Zello segera menancapkan gas ke ujung tebing. Menemui kehidupan yang damai.
—
“Eh, kenapa ada laki-laki di sini?” “Siapa dia?” “Astaga.. dia manusia! Apakah ia hendak bunuh diri?”
Suara lirih beberapa orang membuat Zello terbangun. Hah? Ini di surga? Aku sudah mati?, batin Zello.
Tidak ada satupun luka di tubuhnya. Keadaan Zello masih seperti awal ketika ia live streaming. Bahkan nyeripun tidak ia rasakan. Zello bangun dari baringnya dan tersentak ketika banyak pasang mata menatap ke arah Zello dengan heran. Beberapa orang dengan kulit putih pucat semakin mendekatinya.
“S-siapa.. kalian?” tanya Zello terbata.
Bau alkohol membuat sekumpulan orang itu menjauh dari Zello dan segera menutupi hidung mereka. Raut panik tercetak di wajah orang-orang pucat yang membuat Zello mengernyitkan dahi sembari membau napasnya sendiri. Bau alkohol.
“Tuan Moni! Panggil Tuan Moni, sekarang!”
Seorang anak kecil berlari ke arah sebuah rumah berwarna putih. Beberapa laki-laki membawa Zello ke rumah itu dengan tergesa-gesa. Seorang laki-laki paruh baya bernama Tuan Moni mendekati Zello.
“Kenapa kau bisa sampai disini? Manusia tidak boleh ada di sini!” usir Tuan Moni yang mengetuk-ketukan tongkat kayunya ke lantai. “Memang kenapa aku tidak boleh tinggal disini? Manusia tidak boleh tinggal di sini, lalu kalian apa?” cerocos Zello membuat dua orang berwajah sangar di sebelah Tuan Moni mengeluarkan sebilah pedang yang mengarah ke leher Zello.
Tuan Moni menahan salah satu tangan lelaki berbadan tegak itu untuk menyuruhnya menurunkan pedang itu, “Apakah kau tidak merasa bersalah telah melakukan hal itu?” tanya Tuan Moni menunjuk Zello dengan tongkatnya. “Bersalah? Akan apa?”
Semua orang yang ada di ruangan itu perlahan meninggalkan Zello, Tuan Moni, dan satu pengawalnya. Tuan Moni mengamati penampilan Zello yang sangat berantakan tanpa mengalihkan pandangan. Rambut Zello yang sudah seleher, pakaian lelaki itu yang sudah lusuh dan bau kecut membuat Tuan Moni menggelengkan kepala.
“Bunuh diri, perilaku yang sangat tidak terpuji. Kau masih diberi kesempatan untuk hidup, tapi kau malah ingin cepat-cepat meninggal? Memangnya kau tidak memikirkan orang-orang disekitarmu yang masih menyayangimu?” Zello tertawa kecil mengerti arah perbincangan ini. “Siapa yang menyayangiku? Tidak ada, hidupku hancur, dan di dunia ini aku harus melakukan apa lagi? Bertemu dengan keluargaku hanya memperparah kehidupan.”
Tuan Moni memukul pelan punggung kaki Zello dengan tongkatnya, “Keluargamu adalah harta paling berharga. Mungkin ayahmu terlalu kejam bagimu, tapi beliau pasti sangat menyayangimu. Ia tidak mau kau melakukan tindakan yang salah, ia pasti selalu membimbingmu ke arah yang benar. Ingatkah kau ketika masih kecil, orangtuamu lah yang selalu menjaga dan mengajarimu berbagai hal baik.”
“Itu dulu, sekarang keluargaku hanya menginginkan uang dariku. Mereka terlalu mengengkang diriku untuk tidak melakukan hal yang aku suka. Bagaimana aku tidak membencinya?” geram Zello melangkah mundur menjauhi Tuan Moni. “Lagian kau siapa? Bisa-bisanya mencampuri urusan keluargaku?”
Tuan Moni tersenyum. “Kau tidak perlu mengetahui siapa aku. Aku hanya ingin kau bisa sadar, bahwa yang kau lakukan sekarang ini salah. Kau tidak boleh bunuh diri, hadapi masalahmu dengan dewasa, jangan kekanak-kanakan. Pikirkanlah keluargamu di sana, mereka pasti khawatir dengan keadaanmu, mereka pasti menangis melihat keadaanmu sekarang.”
Zello memandang Tuan Moni dengan kedua matanya yang berkaca, “Memang kau tahu apa, hah? Kau hanya orang, tidak, makhluk asing yang baru saja bertemu denganku, jadi kau tidak tahu perasaanku menghadapi hidup ini!” teriak Zello dengan suara bergemetar.
“Aku pun pernah merasakannya! Jadi, aku tidak ingin kau sepertiku, aku ingin kau bisa menghargai hidupmu, keluargamu. Kumohon, dengarkan perkataanku, keluargamu benar-benar menyayangimu, pasti ada orang yang sangat menyayangimu, jangan sampai kau menyesal, sepertiku!” jelas Tuan Moni meninggikan nada suaranya membuat Zello tersentak.
Zello menumpahkan air matanya di depan dua orang asing yang baru saja ia temui. “Aku benar-benar lelah dengan dunia ini, aku merasa seperti tidak dihargi, lelah rasanya.”
Tuan Moni menghampiri Zello yang menangis menatap ke bawah dan menepuk pundaknya, “Aku tahu benar apa yang kau rasakan, tapi kau harus bisa hadapi ini dengan tegar. Keluargamu pasti sangat menyayangimu, pasti ada orang yang menyayangimu. Mereka akan selalu menyemangatimu untuk melakukan hal yang baik. Kau pasti bisa, Nak.”
—
“Pak, Zello siuman!” “Dokter, anak saya siuman!”
Kedua mata Zello terbuka perlahan. Aroma khas rumah sakit membuat Zello terbangun. Kedua orangtuanya menangis di sampingnya dengan tatapan khawatir. Tangan hangat ibunya mengelus rambut cokelat Zello yang rapi. Kedua mata Zello menitihkan air mata pelan melihat kedua orangtuanya. Zello tersenyum dengan wajahnya yang memar-memar.
Empat tahun lalu, Zello merencanakan bunuh diri di tebing dengan keadaan mabuk. Ketika dalam perjalanan menuju tebing, Zello yang mabuk dengan segala pikirannya yang kacau tertabrak oleh truk kecil berkecepatan tinggi dari arah yang berlawanan. Akibatnya, Zello mengalami beberapa cedera serius.
Zello bersyukur ia masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan untuk memperbaiki hidupnya. Ia bersyukur bisa bertemu dengan Tuan Moni, makhluk asing yang menyadarkannya akan pentingnya cinta keluarga. Ia sangat senang bahwa kejadian bunuh diri di tebing yang terasa sangat nyata hari itu hanyalah halusinasinya.
“Ibu, Ayah..,” lirih Zello yang masih memakai ventilator. Kedua orangtua Zello menangis terharu melihat anak semata wayangnya kembali siuman. “Nak, maafkan ibu dan ayah ya..,” lirih kedua orang tua Zello dengan suara bergetar sembari mengelus pipi pucat anaknya yang mengangguk pelan dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
Bunuh diri bukanlah obat. Bunuh diri bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi itu akan membuat masalahmu bertambah menjadi lebih buruk, tidak terhitung lagi. Bunuh diri sama dengan membunuh orang yang mencintaimu.
Untuk siapapun di luar sana, menangis bukanlah kelemahan, meminta bantuan bukanlah tanda kamu tidak berdaya, tapi itu adalah kekuatan. Cintai dirimu dan keluargamu, percaya bahwa kau bisa menghadapi masalah hidup dengan tegar. Sakit dalam perjuangan itu hanyalah sementara, tapi jika menyerah sakit itu akan terasa selamanya.
Cerpen Karangan: Ariani Noer
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 20 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com