Setelah dua tahun berlebaran di perantauan. Akhirnya tahun ini aku dapat berlebaran di kampung halaman. Tiga hari sebelumnya aku memesan lima tiket untuk pergi ke Bandung. Aku pergi bersama ayah, ibu, kakak serta dua keponakanku. Tak sabar rasanya untuk bertemu nenek. Terlebih sejak pandemi dan adanya himbauan untuk tidak mudik. Kami hanya berlebaran di perantauan, melakukan video call dengan nenek dan sanak saudara. Bahkan kakakku hanya sesekali mengunjungi cabang butiknya.
Pukul 14.00 kami sudah ada di stasiun, kereta yang ditumpangi akan mendarat pukul 16.00 wib. Kami akan menghabiskan waktu di Bandung, terlebih sanak saudara bertempat tinggal di sana. Sebelum kereta tiba kami melakukan doa bersama, setelah doa kami lanjutkan berfoto, kemudian bergantian ke toilet agar aman di perjalanan, terlebih Nabil keponakanku yang menggunakan popok.
Tak lama terdengar kumandang azan Asar, kami pun bergegas mencari musala. Sementara bawaan dititipkan pada recepsionist. Setelah salat Asar kami lanjutkan dengan membaca Al-Qur’an, sambil membaca Al-Qur’an kak Intan memangku Nabil yang tengah menangis karna ditinggal salat di tempat ramai, maklumlah kak Intan jarang membawa Nabil berpergian, jika berpergian Nabil dan Hariz dititipkan pada ibu atau jika sedang di Bandung, mereka dititipkan pada uyutnya dibantu mbak Amel, sepupuku yang sudah yatim piatu.
Tak terasa sudah pukul 15.30 kami pun bergegas membawa barang. Kak Eko bersama Hariz yang masih tiga tahun sambil mengenakan ransel, sedangkan kak Intan menggendong Nabil yang berusia empat bulan sambil membawa tas perlengkapan Nabil dan Hariz. Sedangkan aku mendorong koper yang berisi pakaian dua keluarga, disertai tas selempang yang berisi barang pribadiku. Sedangkan ayah dan ibu hanya membawa tas selempang yang berisi barang mereka.
Perjalanan yang dilalui kurang lebih dua jam sambil menikmati perjalanan. Aku bercanda ria dengan Hariz, sementara dua kakakku berbincang dengan ibu dan ayah. Di dalam kereta berjejer kursi panjang yang berhadapan. Aku duduk sendiri di sebelah kanan, ayah dan ibu duduk di barisan kedua sebelah kiri, berhadapan dengan dua kakakku. Hariz yang lincah, sesekali menghampiriku. Hariz bercerita tentang mainnanya, terlebih dia baru dibelikan mainan baru.
“Tante, lihat deh aku punya apa?” ucapnya sambil memegang mainan yang masih terbungkus “Wahh, robot-robotan. Pasti baru lagi yaa?” kataku sambil melihatnya “Iyaa, dong. Bagus kan?” “Bagus, isinya banyak lagi. Dari siapa sih?” “Dari oma, kata oma ini keluaran terbaru looh.” “Oh, begitu yaa, jaga baik-baik ya, mainannya. Biar nanti kalau Nabil udah besar bisa main bareng.” Hi… ucapku “Ih, Tante mah. Masa adek dikasih mainan cowok.”
Tak lama terdengar azan berkumandang dari radio. Kami segera berbuka dengan menu yang diberikan oleh petugas, tak lama setelah itu kami bertayamum melaksanakan salat di dalam kereta. Alhamdulilah perjalanan yang dilalui sesuai dengan perkiraan. Usai melaksanakan salat dan sedikit mengisi perut, kami tiba di stasiun yang mengarah ke rumah nenek, ternyata saat kami turun sudah ada taksi online yang menunggu.
“Kak, Kamu sudah pesan” ujarku “Iya, Dek, sudah. Ayo kita naik!” sambil berjalan cepat menggendong Nabil.
Aku pun mengikuti langkahnya disertai barang bawaan. Untuk perjalan kali ini hanya dibutuhkan waktu sepuluh menit, yang sebenarnya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Tak terasa kami tiba di rumah nenek, mbak Amel yang melihat kedatangan kami langsung mengambil alih menggendong Nabil, Nabil telihat anteng bersama mbak Amel. Aku menemui nenek dan mengucapkan salam. Namun, bukannya menjawab, nenek justru langsung memeluku.
“Asalamu’alaikum, Nek” “Nenek rindu padamu, Dek. Tapi, nenek sekarang senang kamu datang.” Ujarnya “Iya, Nek. Aku juga rindu padamu, maafkan aku ya, Nek. Bukan aku tak ingin menemuimu, tapi kan.” “iya, Dek. Nenek mengerti, sudahlah tidak usah dibahas lagi. Yang penting kamu sudah ada di sini, nenek sudah senang.” ujarnya seraya tersenyum.
Kehangatan kembali terasa, hingga kami larut dalam canda tawa, terlebih adanya Hariz dan Nabil yang semakin menambah keceriaan. Keesokan harinya kami pergi ke pasar untuk membeli ketupat dan keperluan hari raya lainnya, kemudian siangnya kami pergi bersama nenek mengunjungi butik kak Intan. Di sana aku memilih beberapa pakaian serta kerudung yang sedang hits saat ini. Tak hanya itu, ternyata tanpa ada yang tahu kak Intan sudah menyiapkan pakaian yang sama beserta kerudungnya untuk digunakan saat hari raya.
Allâhu akbar Allâhu akbar Allâhu akbar lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar, Allâhu akbar wa lillâhi-l-hamd. Tak terasa hari kemenangan akan tiba esok hari, semua persiapan sudah tersedia, mulai dari pakaian hingga makanan. Dimulai dari ketupat,opor bahkan makanan kesukaan kami. Yakni bakso, seblak, rujak dan salad buah.
Pukul 06.00 WIB Kami bergegas pergi ke lapangan untuk melaksanakan salat Idul Fitri, hanya dalam waktu lima menit, kami tiba di lapangan. Banyak warga yang melaksanakan salat, banyak pula yang membawa anak seusia Nabil, bahkan ada pula yang membawa anak baru lahir. Setelah melihat ada tempat kosong. Kupercepat langkah untuk membentangkan karpet dan lima sajadah. Gema takbir terus dikumandangkan sampai waktu pelaksanaan salat tiba yakni pukul 06.30. Terlihat kehusuan warga saat gema takbir dikumandangkan, tetapi ada pula warga yang asyik berbincang, berfoto, bahkan terlihat pula warga yang baru saja datang dan sibuk mencari tempat. Hingga tak lama pelaksanaan salat dimulai. Saat pelaksanaan salat takbir ketiga kak Intan sigap menggendong Nabil yang sedang menanggis, bahkan tak hanya Nabil adapula beberapa anak yang terdengar menangis saat pelaksanaan salat.
Usai pelaksanaan salat, kami berjalan pulang sembari bermaafan dengan warga. Saat tiba di rumah, nenek kedatangan tetangga yang tak sempat bertemu, hingga kami pun bermaafan, setelah tetangga pulang dilanjutkan oleh ibu yang bermaafan pada nenek, sedangkan aku bermaafan pada kak Eko, kak Intan dan kedua ponakanku begitu seterusnya. Sampai akhirnya para sepupu dan orangtuanya tiba, kami pun saling bermaafan, setelah bermaafan nenek membagikan angpao untuk cicit dan cucunya. Tak hanya nenek, om dan tanteku juga saling memberi angpao, hingga terjadilah momen saling memberi. Sambil berjalannya momen saling memberi ada pula yang menikmati hidangan. Keseruan di rumah terus berlanjut karna Melly sepupuku yang berumur enam tahun selalu membuka angpao yang didapatnya bahkan menyebutkan nominalnya disaat si pemberi masih ada di tempat, bahkan adapula sepupuku yang langsung menukarnya dengan cemilan favorit mereka, hingga terjadilah tradisi berbagi, namun ada diatara mereka yang yang tak ingin membagikan kepunyaannya, bahkan berebutan saat memakannya yang berujung pada tangisan dan keributan kecil. Tetapi untungnya semua itu bisa teratasi oleh mbak Amel.
“Dek, Aku minta dong, sedikit saja” “Engga, ahh. Barusan kan sudah, masa minta lagi” “Ayoo, lah, cuman sedikit kok.” Ujar Dio yang langsung merebut piring berisi mi. Mita pun melaporkan perbutan kakaknya pada ibunya, tetapi ibunya tak mendengar. Hingga mbak Amel yang menenangkan Mita “Mih, lihat kakak dia merebut makananku” “Mih. Mih!” “Kakak, kembalikan piringnya, jangan diabisin dong, mi nya” “Belum juga aku makan. Sabar dong.” Ucapnya sambil memasukan mi pada mulutnya “Ihh, kakak. Sebel deh!” “Sudah Mita, beri saja sedikit yaa.” “Tapi, piringnya sudah diambil kakak, Mbak” “Nih, aku balikin, makasih ya, Dek. Cuma sedikit kan.” Sambil menyerahkan piring seraya terawa garing “Hmm, iya, sama-sama” balas Mita sesegukan. “Nah, sudah ya, jangan berantem lagi.” ucap mbak Amel dengan lembut “Iyaa, Mbak.” Balasnya sambil menghapus air mata.
Usai persoalan Mita dan kakaknya. Muncul tragedi baru, terdengar teriakan Angga dari dapur. “Adee, jadi tumpahkan es krimnya!” “Kakak sih, kan aku udah bilang, sini sama aku saja. Lagian ini es punyaku kan!” Teriak Fitri tak mau kalah “Sekarang udah gini, gimana coba?” ucap Andre sambil melihat cap yang ada di lantai “Kakak jahat, huah…”
“Fitri, Angga. Ada apa ini, kok berantakan gini. Lalu mengapa kamu menangis, Fit?” ucap mbak Amel setelah melihat yang terjadi. Angga pun menjelaskan kronologinya, hingga mbak Amel mengatakan. “Oh begitu, sudah biar ini mbak bereskan yaa. Kalian beli lagi saja yang baru ya” ucap mbak Amel seraya menyerahkan uang lima puluh ribu pada Angga. “Jangan, Mbak. Pakai uang ini saja.” Tolak Angga. “Ya, sudah. Tapi jangan marahan lagi yaa, kan masih hari raya. Masa berantem.” “Iya, Mbak” ucap mereka
Ada yang memasak mi, ada yang membeli es krim, bahkan ada yang membeli sosis yang katanya berasal dari korea. Aku sebagai kakak yang digemari mereka, diizinkan untuk mencicipi kepunyaan mereka. Setelah bermaafan dengan seisi rumah nenek. Kami lanjutkan perjalanan ke rumah keluarga ayah yang tinggal di komplek Adipura. Sesampainya di sana ada juga tradisi berbagi angpao. Tersedia juga bakso malang, udang, cumi serta dua botol minuman berwarna, kami menikmati semuanya. Sambil menikmatinya kami juga disuguhkan dengan live musik yang dibawakan oleh sepupuku, tak hanya itu. A Bagas juga mengadakan game yang hadiahnya berupa uang, untuk cicit dan cucu penghafal Al-Qur’an. Setiap peserta harus bisa melafalkan surat yang dipilih olehnya. Dimulai dari Raka yang melafalkan surat An-Naba, berkat kelancarannya dalam melafalkan surat. Dia mendapat uang lima puluh ribu, kemudian Faiz yang melafalkan surat Al- Waqi’ah dia juga mendapat uang dengan jumlah yang sama, meski Faiz terlihat malu-malu dan agak sedikit lupa. Bahkan tak hanya itu A Bagas juga mengadakan game mengambil uang menggunakan spatula untuk orang dewasa. Cara bermainnya adalah peserta yang ikut dalam permainan harus menyerok uang yang sengaja disebarkan olehnya di lantai menggunakan spatula dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya memegang nampan dengan mata ditutup menggunakan kain dan posisi duduk dicondongkan maju menghadap target. Uang yang disebarkan terdiri dari beberapa lembar warna biru, beberapa lembar warna merah, beberapa lembar warna coklat serta beberapa lembar amplop yang ternyata kosong.
Kemeriahan kembali terjadi, sorak-sorakan suporter menambah keseruan, terlebih waktu yang diberikan hanya dua detik. Dimulai dari ayah, dengan kesungguhan dan kelincahan tangannya ayah berusaha menyerok apa yang ada di hadapan, yang sayangnya selalu gagal, hingga di detik terakhir ayah berhasil menyerok selembar uang warna coklat dan satu buah amplop. Saat penutup mata dibuka ayah pun tertawa dengan yang dilihatnya. Setelah ayah kini giliranku yang bermain, mataku juga ditutup. Setelah dipastikan aku tak bisa melihat dan waktu sudah dinyalakan, tibalah aku tuk bermain. Kuserok apa yang ada dihadapan dengan spatula digenggaman, sorak-sorak suporterpun terdengar, ada yang mengatakan “Nampannya kurang dekat, ayo dekatkan lagi!” “Majukan, majukan nampannya!” “Kurang kebawah, kebawahkan lagi sedikit!” “Ayoo, serok yang banyak!” Begitulah yang kudengar. Aku pun berusaha mengikuti arahan mereka dalam menggerakan spatula. Hingga tak lama terdengar moderator menghitung mundur. Tiga! Dua! Satu… Stop! Aku pun menghentikan aksiku, hingga saat ku membuka mata nampanku sudah terisi dua lembar uang warna biru dan selembar uang warna coklat. Setelahku dilanjutkan oleh peserta lain yang ternyata mendapat lebih banyak dariku. Seperti Fira yang mendapat lima lembar warna biru, Arin yang mendapat sepuluh lembar warna campur bahkan Risa mendapat sepuluh lembar warna merah semua looh.
Tak terasa hari ini kami harus kembali ke perantaun. Kami pun berpamitan pada nenek “Nek, kita pulang dulu ya, insyaallah nanti kita kembali lagi.” Kataku sambil mencium punggung tangan nenek dengan takzim. “Iya, Dek, kalian hati-hati ya, jangan lupa sering berkabar” ucap nenek pada kami, sambil ekor matanya memandangi kami berhantian, seraya melepas tanganku. Tapi saat aku akan menjawab, Hariz berucap seakan mewakiliku, aku hanya diam menyaksikan obrolannya. “Siap, Uyut” ucap Hariz lantang, hingga menimbulkan tawa kami “Iya, Nak. kamu mah lusa juga balik lagi!” ha… Kamu pun tertawa “Ha… iya, yaa.” balasnya.
Keesokan harinya Kini kami akan bersalaman dan bermaafan dengan tetangga di apartemen. Ya, sejak ayah dipindah tugaskan ke jakarta. Kami memutuskan tuk menempati apartemen fasilitas kantor. Satu persatu unit dikunjungi dan menikmati jamuannya. Bahkan saat pertemuan, kami mendapat banyak undangan untuk menghadiri pengajian penghuni apartemen yang akan berangkat umroh. Mereka akan berangkat sesudah pengajian digelar dan ada pula mereka yang berangkat tiga hari sesudah pengajian. Seperti keluarga Pak Billy yang akan berangkat pukul 15.00, serta keluarga Pak Galang yang akan berangkat pukul 18.00 dan keluarga Bu Astri yang akan berangkat lusa.
Cerpen Karangan: Dinbel Pertiwi Facebook: facebook.com/Dinbellap7165